Bab 8
"Kak Devon mau aku bantu buat ngangkat Laura ke mobil?"
Pertanyaan Milea membuyarkan lamunan Devon dari hasratnya yang tergugah karena adik iparnya. Ia tersenyum kecil, mendekati sofa dan menarik turun gaun Laura. Ia bisa memperkirakan berat tubuh Laura tidak lebih dari lima puluh kilo, bisa jadi kurang dari itu. Sarapan hanya telur rebus dan apel, menolak beragam gorengan dan makanan berat lainnya, Laura yang luar biasa langsing bukankah beban yang berat untuknya. Masalahnya adalah kulit putih dengan dada yang membusung cukup membuat konsentrasinya terganggu.
Devon tidak pernah melihat ada orang mabuk secantik ini. Tidak tahan untuk mengusap pipi dengan punggung jari dan menyingkirkan anak-anak rambut dari dahi Laura. Ia mengulurkan lengan ke bawah leher Laura dan lengan lain di bawah lutut, dalam satu kali angkat Laura berada dalam gendongannya.
"Aku bisa sendiri, Milea. Bisakah kamu bantu membawakan barang-barang Laura?"
Milea menggangguk cepat. "Iya, Kak."
Detik itu juga jantung Milea berdetak sangat kencang saat melihat lengan kekar Devon yang terarah ke tubuh Laura. Seolah tidak ada beban laksana seorang kesatria yang sedang menggendong puteri. Milea membereskan barang-barang Laura dan menyusul Devon. Benaknya berputar tentang laki-laki yang sangat perkasa dengan langkah cepat di depannya. Bagaimana bisa ada orang seperti ini di hadapannya dan seolah muncul dari cerita.
Di bawah bayang-bayang temaram malam, Devon terlihat sangat tampan. Seperti prajurit yang baru saja mengalahkan monster untuk menyelamatkan tuan puteri. Semestinya pemandangan seperti ini dilihat Laura, dengan begitu sahabatnya tahu betapa kerennya si mantan kakak ipar. Ia sendiri dengan senang hati mengakui akan naksir Devon kalau berada di posisi Luara. Asalkan Devon belum punya pasangan, semestinya jatuh cinta bukan hal yang terlarang.
Kekaguman Milea bertambah saat melihat mobil abu-abu mewah yang terparkir di halamannya. Ia berdecak tanpa sadar, tidak menyangka akan melihat mobil mewah dan mahal secara langsung. Yakin kalau pun bekerja seumur hidup tidak akan pernah terbeli mobil semewah ini. Mengkilat, kokoh, dengan design sederhana tapi berkelas. Milae bisa menduga kalau harga mobil bisa puluhan miliar. Membayangkan banyaknya uang saja sudah cukup membuatnya bingung.
Devon mendudukan Luara di jok depan, menutup pintu dan mengambil barang-barang dari tangan Milea.
"Terima kasih, Milea. Ingatkan aku untuk mentraktirmu makan kalau ada kesempatan."
Wajah Milea berbinar mendengar perkataan Devon. "Janji, ya, Kak. Nanti aku tagih terus biar nggak lupa."
Devon terkekeh gembira. "Tentu saja, kamu bilang saja sama Laura kapan mau makan bersama."
"Siap, Kak. Dengan senang hati aku terima undangan makannya."
Selesai berbasa-basi dengan Milae, Devon meletakkan barang-barang Laura di jok belakang. Menyalakan mesin lalu membantu Laura mengaitkan sabuk pengaman. Parfum yang menguar lembut dari tubuh Laura membuatnya tanpa sadar mendesah. Aroma feminim yang membuatnya tergugah. Ia meninggalkan rumah Milea dengan dada berdebar tidak nyaman.
Laura tidur dengan kepala terkulai di kursi. Cantik, sexy, dan anggun bahkan saat sedang mabuk. Ia tidak tahu kalau toleransi alkohol Luara sangat rendah. Milea mengatakan Luara tidak minum lebih dari empat kaleng dan sudah tidak sadarkan diri seperti sekarang. Devon mengalihkan pandangan ke depan, melewati jalanan yang mulai sepi. Ia baru saja menelepon pelayan untuk berjaga di pintu saat dirinya pulang, termasuk meminta sopir menunggu di area parkiran. Tidak mungkin membawa barang-barang sambil menggendong Laura.
"Aaah, pusing."
Laura bergerak dalam tidurnya. Devon mengulurkan tangan untuk mengusap keningnya.
"Laura, mau muntah?"
"Nggak mau muntah. Mau makan, nggak aah, mau tidur!"
Laura mengigau, Devon membiarkan saja yang terpenting tidak ada masalah. "Kalau mau muntah bilang, ya."
"Iih, nggak mau muntah. Aku mau marah!" Laura mendadak duduk tegak, menatap Devon sambil mengacungkan jari tengah membuat tanda tidak sopan. "Aku kesaal sekali sama mereka."
Devon menoleh, mengurai tanda di jari Laura dan menurunkannya. "Kesal sama siapa?"
"Siapa lagi? Sama Om Jaka tentu saja. Bisa-bisanya dia nipu Papa padahal kakak kandung loh. Aku juga marah sama tua bangka itu. Siapa namanya?" Laura kembali merebahkan diri di kursi, berpikir keras di sela otaknya yang berkabut karena alkohol. "Tua bangka sialan!"
"Tua bangka siapa, Laura?"
Laura terdiam, menunduk dengan jari saling meremas di atas pangkuan. Tak lama, terisak-isak dan membuat Devon kebingungan.
"Laura, kenapa kamu nangis?"
"Hik, aku sedih, Kaak. Sediih sekali."
Rengekan Luara membuat Devon makin heran. "Barusan bilang kesal sekarang bilang sedih. Kenapa kamu ini?"
Laura menangkup wajah dengan kedua tangan lalu mendesah. Pandangannya kabur karena air mata. Tidak peduli pada Devon yang kebingungan, ia mulai mencercau.
"Si tua bangka sialan, Robertos itu. Bisa-bisanya dia mengira aku menyukainya? Aku jatuh cinta dan mengejar-ngejarnya? Semua orang mencaciku di kolom komentar. Aku sedih, aku marah, huaaa!"
Kali ini Laura benar-benar menangis, memgambil berlembar-lembar tisu untuk menghapus air mata dan juga ingus. Selama Laura menangis, Devon hanya mengusap-usap rambutnya tanpa kata. Ia tahu Laura sedang banyak tekanan dan menangis memang diperlukan untuk melonggarkan dada yang sesak. Siapa pun akan kesal dan marah bila berada dalam posisi Laura. Terkena skandal gosip tanpa tahu dari mana asalnya dengan laki-laki yang sudah menikah dan tidak pernah dikenal dengan akrab.
"Laura, jangan nangis lagi. Bukannya aku udah bilang akan membantumu menghalau masalah? Skandal itu akan aku cari tahu dan tuntaskan. Bersabarlah, Laura."
Laura tidak mendengar perkataan Devon. Selesai menangis kembali cegukan lalu tertidur. Tidak sadarkan diri hingga Devon memasuki area parkir. Seorang laki-laki yang merupakan sopirnya menunggu di pintu masuk. Setelah mematikan mesin, Devon memutari bagian depan mobil untuk membantu Laura turun.
"Ayo, aku gendong."
Laura mendorong dada Devon. "Nggak, ah. Bisa jalan!"
Devon membiarkan Laura berjalan sempoyongan keluar dari mobil, membuka lengan untuk berjaga-jaga kalau jatuh. Saat Laura hampir saja menubruk tiang, kesabarannya habis.
"Sini, gendong aja!"
Tidak peduli pada protes, Devon mengangkat tubuh Laura dan membawanya ke dalam lift.
"Ih, turunin aku, Kak."
"Diam! Nanti jatuh."
"Barangku, itu tasku mana tasku."
"Sama sopir. Diam Laura!"
Bentakan Devon membuat Laura terdiam. Meletakkan kepala di lekukan bahu Devon, Laura menggumakan kekesalan, protes, bercampur kemarahan dengan nada rendah. Devon membiarkannya, bersikap seolah tidak mendengar hingga tiba di depan penthouse. Seorang pelayan perempuan sudah bersiap menyambut kedatangan mereka dengan membuka pintu.
"Di mana anakku?"
"Sudah tidur, Tuan."
"Kamar tamu sudah siap?"
"Sudah."
"Tinggalkan kami!"
Perintah Devon dipatuhi si pelayan yang bergegas pergi setelah membantu membuka pintu kamar tamu. Devon merebahkan Laura di atas ranjang, ingin bangkit tapi tertahan karena Laura merangkul lehernya.
"Laura, kenapa kamu?" tanyanya bingung.
Laura mendesah, tersenyum kecil dan tanpa disangka mengangkat kepala lalu mengecup bibir Devon.
"Terima kasih, Kak. Sudah jemput aku."
Bahu Devon kaku karena kecupan yang tiba-tiba tanpa disangka. Ia tidak bisa menegakkan tubuh karena Laura masih merangkul lehernya dengan erat.
"Laura, lepaskan tanganmu sekarang," perintahnya sekali lagi. Namun, bukan menuruti perkataannya Laura malah terkikik dan mengecup bibirnya sekali lagi. "Jangan sampai kamu menyesali ini nanti."
Devon kehilangan kesabaran, menunduk untuk melumat bibir Laura. Ia menghisap bibir yang merah, basah, dan merona. Dengan napas beraroma bir, Laura mengerang dan membalas ciumannya. Devon yang tidak tahan untuk mengambil lebih banyak, merangkak ke atas ranjang, memosisikan diri di tengah Laura dan melanjutkan cumbuannya.
"Ah, Kak!"
Laura mengerang, Devon tidak tahu apakah dilakukan dengan sadar atau tidak. Saat ini ia ingin menikmati sensasi menyenangkan dari dua tubuh yang saling menghimpit di atas ranjang. Ia menyukai tubuh lembut Laura dengan lekuk yang membuat hasrat membara. Bibirnya menghisap dan melumat dengan lidah menjelajah bagian dalam mulut Laura.
"Kamu yang memulai Laura, kamu juga yang harus mengakhiri," ucap Devon dengann napas tersengal. Meninggalkan bibir Laura untuk mengecup leher serta bahu yang telanjang. Ia menyukai tekstur kulit halus dan licin karena keringat. Keharuman yang membuatnya mabuk kepayang dan tanpa sadar menghisap kulit leher dan mendengar Laura mendesah. "Sial! Aku jadi bergairah!"
Sayangnya cumbuan harus berakhir karena Laura merintih haus. Devon bergegas bangkit dari tubuh Laura untuk menuang air dari teko di atas nakas.
"Minumlah."
Laura mengambil gelas berisi air, meneguk hingga tanda lalu kembali merebahkan diri di atas ranjang. Menarik selimut hingga menutupi tubuh dan terlelap. Devon menatap tidak percaya, baru semenit yang lalu bercumbu dengan panas dan Laura tertidur begitu saja. Ia mengusap wajah Laura dengan lembut, menunduk untuk mengecup pipinya.
"Selamat tidur, mimpi yang indah."
.
.
.Di Karyakarsa update bab 65.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top