• 15 •
TANPA memerintahkan Dara untuk duduk lebih dulu. Galih menyodorkan map yang sejak tadi berada di tangannya. "Apa maksud semua ini?"
Dara menerima map itu setelah menutup pintu di belakangnya. Tanpa bicara sedikit pun dia membaca isinya sekilas, kemudian kembali menatap atasannya. "Memangnya kenapa?"
Galih menatapnya tajam. "Apa kamu tidak merasa ada yang salah dari sana?"
"Tidak, saya tidak merasa ada yang salah dari surat pengajuan cuti saya minggu depan." Dara mengatakannya tanpa merasa takut sedikit pun.
"Apa yang sedang kamu rencanakan, Dara?" Galih menjulurkan tangannya ke samping kepala Dara dengan tekanan yang cukup untuk menunjukkan intimidasinya. "Kamu berniat cuti selama itu tanpa memberitahuku lebih dulu, apa kamu sedang berusaha menjauhiku?"
"Kenapa Bapak bisa berpikir seperti itu?" Dara menatapnya tidak mengerti.
Dara jelas sudah menulis alasan kenapa dia ingin mengambil cuti. Sebelumnya pun dia selalu mendapatkan izin itu tanpa harus banyak berusaha lagi. Namun sepertinya izin cuti itu harus dia dapatkan dengan susah payah kali ini.
"Jangan pura-pura bodoh lagi!"
Galih membentaknya, tubuhnya menekan tubuh Dara hingga jarak di antara mereka menjadi cukup dekat. Dara bahkan bisa mencium aroma vanila yang begitu manis menguar dari tubuh mantan kekasihnya. Aroma parfum kesayangan Aji yang membuat Dara mengingat kembali saat laki-laki itu memeluk tubuhnya.
Dalam hatinya Dara mengumpati masa lalu mereka. "Saya tidak berpura-pura menjadi bodoh sedikit pun. Saya memang ingin mengambil cuti. Alasan sudah jelas ada di dalamnya. Pihak kantor sudah setuju—"
"Mereka tidak akan setuju, sebelum kamu mendapatkan izin dariku," geram Galih, suaranya teredam emosi yang menggebu-gebu. "Kenapa kamu tidak memberitahuku masalah ini lebih dulu? Kenapa aku harus menjadi orang terakhir yang tahu masalah ini? Apa kamu sedikit pun tidak pernah menganggapku sebagai atasanmu?"
Dara mencoba membalas tatapan mata Galih padanya. Namun, saat itulah dia sadar, dia tidak mampu melakukannya. Mata itu begitu tajam dan menatapnya intens, membuat Dara kehilangan satu per satu pijakan kakinya. Dia memalingkan muka, menghindari Galih yang tak kunjung melepaskan tatapan matanya.
"Apa saya harus memperjelas alasannya sekarang?" tanyanya, nada suaranya terdengar pelan dan ragu.
Dara tidak berani padanya. Bukan hanya karena Galih adalah atasannya, tapi juga karena tatapan mata itu masih membuatnya terganggu. Tatapan mata yang sanggup membuat pipinya tersipu dan menjadi salah tingkah sama seperti dulu.
Dara pikir dia tidak akan terpengaruh seperti ini lagi untuk kedua kalinya, tapi ternyata ia salah. Sejak dulu tatapan mata Aji adalah kelemahannya. Dia bahkan sengaja menghindarinya saat ia terpaksa mengakhiri hubungan mereka sembilan tahun lalu.
"Ya, tolong jelaskan semuanya padaku." Galih menarik dagunya dengan pelan, memaksa Dara untuk menatap ke arahnya.
Dara menelan ludahnya susah payah. Hilang sudah semua keberanian yang ia punya sebelumnya. Dia berniat memalingkan muka, tapi Galih menahan gerakan dengan cara memegangi rahangnya.
"Bisakah Bapak melepaskan saya lebih dulu?" Dara terlihat memohon, tapi Galih tidak mengindahkannya.
"Kenapa?" tanyanya balik tanpa merasa berdosa.
"Rasanya sesak, ini tidak nyaman dan membuat saya tidak bisa berpikir dengan jernih." Dara mendapatkan balasan setelah memutar otaknya berulang kali.
"Benarkah? Hanya membalas tatapan mataku saja bisa membuatmu jadi seperti itu?" Dengan tidak berdosanya dia menarik wajah Dara dan memaksa wanita itu membalas tatapan matanya. "Lalu bagaimana kalau aku menciummu?"
Tanpa menunggu jawaban Dara lebih dulu, bibir mereka bertemu. Ciuman sederhana, hanya saling menempel biasa. Namun, Dara merasa darahnya naik memenuhi wajahnya.
"Dara!"
Panggilan itu pelan, tenang, dan terdengar merdu di telinganya. Tatapan matanya pun terasa hangat dan sangat menghanyutkan.
Dara kehilangan napasnya secara perlahan hingga dia kehilangan kesadaran. Dia tidak sanggup menerima semua kelemahannya kembali secara bersamaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top