• 28 •

JIKA semalam Dara bisa membawa motornya berkelit memasuki jalanan sempit untuk mencegah Galih mengikutinya, kali ini dia tidak bisa melakukannya. Bahkan hanya untuk menang kecepatan saja dia tidak mampu melakukannya.

Motor vespa keluaran lama miliknya jelas bukan saingan motor harley Galih yang terlihat gagah. Sebenarnya mengusir pria itu sekarang cukup mudah. Dara hanya perlu menerima tawarannya untuk balikan, lalu memaksa Galih untuk pulang.

Sayang, Dara masih merasa enggan untuk balikan dengannya. Selain perbedaan kasta yang membuatnya ragu, juga karena pria itu memiliki kini masa lalu yang sedikit membuat hati Dara terluka saat membayangkannya.

Dara masih tidak bisa menerima fakta, Galih telah merusak dirinya dengan sengaja. Perbuatannya itu membuat jarak baru yang begitu lebar di antara mereka. Dara bahkan mulai ragu, apakah dia masih mengenal sosoknya atau tidak.

Galih memang berkata dia sudah berubah, tapi tidak ada kepastian jika dia kembali berulah. Jika dia berulah sebagai kekasihnya, Dara masih bisa memutus jarak dengan cara mengakhiri hubungan mereka.

Namun, jika sampai mereka menikah dan Galih kembali berulah, Dara tidak bisa membayangkan dirinya melayangkan gugatan cerai pada suami yang jelas-jelas masih sangat dicintainya.

Katakan saja Dara adalah wanita tolol, karena dia memang tolol. Cinta itu telah mengakar di hati dan membuatnya tidak bisa berpaling lagi. Sembilan tahun tanpa sedikit pun niat untuk mencari pengganti.

Dara bahkan tidak pernah memikirkan masa depannya sendiri selama ini.

Motor vespanya berbelok menuju salah satu perumahan sederhana. Rumah tempat tinggal Dara adalah sebuah perumahan sempit berlantai dua. Tidak ada yang istimewa dari rumah seperti itu, selain tempat yang nyaman untuk ditinggali bersama keluarga.

Galih yang mengikuti Dara dari belakang dibuat terkejut saat Dara menghentikan motornya di depan salah satu rumah di perumahan itu. Dia pikir, Dara tinggal di rumah susun sederhana yang harus melewati jalan sempit seperti semalam untuk sampai tujuan, makanya dia memilih naik motor hari ini.

Namun ternyata, Dara sengaja membawanya berkeliling gang-gang sempit semalam, karena dia tidak mau diantar pulang olehnya.

Galih mengepalkan tangannya. Dia terlihat kesal. Dia pikir, Dara sudah mau membuka dirinya, tapi ternyata dia sama sekali belum mau terbuka dengannya.

Dara yang melihat raut wajah Galih malam ini hanya bisa menghela napas kasar. Dara mencoba tersenyum saat ia mendekati Galih dan memberi tawaran untuk mampir.

"Jadi mampir, nggak? Tapi rumahku biasa aja," katanya, mencoba biasa saja di bawah tatapan tajam Galih yang serasa sedang menelanjangi tubuhnya.

"Bukannya mobil masih bisa lewat di sini?" tanya pria yang sedang dipenuhi kekesalan itu.

Dara menganggukkan kepala. "Bisa."

"Terus kenapa kemarin kamu ninggalin aku dan malah muter-muter nggak jelas di gang sempit kayak gitu?"

Dara tidak ingin menjawabnya.

Galih yang tidak mendapat jawaban pun turun dari motornya dan berdiri di depan Dara. "Aku mau kita saling terbuka, tapi kenapa kamu sulit banget buat terbuka sama aku sih, Dara?"

Dara memejamkan mata saat Galih menatapnya dengan tatapan seintens itu. Dia akan kesulitan menjawab jika Galih berhadapan dengannya.

"Jujur, aku masih belum bisa percaya sama kamu lagi," gumamnya sangat pelan, tapi cukup untuk bisa didengar.

Sesuatu tak kasat mata langsung menusuk relung hatinya. Galih terdiam cukup lama, sebelum kembali bertanya, "Kenapa?"

Dara menggelengkan kepala, dia memberanikan diri menatap sang mantan yang berdiri di depan tubuhnya. "Rasanya sulit, aku ngerasa udah nggak kenal lagi sama diri kamu yang sekarang."

"Oh, gitu."

Dengan berat hati, Galih harus mau menerima alasan itu. Lagi pula Dara memang benar, dia sudah banyak berubah sekarang dan Dara butuh waktu untuk mengenalinya ulang. Galih tidak akan memaksa, tapi jika disuruh menjauh, dia tidak terima.

"Aku tahu, aku udah banyak berubah dan kamu butuh waktu buat mengenaliku lagi, tapi sekali ini saja, apa aku boleh ketemu sama keluarga kamu, Dara?" Galih menatapnya dengan tatapan memohon.

Tidak apa-apa. Mereka tidak harus balikan sekarang juga. Pelan-pelan saja. Biarkan Dara mengenalnya kembali dan melihat keseriusannya.

Dara terdiam cukup lama, sebenarnya dia ingin menolak dan menggelengkan kepala, tapi Galih terlihat sangat serius ingin mengenal keluarganya.

Dara juga sudah mengenal kedua orang tua Galih sebelumnya, jadi tidak ada salahnya jika mengenalkan Galih pada ibu dan adiknya

Dara mengangguk. "Tapi kenalin diri kamu sebagai teman dan atasanku sekarang, kamu mau, kan?"

Galih hanya bisa mengangguk setuju dan Dara pun membawa Galih masuk ke rumah kecilnya itu.

Asih, ibunda Dara terlihat kaget saat melihat Dara pulang membawa seorang pria tampan di sisinya. Anak gadisnya tidak pernah bilang kalau dia punya pacar ataupun dekat dengan seorang pria sebelumnya. Jadi, dia benar-benar terkejut melihat Galih memasuki rumahnya.

"Bu!" panggil Dara, saat ibunya mendekat dengan ekspresi linglung tergambar di wajahnya.

"I-ini siapa?" Asih menatap putri sulungnya dengan tatapan menuntut.

"Dia Aji, temen sekolahku dulu yang sekarang jadi atasanku di kantor." Dara memperkenalkan Galih yang kini tersenyum sopan pada ibunda Dara.

Galih menyalami Asih dengan sopan. "Aji, Bu."

"Salam kenal ya, Nak."

Dara yang melihat Galih memasang wajah sopan langsung mendengkus pelan. Dia lupa, dulunya memang Aji adalah orang yang sangat sopan, tidak seperti sekarang yang terkesan arogan.

"Dara bawa dia ke sini, karena dia mau kenalan sama ibu dan Lintang sebelum kalian pulang kampung katanya," adunya, tanpa menutupi apa pun dari ibunya.

Asih terlihat terkejut mendengarnya. Dia tidak bodoh, hingga dia tidak bisa menyadari apa keinginan Aji untuk berkenalan dengannya.

Pria tampan di depannya ini pasti memiliki rasa pada putrinya, hanya saja sepertinya hubungan mereka belum terlalu baik, hingga Dara hanya memperkenalkan Aji sebagai teman alih-alih sebagai pacarnya.

Dengan ragu, Asih menarik tangan Aji dan menggenggamnya dengan erat. "Kalau begitu, sini duduk dulu, Nak!" Dia pun membawa Aji untuk duduk di ruang tamu. "Dara, panggil adikmu, terus suruh dia turun ke sini! Jangan lupa kamu mandi dulu dan ganti baju sebelum ke sini," perintahnya.

Dara terlihat cemberut, tapi dia tetap menurut. "Iya, Bu."

Setelah itu Dara naik ke atas, sepertinya kamar adiknya berada di lantai dua.

Asih tersenyum pada Aji yang kini terlihat sopan dan ramah sekali di depannya. "Kamu temennya, Dara?"

Aji menganggukkan kepala.

"Cuma temen biasa atau kalian punya hubungan spesial sebelumnya?" Asih pun tak bisa menahan diri untuk mulai menginterogasi.

"Kami pernah pacaran tiga tahun waktu dia masih SMP sampai SMA, Bu." Aji tidak berniat menutupi apa pun. Toh, kalau dia benar-benar bisa kembali dengan Dara, ibunya Dara pasti akan tahu soal masa lalu mereka.

Asih terlihat terkejut mendengarnya. "Kenapa Dara nggak pernah cerita sama ibu, ya?"

"Mungkin dia takut, Bu. Soalnya waktu itu dia masih kecil, masih SMP."

"Kok kalian bisa kenal? Kelihatannya kamu lebih tua beberapa tahun dari Dara, ya?"

Aji tersenyum masam, dia memang lebih tua dua tahun dari Dara, tapi masa iya ibunya Dara sampai mengetahuinya? Apa memang mukanya sekarang sudah terlihat sangat tua, ya?

"SMP sama SMA kami dulu bersebelahan gitu, Bu, satu lokasi dan kami sering ketemu di perpustakaan."

"Waktu pacaran, kalian pernah macam-macam, nggak?" Asih menatapnya penuh selidik.

Aji menggeleng tegas. "Cuma belajar bareng, Bu."

Asih mengucap syukur di dalam hatinya. "Terus kenapa kalian bisa putus?"

"Sembilan tahun lalu, saya ambil beasiswa buat kuliah di luar negeri, Bu." Aji menatapnya pilu.

Asih pun langsung terkejut. Sembilan tahun lalu, itu harusnya bersamaan dengan kepergian suaminya. "Kamu tahu kalau—"

"Dara baru menceritakannya kemarin, Bu. Saya menyesal tidak tahu alasan dia mengakhiri hubungan kami waktu itu. Dia nggak pernah cerita apa pun sama saya."

Asih menghela napasnya berat. "Dara memang orangnya begitu, dia nggak suka cerita sama siapa pun. Bahkan sama ibu saja dia jarang cerita soal masalahnya."

"Mungkin karena dia nggak mau Ibu khawatir sama dia."

"Tapi dia mau cerita sama kamu, kan? Soalnya kamu tahu, ibu sama adiknya mau pulang dan menetap di kampung." Asih tersenyum padanya. "Hubungan kalian sekarang bagaimana?"

Aji tersenyum manis. "Sudah lumayan baik, Bu. Mungkin saya harus berjuang lebih dan lebih lagi, biar dia mau menerima saya kembali."

"Yang sabar ya, anaknya memang sedikit keras kepala." Asih mengembuskan napas lega.

Dia kira Dara tidak akan pernah menikah, karena di umurnya yang hampir seperempat abad, Dara tidak terlihat dekat dengan pria. Dia juga tidak pernah punya pacar. Asih jadi khawatir pada putri sulungnya.

"Iya, Bu."

Asih menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napas perlahan. "Sejujurnya, ibu bersyukur ketemu sama kamu sekarang. Jadi ibu bisa kembali ke kampung dengan tenang. Ibu takut meninggalkan Dara sendirian, takut dia hilang arah dan menyentuh sesuatu yang salah."

Aji menelan ludahnya susah payah. Dara bukan wanita seperti itu, tapi dia pernah. Dia pernah salah arah dan menyentuh sesuatu yang salah. Namun, Aji berani bersumpah dia telah berubah.

"Nak Aji, ibu boleh minta tolong sama kamu, kan?"

Aji menganggukkan kepalanya dengan berat.

"Tolong jaga dan awasi Dara selama ibu nggak ada. Jangan sampai dia menyentuh hal-hal yang salah, karena ibu nggak akan pernah rela anak ibu jadi orang yang nggak bener di masa depan."

"Saya akan berusaha sebaik-baiknya, Bu."

Asih tersenyum lega, dia benar-benar lega menitipkan Dara pada Aji yang terlihat sangat bisa diandalkan ini. Dia bahkan sangat berharap Aji bisa menjadi menantunya, tapi kalau Dara masih tidak mau, dia tidak akan memaksa.

Lintang turun dari lantai dua dan terpesona saat melihat Aji duduk di depan ibunya. "Sumpah, kenapa Kakak nggak pernah cerita kalau dia punya kenalan cowok sekeren ini?" katanya.

Aji yang mendengarnya sukses tertawa. "Keren apanya, kalau kakak kamu aja sama sekali nggak tertarik sama aku."

"Pasti dia bohong itu." Lintang mengulurkan tangan pada Aji. "Lintang, Kak."

"Aji, salam kenal ya, Dek."

Aji pun berkenalan dengan mereka, sebelum Dara menghampirinya Aji meminta alamat rumah mereka yang ada di kampung sana.

Seumpama Dara sudah siap menerimanya kembali, Aji bersumpah dia akan mendatangi mereka bersama kedua orang tuanya dan langsung melamar Dara detik itu juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top