Bab 7
Pertemuan yang tidak disangka Laura dan Devon berakhir dengan sejumlah gosip yang muncul di media, belum lagi ditambah dengan gosip sebelumnya tentang Robertos. Nyaris setiap jam muncul wajah Laura di tayangan infotaiment, internet dan media sosial membahas tentang skandalnya. Banyak sekali hujatan yang dilayangkan pada Laura karena dianggap sebagai selebrity bermasalah dengan image buruk sebagai perebut suami orang.
Beragam cacian, hinaan dan tuduhan keji dilontarkan orang-orang di akun media soasial milik Laura. Merasa tidak bersalah, Laura hanya membaca sekilas komentar-komentar jahat itu dan tidak ingin membalasnya.
"Dasar jalang! Bisa-bisanya merebut suami orang!"
"Laura, si pelakor reseh. Kalau lo bukan model, kagak bakalan perempuan kayak lo dilirik sama Pak Robertos!"
"Gila, ya. Perempuan kayak gini bisa jadi simpanan anggota DPR yang kaya raya. Secara pendidikan kalah sama Bu Dahayu. Pasti ngincar uang si Laura ini!"
Nurul datang, merebut ipad dari tangan Laura dan mematikannya. "Kak, bisa nggak kerja yang fokus. Ngapain sih baca komentar? Bikin sakit hati aja."
Laura yang baru selesai dirias, sedang duduk di kursi santai dan menunggu set pemotretan selesai. Ia tidak tahan untuk mengecek komentar orang-orang tentangnya. Meskipun sangat menyakitkan untuk dibaca, tetap saja dirinya penasaran.
"Nggak mau tutup kolom komentar?" usul Nurul.
"Ngapain ditutup? Aku nggak salah, kok. Aku nggak akan biarkan mereka merasa senang dan menang karena melihatku terintimidasi!"
"Bikin stress, Kak."
"Memang, resiko pekerjaan Nurul. Kamu lupa apa yang dikatakan Pak Arya? Berkecimpung di dunia entertaiment, aneh kalau nggak merasa stress. Udah, kamu tenang aja nggak usah pusing!"
Laura bangkit dari kursi malah saat fotografer memintanya mendekat. Ia membuka jubah dan memberikannya pada Nurul. Melangkah gemulai dalam balutan gaun mini hitam, sepatu high heels lancip 12 sentimeter, serta tas kulit mereka terkenal, ia mulai berpose. Membiarkan lampu menyorot wajah, tubuh, serta tas yang dipegangnya. Sesekali ada kipas yang diarahkan kepadanya untuk membuat rambutnya berkibar.
Sudah lebih dari empat tahun Laura menjalani profesi ini. Memang tidak bisa dibilang sebagai foto model kawakan, tapi ia bisa berdiri sejajar dengan foto model lainnya di kota ini. Mereka yang jauh lebih terkenal dan berkecimpung di dunia ini lebih dulu, banyak yang bersedia menjadi temannya. Itu tidak lepas dari citra baik yang selama ini tertanam dalam imagenya. Laura yang cantik, anggun, serta santun menjadi dambaan banyak orang. Dirinya bahkan menduduki puncak polling yang diadakan sebuah majalah terkenal sebagai perempuan paling diidamkan. Sayangnya citra baik itu luntur gara-gara skandal Robertos.
Berpose dengan beragam gaya hingga beberapa jam lamanya, pikiran Laura dipenuhi banyak hal. Tentang Robertos dan istrinya yang membuat hidupnya menjadi sulit. Padahal ia tidak pernah kenal akrab dengan mereka. Belum lagi Eliano yang merengek ingin tinggal bersamanya. Di jeda istirahat, Luara terbayang sosok Devon.
Mantan kakak ipar memang bisa dinikahi, tanpa perlu diberitahu pun Laura mengerti soal itu. Masalahnya adalah belum tentu Devon punya pikiran romantis tentang, mengingat hubungan mereka dulu adalah kakak dan adik yang harmonis.
"Lo jadi datang ke rumah?"
Pertanyaan dari sahabatnya membuyarkan lamunan Laura. Ia membalas pesan Milea dengan senyum terkulum.
"Jadilah, habis pemotretan gue ke rumah lo. Mau dibawain apaan?"
"Bir dingin!"
"Nggak mau. Gue lagi nggak boleh minum alkohol. Ntar muka gue bengkak, lagi banyak pemotretan."
"Lah, yang minum gue bukan lo."
"Ntar gue bawain minuman gingseng aja."
"Emangnya gue udah jompo?"
Laura tergelak membawa pesan-pesan dari Milea. Di antara semua orang yang mengaku paling akrab dan paling dekat dengannya, nyatanya hanya satu orang yang benar-benar ada di sampingnya dan itu adalah Milea. Tempatnya berbagi resah dan harapan. Milea akan mendengarkan semua curahan hatinya tanpa penghakiman.
Awalnya Laura memang tidak ingin membawa alkohol saat datang ke rumah Milae, ternyata lain di hati lain pula di pikiran. Satu krat bir dingin ditenteng oleh sopirnya dan dibawa ke depan pintu rumah Milea. Saat melihatnya, gadis berkacamata itu memekik.
"Asyik, kita mabuk sampai pagi!"
Laura memberi perintah pada sopir untuk kembali ke kantor. Membiarkan Milea bersusah payah memindahkan bir dari depan pintu ke atas meja. Ia membuka outer panjang hitam dan menyampirkannya ke sofa. Tersisa gaun hitam tipis dengan tali kecil di pundak.
"Gue beli keripik singkong yang enak dan renyah. Cocok buat minum bir dan dengerin lo cerita. Ayo, coba bilang gimana penampilan Kak Devon sekarang?"
Laura ingin menolak tawaran keripik dari Milea tapi saat mencium aroma yang menggoda, tidak tahan untuk tidak mengambil dua keping dan mulai menguyahnya.
"Kalau berat badan gue naik, lo tanggung jawab," gumamnya.
Milea terburu-buru menutup plastik keripik di atas meja. "Kalau gitu jangan makan. Gue nggak mau tanggung jawab!"
Laura tergelak, menyentil dahi sahabatnya. "Untung lo pakai kacamata jadi bisa ngelabuhi orang-orang. Sekilas kayak cewek polos, padahal yang tahu lo kayak gimana hanya gue!"
Milea menyingkirkan jari Laura dari kepanya dan mencebik. "Terserah lo mau bilang apa. Sekarang bisa, dong cerita tentang Kak Devon dan keponakan lo yang tampan itu."
Senyum Laura merekah saat nama Eliano disebut. Ia mengambil satu kaleng bir dan meminta Milea membukanya lalu mulai bercerita tentang betapa menggemaskannya Eliano. Laura memuji keponakanya dengan penuh kebanggaan yang menggebu-gebu.
"Bapaknya gimana? Kak Devon?" pancing Milea.
Laura meminum kaleng ketiga kala dari bibirnya meluncur cerita soal Devon. "Bayangin aja jadi gue. Tujuh tahun nggak ketemu lalu kakak ipar lo berubah jadi laki-laki tampan dan sexy."
Milea menaikkan sebelah alis. "Sexy?"
"Yaa, sangat sexy. Dada bidang, kaki panjang, mata tajam dan lo tahu Kak Devon punya dagu terbelah'kan? Sepertinya semua kesempurnaan dari manusia ada padanya. Sudahlah kaya raya, tampan, dan menawan pula. Shit!" Laura memaki saat tubuhnya oleng dan tidak bisa duduk tegap. "Minum berapa kaleng gue tadi? Napa oleng gini?"
"Tiga!" jawab Milea.
"Nggak mungkin, pasti lebih banyak dari itu."
"Emang tiga kok. Lo aja kagak ngitung. Bilang aja lo oleng karena naksir Kak Devon."
"Iih, nggaklah."
"Iih, iyalah, ngaku lo!"
Keduanya saling pandang dan entah apa yang lucu mulai tertawa bersamaan. Laura dengan gembira bercerita perihal Devon lalu memaki-maki Yara dan Yunita. Milea bercerita tentang orang tuanya yang berencana menikahkannya dengan laki-laki yang tidak disukainya hanya demi janji masa lalu.
"Gue lagi berusaha cari kerja lagi biar nggak bergantung sama keluarga. Bosan gue disuruh kawin melulu. Udah kayak sapi yang mau diternak aja. Segala macam mau dijodohin."
Laura menggoyangkan jari di depan wajah, pandangannya mengabur karena alkohol. "Lo udah punya penghasilan dari hobi dan kalau bisa jangan ditinggalin. Lumayan hasilnya'kan?"
Milea mengangguk, membuka satu kaleng lagi dan meneguknya. "Memang, gue berencana pindah rumah kalau dapat kerja biar nggak diganggu keluarga lagi."
Mereka minum bir, makan keripik, dan Laura yang tidak kuat minum alkohol terlalu banyak, terbaring di atas sofa. Kepalanya berputar cegukan tidak berhenti dan mengerang karena mabuk.
Milea membiarkan sahabatnya tidur, minum alkohol adalah kesempatan Laura untuk istirahat dengan damai setelah rutinitas panjang dan melelahkan. Ia meneguk kaleng kelima dan menyipitkan mata ke arah ponsel Laura di atas meja yang kini berdering. Milea membaca nama yang tertera dan mengangkat tanpa banyak pertimbangan.
"Halo, Laura? Kamu di mana?"
Milea menepuk dada saat mendengar suara bariton Devon. Sungguh maskulin dan seperti kata Laura, suara Devon memang sexy.
"Kak Devon, Laura sedang mabuk di rumahku."
Hening sesaat sampai akhirnya Devon menyahut. "Ini siapa?"
"Milea, Kak. Mungkin Kak Devon lupa."
"Milea sahabat Laura? Tolong berikan di mana alamatmu. Biar aku jemput Laura."
"Oke, Kak. Aku kirim alamatku sekarang."
Milea yang daya tahan terhadap alkohol lebih tinggi dari Laura memberikan alamatnya pada Devon. Ia menunggu dengan penuh harap kedatangan laki-laki yang pernah dikenalnya itu. Laura yang tertidur di atas sofa sesekali mengigau. Milea mendekati sahabatnya dan berbisik lembut.
"Laura, jangan nakal, ya. Kak Devon mau jemput kamu."
Laura menggeleng cepat. "Nggak mau pulang."
"Harus pulang."
"Nggak mauuu!"
Suara mobil berhenti di halaman membuat Milea bangkit. Ia bergegas membuat pintu dan terperangah menatap sosok di hadapannya. Ternyata yang diceritakan Laura adalah benar adanya tanpa dilebih-lebihkan. Devon yang tampan dengan dagu terbelah seolah jelmaan dari model yang keluar dari majalah dengan halaman mengkilat. Milea tidak pernah melihat laki-laki setinggi dan segagah Devon.
"Selamat malam Milea. Apa kabar?" sapa Devon dengan senyum tersungging dan tangan terulur.
"Kak Devon?" seru Milea menerima uluran tangan Devon dan menjabatnya. "Kabar baik. Itu, Laura sedang tidur."
Devon menatap Laura yang terbaring di atas ranjang dan tertegun melihatnya. Bagaimana tidak, Laura berbaring telungkup dengan rok yang tertarik hingga ke pertengahan paha. Menggunakan tangan sebagai bantal dan membuat gaunnya yang bertali kecil menunjukkan punggung, bahu, serta lengan yang mulus dan putih. Satu hal yang membuat Devon terpaku adalah kulit di bawah lengan. Tanpa penutup dan menunjukkan sebagian dada yang membusung. Hasrat liar mendadak muncul dari dalam diri Devon melihat sosok mantan adik iparnya yang luar biasa menggoda.
.
.
Di Karyakarsa update bab 60.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top