Bab 6
Apakah Laura tidak merasa malu sudah mengaku-ngaku sebagai istri Devon. Tentu saja sangat malu, tapi tidak ada jalan lain untuk keluar dari situasi ini. Orang-orang yang mengepung rumahnya terlalu sangar dan nekat. Menggertak mereka dengan pentungan saja tidak cukup karena semua tahu dirinya tidak bisa bela diri.
Ia berpura-pura tidak melihat tatapan heran dari Devon. Matanya tertuju pada dua perempuan yang kini terdiam karena kaget. Ia yakin kali ini bisa memukul mundur mereka tanpa banyak kata.
"Cuih! Mana mungkin lo jadi istri laki-laki ini?" teriak perempuan berambut pirang.
"Kenapa nggak mungkin? Model terkenal kayak gue, biasa kenal orang kaya. Emangnya kalian, cuma bisa nongkrong di ruko dan nakut-nakutin orang?" sahut Laura sengit.
"Terserah kami, dong. Namanya juga orang kaya. Kami mau ongkang-ongkang kaki atau foya-foya, nggak ada urusannya sama lo!" Si perempuan berambut pendek menyela cepat. "Kalau memang lo udah nikah ama cowok kaya ini, harusnya lo lunasi utang tanpa banyak cincong. Kecuali, lo cuma ngaku-ngaku. Hahaha!"
Tawa mereka kembali menggelegar. Tanpa sadar Luara mencengkeram lengan Devon dengan erat. Ia ingin mereka semua pergi, tapi mengusir tidak akan mudah. Devon menurunkan Eliano dan berbisik.
"Sayang, kamu tunggu di pintu. Berdiri di sana tunggu papa dan mama selesai ngurus preman ini."
Eliano mengangguk. "Iya, Papa."
Setelah anaknya beranjak, Devon meraih jari yang mencengkeram lengannya dan menepuk perlahan.
"Laura, santai kenapa. Ada suamimu yang akan urus semuanya."
Laura tercengang, dua perempuan yang sedang tertawa seketika terdiam. Mereka melotot bersamaan pada Devon yang kini berdiri menjulang dengan wajah tanpa senyum. Penampilannya yang rapi, elegan, dan tampan membuat dua perempuan di depannya terpana. Terlebih mata Devon yang menyorot tajam tapi penuh ketenangan. Seakan memberi perintah pada orang-orang untuk terdiam bahkan tanpa kata-kata keluar dari mulutnya.
"Aku nggak tahu kalian siapa tapi kalau berani macam-macam sama istriku, jangan harap bisa lolos dari hukum. Kalian pikir aku akan diam saja saat kalian menginjak-injak harga diri istriku?"
Perempuan berambut pirang memiringkan kepala, menatap Devon lekat-lekat lalu berteriak. "Tunggu! Aku kenal kamu. Bukannya kamu suaminya mendiang Lori? Iyaa, aku ingat. Kamu, Devon! Ya Tuhan, makin tampan kamu!"
Perempuan itu berusaha meraih lengan Devon tapi dihempaskan dengan cepat. Seolah tidak mengerti penolakan kasar itu, ia tertawa keras.
"Kamu lupa sama aku? Ini aku Yara! Aku sepupu Lori!"
Perkataan perempuan itu membuat Devon terheran, terlebih saat Yara meraih bahu saudaranya.
"Ini adikku, Yunita. Jangan bilang kamu lupa sama kami!"
Yara dan Yunita tertawa terbahak-bahak dengan wajah semringah. Devon mengalihkan padangan pada Laura yang mengangkat bahu. Devon berusaha menggali ingatannya tentang Yara dan Yunita, samar-samar akhirnya teringat sesuatu dan kembali menatap Laura.
"Mereka adalah—"
"Anak Om Jaka. Adik dari Papa," jawab Laura.
"Hah, kenapa jadi gini?"
"Panjang ceritanya tapi yang pasti, mereka merebut perusahaan Papa. Membuat Papa berutang pada bank dan rentenir. Nggak hanya itu, menjual saham dan membuat kami jatuh miskin."
Cerita Laura sulit dipercaya kalau tidak lihat kenyataannya. Seingat Devon, Yara dan Yunita memang tidak pernah bersikap baik dan akrab dengan Laura serta Lori. Sebagai sesama sepupu mereka berempat bertentangan satu sama lain. Selalu bersaing dalam segala hal tapi tidak pernah menyangka akan separah ini. Laura membawa pukulan untuk melawan dua sepupunya. Kalau bukan karena masalah besar, tidak akan seperti sekarang.
"Bohong! Jangan percaya omongan penyihir itu, Devon! Kalian nggak ketemu sekian lama pastinya banyak hal yang kamu nggak tahu. Laura itu pembohong! Om Jais yang salah dalam investasi. Papa kami menyelamatkan, membantu banyak uang, termasuk mencarikan pinjaman. Ternyata mereka nggak mau bayar setelah berutang!" Yara menyangkal perkataan Luara dengan berapi-api. Rambut pirangnya terlihat bercahaya, kontras dengan kulit sawo matang dengan pandangan bengis pada Laura. "Pokoknya, jangan sekali-kali kamu percaya perkataan Laura!"
Yunita mengangguk cepat, menimpali teriakan saudaranya. "Yara benar, Devon. Eh, bukan harusnya kami manggil kamu, Kak Devon yang tampan." Yunita mengedipkan sebelah mata pada Devon dengan tatapan genit. "Lama nggak ketemu, gimana kalau kamu ikut kami. Kita bisa ngobrol-ngobrol sambil makan. Ngapain di rumah bobrok ini? Lagi pula, Lori udah nggak ada. Nggak perlu juga kamu baik sama mereka."
"Benar itu, ikut kami saja. Dijamin akan kami temani sampai puas!"
Laura menatap jijik pada dua sepupunya yang bicara dengan tidak tahu malu. Bisa-bisanya mereka merayu Devon seperti itu, seolah tidak menganggap keberadaannya. Baru kali ini ia melihat Yara dan Yunita bersikap genit pada laki-laki. Apa yang ada dalam pikiran mereka sebenarnya? Apakah mereka mengira kalau Devon seperti laki-laki kebanyakan yang akan silau dengan rayuan? Laura tercengang saat mendengar jawaban Devon.
"Oke, boleh juga. Aku akan ikuti saran kalian, mengobrol-ngobrol dengan akrab. Kalian punya kartu nama?"
Yara dan Yunita berlomba membuka dompet untuk mengulurkan kartu nama pada Devon.
"Ini punyaku, ada apa-apa hubungi aku saja," ucap Yara dengan semangat.
"Jangan salah, aku lebih pintar negosiasi. Ke aku aja kalau mau ngobrol lebih intim," sela Yunita.
Devon mengambil kedua kartu, menunjuk pada para preman yang berdiri di belakang Yara dan Yunita.
"Sebaiknya kalian pergi sekarang dan bawa mereka bersamaan. Urusan Laura biar aku bereskan dulu, bagaimana pun dia adik iparku. Kalian tunggu saja teleponku, oke."
Yara dan Yunita bertukar pandang lalu mengangguk bersamaan. Wajah mereka berubah menjadi cerah saat mendengar perkataan Devon. Siapa yang tidak senang mendengar janji dari seorang laki-laki tampan.
Yara menyikut Yunita hingga mundur lalu berpamitan. "Ya, aku pulang dulu, daah, Devon!"
Yunita meringis kesakitan, membalas dengan mencubit pinggang Yara. "Daah, Devon. Telepon aku saja, jangan Yara yang agak gila ini."
"Lo yang gila! Sembarangan aja ngatain orang."
"Eh, bebek pirang. Mana ada laki-laki yang suka sama perempuan dekil tapi rambutnya pirang?"
"Lo yang dekil. Berotot tapi nggak punya otak!"
Melihat keduanya saling memaki, Devon buru-buru meraih lengan Laura dan anaknya. Bergegas melewati pintu dan menutup. Suara perdebatan masih terdengar saat mereka berdiri di ruang tamu yang kecil. Devon menghadap Laura, tidak tahan untuk tidak menyentuh kulit halus dan mengkilat karena keringat. Devon mengusap lembut pipi Laura.
"Kalau bisa menghindar, lebih baik jangan terlibat provokasi. Kamu bukan lawan mereka, Laura."
Laura menghela napas panjang. "Iya, Kak. Aku tahu bukan lawan mereka."
"Aku perlu dengar cerita lengkapnya nanti."
"Devon? Ini kamu, Nak?"
Devon menoleh, menatap perempuan yang terperangah ke arahnya. Sedikit tidak percaya saat melihat Lesti menua dengan begitu cepat. Seingatnya dulu Lesti perempuan setengah baya yang cantik dan bugar. Tubuh segar itu seolah layu dimakan waktu dan usia, menjadi renta dan kurus. Devon menyimpan rasa bersalah karena bertahun-tahun tidak pernah pulang untuk menengok mantan mertuanya.
"Mama, apa kabar? Ini Devon, Ma."
Lesti menubruk Devon dan memeluk dengan erat. Tangisan kerinduan disertai rasa haru pecah. Laura terdiam melihat mamanya menangis tersedu di dada Devon. Ia membiarkan keduanya melepas rindu, tersenyum pada Eliano yang menggenggam jarinya.
"Kenapa lama sekali baru pulang, Devon."
"Maafin, Devon, Ma. Aku nggak tahu kalau Mama udah pindah rumah. Aku pernah nyari kalian di rumah lama tapi nggak ketemu."
"Iyaa, rumah sudah kami jual."
Devon melepaskan pelukan Lesti, merasa senang bercampur sedih bisa memeluk mantan mertuanya. Ia menunjuk Eliano yang berdiri sambil menggenggam jari Laura.
"Ma, itu cucumu, Eliano."
Lesti menghapus air mata, menatap Eliano dan mengulurkan tangan. "Sayangku, cucu nenek yang tampan. Sini peluk, nenek."
Eliano ragu-ragu, Laura mendorong perlahan. "Maju, Sayang. Peluk dan cium Nenek."
Tangisan Lesti kembali meledak saat cucunya masuk dalam pelukan. Mendekap dan mengecup rambut serta pipi Eliano, perasaan haru menguasainya. Saat Jais muncul dengan perawat mendorong kursi rodanya, suasana haru bercampur sedih tidak tertahankan. Devon mencium tangan Jais, menyatakan penyesalan dan meminta maaf karena terlambat datang. Rumah kecil itu dipenuhi oleh tangisan kebahagiaan.
Laura mengamati kedua orang tuanya yang bergantian memeluk Devon dan Eliano. Sama seperti dirinya, mereka pun didera rasa rindu yang membucah di dada. Dalam hati Laura menyebut nama kakaknya, membayangkan seandainya Lori ada di sini pasti akan sangat bahagia. Kedua orang tua mereka memeluk Eliano yang tumbuh menjadi anak sehat dan tampan.
Setelah reuni penuh tangis selesai, mereka duduk di ruang tengah dengan sofa tua. Laura berinisitif memotong buah dan menghidangkan ke atas meja. Saat ia duduk, secara otomatis Eliano akan mendekat dan duduk di atas pangkuannya. Laura membelai lembut rambut Eliano saat mendengarkan pembicaraan orang tuanya dan Devon.
Sang papa bicara dengan terbata-bata, sang mama tertawa gembira. Hal yang sudah lama sekali tidak dilihatnya, pancaran kebahagiaan dari wajah mereka. Devon sendiri mendengarkan setiap kata yang keluar dari Jais dan Lesti dengan penuh perhatian. Sama seperti dulu, hubungan antara menantu dan mertua tidak pernah berubah.
"Mama, nanti pulang sama kami lagi'kan?" Pertanyaan Eliano pada Laura menyela percakapan orang-orang.
Laura tersenyum, mengusap pipi bocah yang menatapnya penuh harap. "Hari ini nggak bisa, Sayang. Besok mama ada kerjaan."
Eliano menggeleng dan menunjuk pada sang papa. "Mama kalau kerja bisa minta antar Papa."
Laura belum menjawab, Devon menyambar cepat. "Ide bagus, Laura. Kalau kamu menginap di rumah kami, besok pagi jam berapapun aku bisa mengantarmu."
Laura mengulum senyup, menggelitik pinggang keponakannya. "Minggu depan mama punya waktu libur dua hari. Nanti mama nginap lagi di rumah Eliano. Gimana, Sayang?"
"Tapi, semua teman-teman aku papa dan mama mereka tinggal bersama. Kenapa Mama nggak mau tinggal bersama Papa?"
"Itu karena—"
Laura mendesah, kehabisan kata untuk menjawab. Ia melemparkan tatapan sebal pada Devon yang asyik mengobrol dengan sang papa. Menahan dengkusan karena Devon membuatnya terjebak dalam situasi sulit.
"Kak, mantan kakak ipar boleh dinikahi loh." Si perawat mendadak muncul dan berbisik padanya. Membuat Laura kehilangan kata-kata. Siapa yang ingin menikahi mantan kakak ipar sendiri? Laura bahkan tidak pernah terpikir ke arah sana.
.
.
Di Karyakarsa update bab 55.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top