• 29 •
"BESOK pagi-pagi banget aku ke sini lagi, soalnya aku mau anterin kalian ke stasiun kereta api," kata Galih sebelum dia benar-benar pergi.
"Kamu nggak usah repot-repot gitu, deh. Kami bisa berangkat sendiri kok," tolak Dara mentah-mentah.
"Aku enggak repot, Dara. Besok kantor juga libur. Jadi nggak masalah kalau aku nganter kalian pagi-pagi banget kayak gitu." Galih tetap kukuh dengan niatnya.
"Tapi aku berangkatnya jam dua pagi, Aji." Dara mengembuskan napas kasar.
Kenapa Galih kukuh sekali mau mengantarnya pergi, sih?
"Kamu nggak usah aneh-aneh gitu, deh. Aku kan bisa nyewa gocar atau taksi online, jadi kamu nggak harus antar jemput segala."
Galih menatapnya dengan tatapan tidak suka. "Kamu harus mau dianterin sama aku atau aku bakal larang kamu buat pergi besok?" ancamnya dengan raut wajah serius.
Dara langsung mencibir, "Kamu mau larang aku kayak gimana coba? Bukannya kamu udah kasih izin aku buat cuti dari kantor, ya?"
"Nurut aja kenapa, sih, Ra? Aku yang nganter nggak ngerasa udah direpotin sama sekali. Oh ayolah, anggap aja ini pertemuan terakhir kita sebelum LDR-an seminggu," pinta Galih dengan wajah memelas. Dia benar-benar memohon sekarang.
"Kenapa? Jangan bilang kamu nggak betah kalau harus LDR-an, ya?"
"Emang enggak." Galih menatapnya serius. "Jadi, jangan sampai kamu nggak bales pesan atau nolak telepon dari aku selama kamu ada di kampung nanti."
"Kenapa kalau aku nggak mau bales pesan kamu atau nggak mau terima telepon dari kamu?" Dara tampak menantang, karena dia merasa yakin dirinya bakal menang.
Galih mendekatkan wajahnya, kemudian dia berbisik di telinga Dara dengan suara serak serak seksinya. "Aku bakal langsung samperin kamu, terus aku langsung nikahin kamu di sana."
Dara langsung mendelik ke arah mantan pacarnya itu. "Emang kamu tahu di mana alamat rumahku di kampung?"
"Ibu kamu udah ngasih tahu aku." Galih menyeringai penuh kemenangan.
Dara memelototinya. "Udahlah, ya! Kamu sekali aja dikenalin sama keluarga aku, tiba-tiba aja udah dapat restu jadi mantu."
"Kamu juga, kan? Sekali aja dibawa ketemu keluarga aku, semua orang langsung setuju kalau nantinya aku bakal nikahin kamu. Padahal waktu kamu itu masih bocah kelas satu SMA."
Dara mengerjapkan matanya berulang kali dan menatap Galih dengan tatapan tidak percaya. Dia tidak tahu itu. "Emang iya, ya?"
Galih mengangguk. "Emang nggak kelihatan, ya, kalau orang tua aku udah suka banget sama kamu dari dulu?"
Dara menggelengkan kepala. "Enggak, aku kira mereka cuma ramah biasa aja—"
"Mana ada yang kayak gitu." Galih mendengkus pelan. "Bahkan kemarin waktu aku cerita sama mama soal aku yang ketemu kamu lagi, mama langsung nanya kapan kamu main ke rumah lagi."
"I-itu bukannya kamu cuma modus aja, ya?" Dara mengerjap dan menatap Galih dengan tatapan tidak percaya.
Dia yakin Galih hanya modus saja, karena bagaimana ceritanya ibunya Galih merindukan seseorang seperti Dara?
"Enggak, lah, aku serius. Mama emang kangen banget sama kamu. Kalau papa sih, dia kayaknya belum tahu, karena sampai sekarang dia belum nanya-nanya sama aku."
Dara merasa wajahnya memanas, pipinya pasti sangat merah sekarang, untung saja temaram lampu depan rumah menghalangi pengelihatan.
"Jadi, kapan kamu siap buat dilamar?"
Dara langsung memukul pelan bahu pria yang ada di depannya ini. Wajahnya sudah sangat merah padam sekarang. Dia hanya berdoa, semoga Galih tidak menyadari rona merah di pipinya.
"Jangan terlalu berharap ya, Anda! Balikan aja belum, udah mau lamar aja. Aku aja belum bilang setuju, masa aku iya iya saja nerima lamaran kamu?" cibir Dara.
"Iya iya ...." Galih mengembuskan napas kasar. Apa boleh buat, kalau memang gadisnya belum mau dilamar? "Kalau gitu, aku mau pulang dulu."
Dara mengangguk. "Hati-hati di jalan!"
"Night, Dara. Mimpi indah, ya! Eh, mimpiin aku aja ya, pasti nanti kamu bakalan mimpi indah!"
Dara melotot, terus mendorong Galih menuju motor Harley-nya. Sejak kapan pria di depannya ini jadi jago menggombal seperti ini? Padahal seingatnya, Galih itu tipe pria yang dewasa, cool, kalem, dan pendiam sekali.
"Good night juga, udah sana pulang, nggak usah banyak omong sekarang!"
Dara mengusir Galih dari rumahnya secepat mungkin, sebelum ia bisa melihat semua pesona yang selama ini belum pernah ditunjukkan Galih padanya.
Dara hanya menghela napasnya lega setelah Galih meninggalkan pekarangan rumahnya. Mereka baru bertemu kembali selama beberapa hari, jadi mereka masih dalam tahap adaptasi.
Terlebih memang Galih sudah banyak berubah sekarang. Dia juga tidak banyak menunjukkan sifat aslinya, hingga mereka saling terbuka tempo hari. Namun, sifat asli Galih benar-benar berkebalikan dengan sifat yang dia tunjukkan selama di kantor.
Dara mengembuskan napas kasar. Dia pun memilih memasuki rumah dan dia langsung melihat ibu serta adiknya sedang menunggu kedatangannya di ruang tamu.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita, kalau kamu pernah punya pacar kayak gitu sama Ibu?" Asih langsung saja menyerang Dara.
"Gimana mau cerita, kalau Dara aja nggak dikasih izin buat pacaran sama ayah sama ibu dulunya?" Dara memejamkan mata sambil mengembuskan napas kasar. "Udahlah, ngapain sih bahas dia?"
"Dia ganteng banget tahu, Kak. Orangnya juga kelihatan baik banget, mana dia juga udah mapan lagi, cocok banget dijadiin calon suami potensial," komentar Lintang. Terlihat jelas kalau dia sudah mengagumi Galih hanya dalam sekali pertemuan.
Dara mendengkus pelan. "Jangan banyak berharap, kakak nggak mau balikan sama dia."
"Emang kenapa?" Kompak ibu dan adiknya bertanya.
"Beda kasta."
Serempak Lintang dan Asih membungkam mulutnya rapat-rapat.
Dara berjalan pergi menuju undakan anak tangga, kemudian dia berbalik untuk menatap adik serta ibunya. "Kalian nggak mau tidur? Bukannya besok kita berangkat jam dua, ya?"
"Oh, iya juga! Lintang, kamu tidur sekarang juga, Nak! Jangan lupa pasang alarm, ya, takutnya kakak kamu sama Ibu besok kesiangan!" perintah Asih pada putri bungsunya.
"Siap, Bu! Lintang bakalan tidur sekarang juga, biar besok bisa ketemu lagi sama kakak ganteng walaupun nggak bakal jadi kakak ipar Lintang."
Dara mendengkus keras mendengar kata-kata adiknya. Tidak biasanya Lintang jadi cerewet dan banyak omong seperti ini. Biasanya dia tipe anak yang diam dan lebih banyak menundukkan kepala, alih alih banyak bicara.
Dara melengos menuju kamarnya, sedangkan Asih menghela napas panjang setelah dia mendengar kata kata dari Dara sebelumnya.
Beda kasta, ya?
Pantas saja anaknya tidak mau menerima Aji kembali, ternyata itu alasannya. Apakah keluarga Aji tidak menyukai putrinya? Apakah mereka tidak mau menerima mantu dari orang biasa saja seperti mereka?
Namun, jika memang benar demikian kasusnya. Harusnya Aji tidak mungkin berani bilang kalau dia akan langsung melamar Dara, ketika Dara sudah bisa menerimanya kembali, kan?
Lalu kenapa mereka ....
Asih hanya akan diam saja. Biarlah masalah itu menjadi urusan mereka berdua. Biarkan mereka mencari jalan keluarnya tanpa adanya campur tangannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top