• t u k e r a n •

DARA akhirnya sampai di bengkel tempat ia menitipkan motornya tadi pagi. Dia mencari-cari montir yang tadi pagi mengantarnya sampai lampu merah, tapi yang dia lihat hanyalah pria lain yang diselimuti oli di seluruh wajah.

Dara mengernyit. Dia ingat, pria ini adalah sosok yang sebelumnya dipanggil "Yo" oleh pria yang dia pasrahi motor tadi pagi. Dengan segera Dara mendekatinya.

"Mas Yo, motor saya sudah selesai diperbaiki?" tanyanya pada pria itu.

Si Yo menoleh, menatapnya beberapa saat tanpa berkedip, sebelum menggeleng kuat-kuat. "Maaf, Mbak, ciri-ciri motornya seperti apa?"

"Vespa keluaran lama warnanya biru," kata Dara mantap.

Mas Yo mengitarkan pandangannya ke sekitar, tampak berpikir sejenak sebelum menunjuk satu-satunya vespa warna biru yang ada di bengkel. "Adanya vespa lama ya satu itu, Mbak. Tapi kata teman saya tadi, Mbak yang punya bajunya warna hijau dan bakal diambil siang ini." Mas Yo melirik pakaian Dara, warnanya putih, jadi bukan dia pemilik motornya.

Dara mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk. Warna biru motornya dengan sukses membuat bibirnya mengulum senyum. "Itu motor saya, Mas!"

"Tapi ... baju Mbak warna putih, bukan hijau. Ini motor yang ditinggal tadi pagi di sini, nggak mungkin mbak yang punya bisa ganti-ganti baju dalam beberapa jam, apalagi kalau Mbak-nya tadi pagi baru mau berangkat kerja, kan?"

Dara meringis, kata-katanya benar, tapi dia memang yang punya motor itu. "Tadi ada sedikit masalah waktu saya berangkat, Mas. Itu kenapa saya udah ganti baju sekarang."

"Hm ... tapi saya tetap nggak berani ngasih izin buat diambil sekarang, Mbak. Mas Gilang juga bilang, dia kelupaan ngasih nota sebelumnya. Jadi, lebih baik tunggu Mas Gilang-nya pulang aja, ya? Dia lagi keluar, beli nasi bungkus buat makan siang."

"Lama nggak, ya?" Dara meringis, dia mengeluarkan ponsel untuk mengecek jam di ponselnya, lalu menghela napasnya kasar. "Oke, deh, saya tunggu. Dia pasti masih ingat sama saya, karena dia sempat nganterin saya berangkat tadi pagi."

Mas Yo menunjuk sebuah kursi yang ada di tempat tunggu. "Mbak bisa tunggu dulu di sana dulu, ya. Saya mau lanjut kerja sebelum Mas Gilang datang. Takutnya nggak keburu selesai sebelum jam makan siang."

Dara mengangguk, dia pun berjalan menuju kursi yang ditunjuk, kemudian duduk. Dara menghela napasnya kasar, lalu mulai memejamkan mata. Berdoa dalam hati semoga si Gilang ini tidak datang terlambat dan membuat Dara ikut-ikutan telat untuk balik ke kantor.

Uang sakunya hanya tersisa sedikit. Dara berharap biaya perbaikan motornya tidak membengkak dan membuat uangnya habis. Apalagi, dia juga belum sempat makan siang tadi. Semoga uang dan waktunya masih tersisa agar dia tidak berakhir pingsan saat bekerja.

Lima menit kemudian, motor yang Dara kenali sebagai motor Gilang memasuki bengkel dan terparkir dengan sempurna. Pemiliknya turun sambil membawa beberapa nasi bungkus di tangan kirinya.

Pandangan keduanya bertemu. Gilang terdiam beberapa saat, sebelum dia mendekati Dara yang kini berdiri untuk menyambut kedatangannya.

"Nunggu lama, Mbak? Kenapa nggak langsung diambil aja?" tanya Gilang kemudian. Dia meletakkan kantung besar berisi nasi bungkus itu di atas kursi tempat duduk Dara sebelumnya.

"Kata Mas Yo, kamu pesan kalau yang punya motor bajunya warna hijau," adunya.

Gilang meringis. "Maaf, saya tidak tahu kalau Mbak-nya bakal ganti baju." Gilang melirik pakaian Dara yang tampak terlalu mengetat di bagian dadanya. "Apa terjadi sesuatu?"

Dara mengangguk. "Ada masalah sedikit, ini baju teman saya. Terima kasih buat anterannya tadi pagi, sekarang saya mau ambil motor saya. Sudah selesai diperbaiki, kan, ya?"

"Sudah-sudah. Yo, tolong diparkirin di depan motor Mbak-nya!" teriaknya pada mas yang sebelumnya bicara dengan Dara.

Si Yo itu hanya mengangguk dan mulai menyiapkan motor Dara di depan, agar bisa lekas dibawa pulang oleh pemiliknya.

"Makasih, Mas. Jadi saya bayar berapa buat biayanya?" tanya Dara dengan senyum mengembang di bibirnya.

Gilang jadi salah fokus. Dia berdeham pelan, lalu menyebutkan sebuah nominal yang tidak begitu besar. Dara memberikan uang itu dan berniat lekas pergi dari sana, saat Gilang cepat-cepat berkata, "Mbak nggak bawa jaket atau pakaian lain gitu?"

"Eh?"

"Pakaian Mbak terlalu tipis dan mengetat di badan. Takutnya nanti terjadi macam-macam kalau mbak nyetir sendirian. Bentar, saya pinjamin jaket, ya?" tawarnya kemudian.

"Heh, nggak usah repot-repot, Mas!" teriak Dara, tapi Gilang sudah menghilang dengan cepat dari pandangannya.

Pria itu kembali dengan sebuah jaket di tangan kanan yang kemudian dia sodorkan kepada Dara. "Tolong dipakai, saya nggak mau terjadi apa-apa sama Mbak di jalan."

"T-tapi, saya nanti juga harus kembaliin jaketnya ke Mas. Saya harus ke sini lagi. Jadi bakal makan waktu dua kali, kan?"

"Kalau gitu, Mbak simpan aja nomor saya atau bagaimana enaknya. Saya bisa ambil ke kantor Mbak kalau Mbak-nya terlalu sibuk buat balikin ke sini."

Dara buru-buru mengeluarkan ponselnya. Gilang pun melakukan hal yang sama. Keduanya terpaksa harus bertukar nomor, karena Dara juga ingin memakai sesuatu untuk menutupi dadanya yang sukses membuat siapa pun melotot saat memandanginya.

"Mau disimpan pakai nama siapa?" tanya Gilang kemudian.

"Dara, nama saya Dara, Mas Gilang."

"Oke, Mbak Dara, ya. Lain kali hubungi saya kalau mau bertemu untuk ngembaliin jaketnya, ya?" katanya memastikan.

"Makasih banyak buat bantuannya hari ini, ya, Mas." Dara pun pamit dari sana setelah memakai jaket milik Gilang.

"Modusnya sukses banget tuh, Mas! Belajar dari mana?" goda Rio yang kini mengedipkan sebelah matanya pada Gilang.

"Kenapa? Mau ikut belajar modus juga biar laku, ya?"

"Mas Gilang ini tahu aja kalau saya nggak laku!" Rio tertawa terbahak-bahak. "Tapi Mbak-nya beneran cakep banget sih, Mas. Kekepin aja, tangkapan bagus dia itu, kali aja bisa dinikahin tahun depan!"

"Kamu kira saya sedang mancing ikan?" Gilang mendengkus lalu mengangkat kantong berisi nasi bungkus. "Sini, makan siang dulu! Yang lainnya dipanggil juga."

"Asyiap, Bos!"

____

🤒🤒🤒

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top