2 - Lingkungan Baru

Bab 2 – Lingkungan Baru

Sejujurnya Rania berangan-angan bisa kuliah dan meniti karier di luar negeri. Di tempat yang memiliki empat musim lebih tepatnya. Namun, dari awal kalimat Papa sudah membayanginya, bahwa dia harus bergabung di perusahaan keluarga secepat mungkin. Sebagai pewaris tunggal PT. Senyawa Rasa, tentu saja Rania paham maksudnya. Karena itu, sejak dua tahun silam dia belajar mengubur angan-angannya dan mulai fokus pada apa yang sudah nyata di hadapannya.

Kalau boleh memilih, Yudian tidak pernah ingin menggantungkan tanggung jawab sedemikian besar di pundak anak satu-satunya. Namun, kalau bukan Rania, siapa lagi? Karena itu, sejak duduk di bangku kuliah, dia sudah mengarahkan Rania untuk menjadi pengusaha ulung seperti dirinya. Ketika akhirnya dia menempatkan Rania di posisi general manager, dia tidak berekspektasi terlalu tinggi. Bisa jadi anak itu akan bosan dan memilih mengikuti naluri jiwa mudanya untuk memberontak. Untungnya, yang terjadi malah sebaliknya. Rania dengan cepat bisa menguasai medan dan turut andil dalam memajukan perusahaan.

Yang tidak Yudian sadari, ternyata Rania bisa jadi sangat bersemangat dan melangkah terlalu jauh. Sejak postingan itu beredar, pikiran Yudian jadi suka ke mana-mana. Sejauh ini memang tidak ada dampak apa-apa. Namun, bukankah yang terlihat baik-baik saja terkadang menipu? Bisa jadi di luar sana ada geliat yang bergumul pelan-pelan. Orang-orang PT. Banteng Medika tidak mungkin diam saja.

"Kamu benar-benar nggak berminat menghapusnya?"

Rania terkekeh pelan. "Sebenarnya apa, sih, yang Papa takutkan? Sejauh ini aman-aman aja, kan? Papa aja yang pikirannya suka aneh-aneh."

"Dunia bisnis nggak setenang yang kamu kira, Ran."

"Tahu, Pa. Papa udah ngucapin kalimat itu ribuan kali. Tapi bukan berarti Ran harus menarik postingan itu. Memalukan banget, Pa. Kesannya kita jadi takut banget sama hal-hal yang bahkan belum tentu terjadi. Papa nggak pernah ngajarin Ran untuk jadi sepengecut itu, kan?"

Yudian menghela napas panjang. Entah bagaimana caranya membuat anaknya ini mengerti.

"Pokoknya, Papa tenang aja. Kalau pun nantinya postingan itu nimbulin masalah, Ran yang akan tanggung jawab."

Yudian sangat menyukai semangat yang berkobar-kobar di mata Rania. Namun, sadar kalau pemilik mata itu adalah anak satu-satunya, perasaan was-was turut hadir tanpa bisa dicegah. Dia akan merasa sangat bersalah terhadap almarhumah istrinya kalau sampai terjadi apa-apa dengan putri mereka.

"Pada akhirnya kamu memang harus belajar mengatasi masalah. Karena, jujur, Papa mulai capek dengan semua ini." Yudian sengaja membuat tarikan napasnya terdengar seolah benar-benar sedang lelah. "Kamu tahu, apa yang paling diinginkan orang-orang seusia Papa?"

Rania memilih diam. Dia tahu pasti arah pertanyaan pura-pura itu.

"Main sama cucu."

Nah, kan?

"Nanti, Pa. Ran pasti bakal ngasih cucu sebanyak yang Papa mau." Nada nantangin Rania agak menggelikan. "Papa mau berapa?"

Yudian tertawa. "Omong doang. Pacar aja nggak punya."

Rania mendesah lirih. Dia lebih suka dimintai action plan untuk memajukan perusahaan daripada bahas soal cucu.

"Udah, ah. Ran mau balik kerja." Rania bangkit dari duduknya.

"Tuh, kan, melarikan diri lagi," ledek Yudian.

Rania mengibaskan tangan pertanda tak peduli sambil beranjak. Saat hendak membuka pintu, tiba-tiba dia berbalik.

"Habis makan siang jangan lupa minum vitamin."

Yudian malah membalasnya dengan ....

"Jangan lupa cari jodoh."

Rania mengentakkan kaki, persis anak kecil yang dilarang beli mainan. Dia pun keluar dengan muka ditekuk.

Yudian malah tertawa. Di matanya, selamanya Rania akan tetap jadi gadis kecilnya, tak peduli dua tahun lagi umurnya akan berkepala tiga. Karena itu, menjailinya selalu memberikan kebahagiaan tersendiri. Namun, sejurus kemudian Yudian kembali teringat dengan postingan itu. Semoga benar-benar tidak ada masalah apa-apa.

***

Divisi marketing, khususnya bagian promosi mendadak riuh karena kedatangan rekan baru yang sepintas mirip aktor Korea. Yang cewek-cewek sudah geregetan pengin kenalan, tapi terpaksa ditahan-tahan agar tidak kena semprot dari atasan.

Setelah dibawa ke ruangan manajer, sekarang Edas dipersilakan ke kubikelnya.

"Hei, aku Ali." Cowok bertubuh ceking dengan tatanan rambut yang agak lepek langsung mengulurkan tangan begitu Edas duduk. Kubikel mereka berdampingan.

Edas tersenyum sopan. Dia menyambut uluran tangan itu sambil menyebutkan nama.

"Setelah hampir sebulan, akhirnya ada lagi yang menempati kubikel ini."

"Emang karyawan yang dulunya di sini, ke mana?" Sejujurnya Edas tidak benar-benar penasaran. Dia hanya sedang beradaptasi. Dia harus bisa berbaur secepat mungkin. Karena suasana kantor seperti ini sungguh hal baru baginya.

Alih-alih menjawab, Ali malah memperagakan gerakan memotong leher dengan mimik diseram-seramkan.

Netra Edas seketika membesar. "Mati?"

"Jangan percaya." Tetangga kubikel Edas di sisi lain ikut nimbrung, seorang cewek berpenampilan menarik dan terlihat smart. "Dia emang suka lebay." Cewek itu tertawa ringan sambil pura-pura ingin menimpuk Ali dengan pulpen.

Kelakuan mereka bikin Edas sedikit lega. Setidaknya dia punya tetangga kubikel yang lelihatannya asyik.

"Oh ya, aku Firda." Cewek itu mengulurkan tangan sambil tersenyum manis.

Edas lekas menyambutnya.

"Eh, tapi emang benar, loh, dia mati." Siapa sangka, Ali malah balik ke topik absurdnya. "Mati di bawah tekanan."

"Emang seberat itu ya, kerja di sini?" Edas sengaja agak memundurkan kursinya agar bisa leluasa menatap Ali dan Firda bergantian.

"Padahal kedengarannya keren, ya, bagian promosi. Tadinya kupikir kerjanya cuma ngurusin iklan, bikin konten, atau nanganin event-event apa gitu. Eh, ternyata keseringan kita malah disuruh terjun langsung ke lapangan, jadi sales. Bazar sana-sini dengan target yang terkadang nggak masuk akal." Ali sengaja mendramatisir kalimatnya.

"Tapi seru, kok." Firda mengambil alih. "Selalu ada pengalaman baru, selalu ada yang bisa dipelajari. Balik lagi ke kita, sih. Kalau kita pintar menikmati pekerjaan, maka tidak akan terasa sulit. Sebaliknya, kalau kita bisanya cuma ngeluh dan selalu melihat sisi negatifnya aja, pekerjaan seenteng apa pun akan terasa sulit." Firda sengaja menekankan kata "sulit" sambil menatap Ali.

"Nyindir, nih?"

"Nggak, kok. Tapi kalau merasa tersindir, ya nggak apa-apa juga."

Edas senyum-senyum saja melihat kelakuan keduanya.

"Eh, ada Pak Galang," info Ali dengan nada rendah sambil mengedikkan dagu ke arah datangnya lelaki itu. Dia buru-buru memasang mode serius dan pura-pura sibuk dengan komputernya.

"Kamu karyawan baru itu?" tanya Galang setibanya di dekat Edas. Dia berdiri angkuh dengan kedua tangan bersarang di dalam saku celana.

Edas berdiri untuk menjaga kesopanan. "Iya, Pak." Dia mengangguk ringan.

"Saya dengar, kamu rekomendasi langsung dari Pak Yudian?"

Kata "rekomendasi" membuat Edas rada kurang nyaman. Karena dipikir bagaimana pun, dia merasa tidak punya kualifikasi khusus yang dibutuhkan perusahaan ini sehingga layak dapat rekomendasi langsung dari pemilik perusahaan.

"Bagi saya, nggak penting kamu direkomendasiin siapa. Saya juga nggak tertarik nyari tahu hubungan kamu dengan Pak Direktur." Galang beralih bersedekap, membuat aura angkuhnya lebih menonjol. "Intinya, sekarang kamu adalah bawahan saya. Artinya, kamu harus siap bekerja sesuai arahan saya."

"Baik, Pak." Edas sama sekali tidak terintimidasi dengan orang ini. Dia hanya bersikap selayaknya bawahan, sambil mempelajari lingkungan barunya ini.

Setelah merasa sambutannya untuk Edas cukup, Galang melenggang pergi tanpa kata-kata tambahan.

Ali langsung menarik tangan Edas untuk duduk kembali.

"Pak Galang itu supervisor kita. Orangnya emang suka cari muka dan super nyebelin. Biasa, kejar jabatan," terang Ali dengan nada setengah berbisik.

"Tapi banyak juga sisi positif yang bisa dicontoh dari dia. Salah satunya soal kedisiplinan." Firda menambahkan.

Ali tampak keberatan. "Kenapa, sih, kamu selalu mengatakan hal berlawanan?"

"Biar seimbang. Kasihan Edas, baru hari pertama tapi udah kamu racuni otaknya."

Ali berdecak jengkel. "Oh ya, Das, sebelumnya kamu kerja di mana?"

Pertanyaan lumrah itu malah membuat tenggorokan Edas mendadak kemarau. Dia bingung harus jawab apa. Kalau dia jawab jujur, bisa dijamin sikap Ali dan Firda langsung akan berubah, tidak akan sebersahabat ini lagi.

***

[Bersambung]

Pasti tahu, dong, dulu Edas kerja apa.
Gimana, ya, kalau orang-orang di kantor itu tahu masa lalunya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top