• 17 •
"DARA mana?" Agus langsung bertanya begitu masuk dan tak menemukan Dara berada di kursinya. Padahal Dara tadi kembali bersama Dira, tapi sekarang hanya Dira saja yang terlihat di matanya.
Dira menunjuk pintu ruangan bos mereka. "Dipanggil sama Pak Bos."
Farhan sontak mengernyitkan dahi. Dia mendekati Dira kemudian bicara dengan nada cukup pelan. "Ada masalah?"
"Kayaknya sih." Dira meringis.
Dia melihat meja Dara yang sudah tertata rapi, tidak banyak pekerjaan yang tertinggal dan itu seperti bukan Dara sekali, karena Dara biasa pulang terlambat untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Kemudian tatapannya terhenti pada kalender yang dilingkari oleh tinta warna merah. Dira mengerjapkan kedua matanya. "Bener juga. Biasanya Dara ambil cuti setiap tanggal itu, kan?"
Dira tidak tahu apa alasan pastinya, tapi Dara selalu ambil cuti di tanggal yang sama setiap tahunnya. Mereka sudah bekerja di sana selama tiga tahun dan Dara selalu mengambil cuti di tanggal serupa setiap tahunnya.
Mereka tentu saja pernah menanyakan apa alasannya, tapi Dara mengelak dan menjelaskan bahwa ada urusan keluarga yang harus dihadiri olehnya. Setiap tahun, layaknya sebuah peringatan yang begitu membekas dan harus diingat terus menerus.
Farhan cepat tanggap dengan situasi sekarang. "Biar gue samperin dia di ruangan Pak Galih. Mungkin aja dia butuh bantuan gue sekarang."
Sebelumnya Dara bisa mendapat izin itu dengan mudah, tapi dengan mantan pacar yang masih memendam rasa seperti itu ... semuanya pasti bakal dipersulit oleh Galih, walaupun pria itu tidak bermaksud melakukannya.
"Mau sok pahlawan lo?" Agus mendengkus keras.
Dia ingin mengajukan diri menggantikan Farhan, tapi sadar diri kalau Galih sendiri sudah pengin menelannya bulat-bulat dan dia malah mau melemparkan dirinya untuk dilumat. Alias cari mati.
"Dibilang sok pahlawan ya gimana. Gue juga ada perlu sama Pak Galih." Farhan menunjuk pintu keluar. "Ada kerjaan."
"Ohh, yaudah sana jemput Dara. Jangan sampai dia diapa-apain sama si Galih di ruangannya." Agus melengos dan langsung duduk di tempat duduknya.
Dira menatap Agus, kemudian menatap Farhan. "Tumben kalem anaknya? Udah nyerah beneran sama Dara, ya?"
Farhan menyeringai. "Kan dia mau ngincer lo, Ra. Masa dia masih ngejar-ngejar si Dara, padahal lo yang mau dilamar sama dia?"
Dira melotot tajam. "Maksud lo?"
Farhan tertawa. Dia berjalan menuju meja kerjanya, mengambil map yang harus dia bawa, kemudian pergi menuju pintu ruangan Galih.
Farhan mengetuknya lebih dulu. Berharap ketukannya tidak mengganggu apa pun yang sedang bosnya kerjakan saat itu.
Dua orang pria dan wanita dewasa yang pernah memiliki hubungan sebelumnya, kini berada di satu ruangan yang sama cukup lama. Walaupun dia tidak ingin membayangkannya, tapi kemungkinan terjadi sesuatu di dalam sana jelas terlintas di pikirannya.
"Masuk!" Respon itu membuat Farhan membuka pintu.
Pemandangan pertama yang dia lihat adalah sosok Dara yang sedang duduk di sofa, sedangkan Galih berdiri tepat di sampingnya. Wajah Dara tampak memerah saat melihatnya. Dia bahkan langsung memalingkan muka dan terlihat enggan melirik ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Galih padanya.
Farhan berdeham pelan. "Jadi keluar, Pak?" Dia mengangkat map di tangannya sebagai isyarat.
Farhan memang biasa sesantai itu dengan Galih. Walaupun Galih adalah atasannya, tapi umur mereka tidak beda jauh dan Galih pun terbiasa bicara santai dengannya. Alhasil mereka cukup dekat dan akrab selama ini.
Galih mengangguk. "Iya, tunggu sebentar di luar." Galih memegang tangan Dara dan menariknya pelan. Gestur yang menandakan jika pria itu butuh perhatian Dara sekarang.
Farhan hanya bisa berdeham, sebelum menghilang dari sana tanpa banyak bicara. Bagaimanapun juga dia pernah seperti mereka, saling mencintai tapi tak bisa banyak berkata-kata.
"Semangat naklukin cewek nggak peka itu, Pak!" gumamnya, pada dirinya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top