1 - Karyawan Baru

Assalamualaikum ....

Terima kasih sudah memilih cerita ini. Semoga suka dan betah sampai akhir. Mohon dukungannya, ya.

Selamat membaca 🥰

🍁🍁🍁

Bab 1 – Karyawan Baru

"Eh, yang tadi itu siapa, sih? Sumpah, ganteng banget."

"Kayaknya karyawan baru, deh."

"Masa karyawan baru bisa langsung dekat gitu sama Pak Yudian?"

"Keluarganya kali."

"Siapa pun dia, semoga bisa sering-sering nongol di kantor ini. Auranya mood booster banget soalnya."

"Benar banget."

Kedua staf cewek itu cekikikan. Namun, sedetik kemudian suara dehaman menginterupsi keasyikan mereka.

"Ehem ...."

Keduanya langsung menoleh ke arah perempuan berhijab yang berdiri anggun tapi mengintimidasi di depan kubikel mereka.

"Eh, Bu Rania." Ketegangan langsung membaluri wajah mereka. "Selamat pagi, Bu," sapa keduanya serentak dengan gestur sangat sopan.

"Pak Yudian ada di ruangannya, kan?"

"Ada, Bu."

"Ya udah." Rania melanjutkan langkahnya tanpa kata-kata tambahan. Namun, "ya udah" versi dia sudah lebih dari cukup untuk mengingatkan kesalahan kecil kedua staf cewek tadi. Rania paling tidak suka kalau karyawannya menggunakan jam kerja mereka untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pekerjaan.

Akan tetapi, diam-diam Rania jadi kepikiran obrolan kedua staf cewek tadi. Kalau dia tidak salah tangkap, artinya saat ini Pak Yudian lagi sama seseorang—yang ganteng banget—di ruangannya.

Siapa, sih?

Setibanya di ruangan Pak Yudian, Rania langsung masuk setelah mengetuk pintu tiga kali.

"Selamat pagi, Pak," sapanya sambil mendekat.

Ternyata benar, Pak Yudian sedang ada tamu. Sekilas tatapan Rania tertuju ke lelaki berkemeja putih yang duduk berhadapan dengan sang direktur.

Yudian mempersilakan Rania untuk duduk bersama mereka.

Rania pun duduk di sisi lain.

"Ini laporan yang Bapak minta kemarin," katanya sambil meletakkan map biru di atas meja. Rania menahan diri untuk tidak menoleh ke arah lelaki asing yang berhadapan serong dengannya.

"Cepat sekali. Padahal saya nggak minta kamu untuk buru-buru."

"Kan, Bapak sendiri yang selalu bilang, nggak baik menunda-nunda pekerjaan."

Yudian terkekeh ringan. Dia mengambil map itu dan melihat-lihat isinya sekilas, lalu meletakkannya kembali.

"Dan kenapa sepagi ini kamu harus capek-capek mengantarkan ini? Kenapa nggak nyuruh sekretarismu saja?"

"Untuk hal-hal yang menurut saya benar-benar sangat penting, sebisa mungkin saya akan memastikannya langsung, Pak."

Yudian mengangguk ringan, sebelum tatapannya beralih ke lelaki di depannya, yang sedari tadi hanya diam dan tampak sangat kikuk.

"Edas, nantinya kamu harus banyak belajar dari Bu Rania. Dia karyawan terbaik di perusahaan ini."

Lelaki bernama Edas itu mengangkat kepala, menoleh ke arah Rania sebentar seraya mengangguk sopan. Dia juga tersenyum, tapi sangat tipis.

Jadi, namanya Edas?

Dia benar-benar karyawan baru?

Bagian apa?

Posisi apa?

Rania tidak mampu mengontrol monolog di kepalanya. Kehadiran lelaki ini sungguh terasa janggal.

Selanjutnya tidak ada percakapan. Yudian sedang menelepon sekretarisnya, memintanya untuk datang.

Beberapa saat kemudian, seorang perempuan berumur awal 20-an memasuki ruangan bernuansa abu-abu itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya setibanya di samping Yudian.

"Ini Edas, karyawan baru. Tolong antar ke bagian promosi."

"Baik, Pak." Sekretaris itu tersenyum lebar. Tadi dia juga sudah dengar sekilas berita tentang Pak Yudian yang pagi ini datang bersama seseorang yang katanya ganteng banget. Dia cukup menyesal karena tidak sempat melihatnya secara langsung. Karena itu, dia patut bersyukur karena sekarang malah berkesempatan mengantarkan lelaki ini ke lokasi kerjanya. Dari sini ke bagian promosi berjarak empat lantai. Barangkali dia akan punya kesempatan untuk berkenalan dengan karyawan baru yang memang sangat rupawan ini.

"Kalau begitu, saya permisi, Pak."

"Yang saya bilang tadi, jangan sampai lupa, ya."

"Baik, Pak." Edas mengangguk ringan sebelum berdiri dan mengikuti langkah sekretaris itu.

"Papa nggak lagi ngerencanain yang aneh-aneh, kan?" tanya Rania begitu kedua orang tadi keluar.

Seketika Yudian tergelak. "Papa pikir kamu tetap akan bersikap formal sekali pun hanya kita berdua di ruangan ini."

Rania mengempaskan punggungnya di sandaran sofa sambil tersenyum geli. Sudah sering Yudian menggodanya seperti ini. Mungkin karena dia bersikeras tetap bersikap formal di depan karyawan lain, meski berkali-kali Yudian meminta untuk tidak perlu seperti itu.

Menurut Rania, kalau di kantor, Yudian mutlak atasannya. Sudah cukup bisik-bisik yang harus Rania telan mentah-mentah selama ini, bahwa dia bisa menduduki posisi general manager dengan mudah karena anak bos. Jangan ditambah dengan terang-terangan mempertontonkan hubungan mereka sebagai ayah dan anak. Dia ingin selalu terlihat profesional.

"Jadi, siapa lelaki tadi?" tanya Rania setelah tawa Yudian benar-benar reda.

"Sejak kapan kamu tertarik dengan karyawan baru? Biasanya kamu nggak pernah peduli." Kalimat Yudian masih bernada godaan. Maklum, anaknya cuma yang satu ini. Kalau bukan ke Rania yang kadang keras kepala ini, tidak ada tempat lain untuk menyalurkan naluri kebapakannya.

"Kalau masuknya wajar. Tapi, karyawan baru yang tiba-tiba ada di ruangan direktur bahkan sebelum melakukan apa-apa, rasanya sangat aneh, Pa."

"Begitu?"

Rania berdecak. Dari dulu Yudian memang seperti ini, suka menyepelekan hal yang menurut Rania penting. Sebaliknya, kadang dia membesar-besarkan hal yang menurut Rania bukan apa-apa.

"Papa emang kenal dia sebelumnya?" Rania kembali ke topik. "Sejak kapan? Kok, Ran baru lihat?"

"Kenapa? Ganteng, ya?" Yudian malah menaikturunkan alisnya.

Hal itu membuat Rania memutar bola mata. Punya Papa yang suka isengin putrinya gini amat.

"Ran hanya nggak mau Papa terlalu cepat percaya sama orang. Apa lagi kalau asal-usulnya nggak jelas. Bahaya. Zaman sekarang banyak banget orang modus, Pa."

"Papa suka kehati-hatian kamu. Tapi serius, soal Edas nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Yudian beranjak sebentar untuk mengambil tablet di atas meja kerjanya. "Daripada suuzan terhadap karyawan baru itu, mending kita mikirin ini," ujarnya setelah kembali duduk di depan Rania. Tablet yang menampilkan sebuah artikel itu dia letakkan di atas meja.

Tanpa benar-benar baca judulnya, Rania bisa langsung mengenali, itu tulisan yang dia unggah ke blog pribadinya minggu lalu. Secara garis besar tidak ada masalah apa-apa dengan artikel itu. Rania murni hanya mempromosikan produk baru yang mereka luncurkan beberapa bulan yang lalu (permen yang diklaim aman untuk gigi anak-anak). Dia merincikan keunggulannya dibandingkan produk sejenis.

Yang jadi masalah, di salah satu bagian Rania menampilkan foto produk kompetitor sebagai pembanding. Meskipun gambar itu sudah diblur, tapi dari bentukannya orang-orang masih dengan mudah akan mengenali mereknya.

Kalau saja produknya bukan yang itu, mungkin Yudian tidak perlu panik, karena hal semacam ini memang sering terjadi di dunia periklanan. Selama kemasannya tidak ditampilkan secara terang-terangan. Namun, dari sekian banyaknya kompetitor, kenapa Rania harus memilih berurusan dengan PT. Banteng Medika? Selain terkenal karena berhasil mengungguli pasar, perusahaan yang satu itu juga terkenal karena beberapa pemberitaan miring. Konon, mereka tidak segan-segan menggunakan cara kotor dalam berkompetisi. Lebih-lebih kalau ada yang menabuh genderang perang seperti artikel yang ditulis Rania.

Postingan Rania sudah dikomentari ratusan orang, dibagikan ke berbagai sosial media berkali-kali. Yudian yakin, hal itu bukan karena mereka benar-benar tertarik dengan produk baru perusahaannya, tapi karena mereka berusaha meledakkan sesuatu yang menyertai artikel itu.

Sejauh ini Rania berusaha tetap tenang. Meski tidak menampik ada yang berbeda sejak postingan itu beredar. Kadang dia merasa diawasi. Bahaya mungkin memang sedang mengintainya di luar sana.

***

[Bersambung]

Gimana bab satunya?
Tertarik buat baca lanjutannya gak?
Komen, ya. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top