• 21 •

"BAGAIMANA kabarmu selama sembilan tahun terakhir?" Galih terpaksa harus mulai membuka obrolan karena suasana menjadi canggung saat keduanya sedang makan.

"Bisa dibilang cukup baik." Dara menjawabnya dengan jujur.

Tidak ada hidup yang terus berjalan dengan terlalu baik. Pasti ada masalah-masalah kecil yang mengganggu siapa pun setiap harinya. Terlebih sudah sembilan tahun berlalu, tentu saja Dara pernah mengalami asam dan pahitnya kehidupan yang dia jalani hingga dia nyaris menyerah pada hidupnya.

"Bagaimana denganmu?" Dara balik bertanya. Selain tidak sopan jika tidak bertanya balik juga karena dia sadar, Galih sedang berusaha memecah canggung di antara mereka.

Setelah sekian lama. Setelah perpisahan yang cukup menyakiti hati keduanya. Mereka kembali dipertemukan dan akhirnya bisa bicara dengan suasana hati yang lebih tenang.

"Awalnya memang buruk, tapi aku mencoba menjalani hidup dengan sebaik mungkin." Galih tersenyum tipis. Dia teringat hidupnya selama sembilan tahun terakhir dan dia merasa ingin mencemooh gaya hidupnya sendiri.

"Syukurlah, setidaknya kamu sudah menjalani hidupmu dengan lebih baik. Lalu, apa kamu sudah pernah menikah sebelumnya?" Dara bertanya secara tiba-tiba.

Usia Galih sudah cukup matang untuk membina sebuah rumah tangga. Tidak ada salahnya bertanya, karena memang bisa saja pria itu sudah pernah menikah sebelumnya. Walaupun pada akhirnya dia menjadi duda, tapi itu bukan masalah besar bagi seorang pria mapan sepertinya.

Galih langsung tersedak ludahnya saat mendengar pertanyaan Dara. "Apa kamu tidak punya pertanyaan lain yang lebih enak didengar dari itu? Seperti bertanya soal pacar atau hal lainnya? Kenapa kamu malah bertanya soal status pernikahanku?"

Dara mengerjapkan kedua matanya. "Tidak ada salahnya bertanya hal itu, kan? Usiamu sudah cukup untuk menikah. Aku juga tidak pernah mendengar kabarmu lagi selama sembilan tahun terakhir. Mungkin saja kamu memang sudah pernah menikah, aku tidak akan tahu itu jika aku tidak menanyakannya langsung padamu, kan?"

Galih berdecak. Dia terlihat cukup kesal saat menjawab Dara. "Menikah apanya, pacar saja tidak punya."

Dara menatapnya kaget. "Bukannya kamu sedang berpacaran dengan Felicia? Aku pernah melihat kalian pulang bersama waktu itu, kan?"

Galih tersenyum masam. "Hanya percobaan saja, hubungan kami sudah berakhir sejak lama."

"Hah?" Dara menatapnya terkejut.

Aji yang dia kenal adalah orang yang setia dan siap menurunkan egonya demi pasangannya. Mereka bahkan pernah menjalani hubungan selama tiga tahun lamanya. Dara sangat tahu seperti apa Aji di masa lalu, tapi bagaimana bisa ....

Galih menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napas secara perlahan. Percuma saja menutupi hal seperti itu dari Dara, karena cepat atau lambat Dara pasti tahu tentang gaya hidup menyedihkan yang dijalaninya selama ini.

"Aku pernah menjalin hubungan berulang kali setelah putus denganmu," akunya.

Dara tanpa sadar menahan napas saat mendengar pengakuan Galih tentang hubungan asmaranya selama sembilan tahun terakhir. Dia tidak menyangka, tapi Galih memang memiliki semua modal untuk menjadi pria berengsek di luaran sana.

"Sayangnya, tidak ada dari hubungan itu yang bisa bertahan lebih lama dari dugaanku," lanjutnya.

Dara mengerjapkan kedua matanya. "Paling lama berapa tahun?"

Galih tertawa kecil. "Tidak sampai selama itu, paling lama mungkin hanya lima minggu."

Dara benar-benar terkejut setengah mati. Tidak ada yang melewati satu tahun, bahkan hanya bisa melewati satu bulan lebih beberapa hari. Lalu, sudah berapa kali Galih menjalin hubungan dengan seorang perempuan selama sembilan tahun terakhir ini?

"Kamu sendiri bagaimana?"

Dara mengerjap. "Aku?" Dara menunjuk dirinya sendiri menggunakan telunjuk tangan kanannya.

Galih mengangguk. "Apa kamu punya pacar?"

Dara tersenyum miris. "Aku tidak punya waktu untuk mencari pacar selama ini."

Itu benar, dia memang tidak memilikinya. Dara menghabiskan sisa masa SMA-nya dengan belajar agar dia bisa mendapatkan beasiswa. Saat kuliah, dia juga fokus belajar dan mencari pekerjaan sambilan untuk mengurangi beban yang ditanggung ibunya.

Bahkan sampai sekarang, dia belum bisa membuat ibunya hidup dengan tenang tanpa memikirkan tentang uang dan biaya sekolah adiknya. Dia terlalu tidak berguna menjadi anak pertama di keluarganya.

"Kenapa?" Galih cukup terkejut mendengarnya. Dia kira Dara sudah sejak lama melupakannya. Bahkan mungkin Dara sudah punya satu atau dua mantan pacar lain setelah putus dengannya.

Dara mengangkat bahunya. "Aku benar-benar tidak punya waktu untuk melakukan hal seperti itu. Lagian, mana ada pria yang mau dengan wanita jelek dan miskin sepertiku?"

Galih terdiam, kata-kata Dara mengingatkannya pada hinaan Felicia waktu itu. Galih sangat marah mendengarnya, tapi dia menahan diri untuk tidak menegur Felicia di depan Dara.

Sayangnya, tegurannya sama sekali tak didengar baik dan mereka malah bertengkar cukup hebat setelahnya. Alhasil, itu adalah hari terakhir mereka menjalin hubungan. Putus dengan mudah.

"Bukankah salah satu teman kerjamu ada yang menaruh perhatian padamu?" Galih langsung menyerangnya. Dia tidak buta sampai tidak menyadari kode Agus yang terang-terangan tertarik pada Dara.

Dara hanya tersenyum mendengarnya. Dugaan Agus benar adanya, Galih memang menyadari perasaan Agus padanya. Galih bahkan sampai menandai Agus sampai seperti itu. Apa mungkin karena Galih masih memiliki rasa padanya?

Dara mencemooh pikirannya sendiri di dalam hati. "Apa aku terlihat seperti orang yang tega mengencani teman kantornya dan mengajaknya menderita bersama?" Dara tertawa pelan. "Lagi pula, karena ulah seseorang yang menandainya habis-habisan, sekarang dia pindah haluan dan mengejar perempuan lain yang berani menjanjikan pernikahan."

Galih mengerjapkan kedua matanya tidak mengerti. "Apa?"

"Tidak ada apa-apa."

"Tunggu sebentar, apa maksudmu dengan pindah haluan dan memilih mengejar perempuan lain? Apa dia sudah mendapat target baru sekarang?" Galih menatapnya kaget.

Dara mengangguk. "Dira sedang bercanda, tapi Agus menanggapinya dengan serius. Alhasil kalau Agus bisa menepati syarat yang Dira minta, mereka akan menikah cepat atau lambat."

Galih mendengkus keras. "Apa-apaan itu? Apa dia sungguh tidak tahu malu sampai bisa pindah haluan dengan cara seperti itu? Apa kamu tidak sakit hati mendengarnya?"

"Tidak. Sama sekali. Aku malah senang seandainya mereka bisa menikah dan bahagia." Dara mengatakannya dengan santai.

"Apa?"

"Malah rasanya beban yang diam-diam kurasakan selama ini akhirnya hilang juga." Dara tersenyum lebar. "Jadi, aku akan mendoakan yang terbaik untuk mereka berdua."

"Lalu, bagaimana denganmu?" Galih menatapnya serius. "Apa kamu sama sekali tidak sakit hati ataupun kecewa, karena Agus sama sekali tidak mau memperjuangkan perasaannya padamu?"

"Tidak. Dia memang sudah berjuang cukup keras, tapi aku tidak mencintainya dan aku tidak bisa menerima perasaannya. Jika memang kami pacaran, itu semua murni karena aku merasa kasihan. Tentu saja, aku tidak mau melakukan hal itu pada teman dekatku," jelasnya panjang lebar.

Galih menelan ludah susah payah. Tidak seperti dia yang sengaja mencari perempuan lain agar bisa menghapus bayangan Dara di pikirannya. Dara benar-benar tidak mau menjalin hubungan jika dia memang tidak memiliki rasa cinta.

Dara sangat berbanding terbalik dengannya. Apa dia yang berengsek ini masih pantas untuk Dara?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top