Bab 4

Setelah mengambil keputusan untuk tidur di penthouse Devon. Hal pertama yang dilakukan Laura adalah mengisi daya ponselnya. Harus memberi kabar pada manajer, asisten, dan orang tuanya. Nurul yang semula bersamanya, terpisah saat dirinya mengikuti Devon. Ia yakin kalau Nurul kembali ke kantor dengan selamat.

Devon memberi kamar tamu untuknya. Laura membuka koper, mencari gaun tidur dan pergi mandi. Hal yang membuat terkejut adalah semua produk kebersihan yang ada di dalam kamar mandi menggunakan dirinya sebagai model. Ada wajahnya di botol sabun, pembersih wajah, dan sampo. Laura tanpa sadar tertawa. Ternyata Devon memperhatikannya hingga detil kecil. Apakah karena Eliano? Itu hal yang pasti. Tidak mungkin Devon memberi perhatian khusus padanya bila bukan demi anak.

Selesai mandi, Laura memakai skincare dan menyalakan ponsel. Sesuai dugaan, ada banyak pesan dan panggilan tidak terjawab. Terutama dari Nulur, Arya, dan juga Milea. Laura menyelesaikan proses memakai skincare sebelum menelepon balik manajernya.

"Ya, Pak Arya."

"Dari mana saja kamu, Lauraa?"

Telinga Laura berdenging seketika saat mendengar teriakan Arya. Ia menepuk-nepuk lubang telinganya.

"Pak, bisa dipelankan suaranya? Napa juga teriak-teriak gitu?"

"Gimana aku bisa pelan ngomong sama kamu, Laura? Kemana kamu seharian ini? Kenapa menghilang tanpa kabar? Hapemu mati dan juga, siapa anak sama bapak yang yang jemput kamu? Satu hal yang kamu tahu, sudah membuat keributan besar. Halaman penggemarmu heboh karena menduga-duga. Laki-laki mana yang berhasil mengajak pergi Laura? Belum selesai gosipmu dengan Robertos, ditimpa gosip yang lain. Lauraaa, kamu membuat darahku mendidih!"

Laura membiarkan Arya menuntaskan amarahnya, setelah itu baru memberi penjelasan perlahan. Meskipun emosi manajernya meledak-ledak tapi sejujurnya sifat Arya sangat baik. Memang suka panik saja kalau sehari tidak ada kabar soal Laura.

"Pak, aku baik-baik saja. Anak kecil yang aku gendong itu keponakanku."

"Keponakan dari mana?"

"Loh, Pak Arya lupa aku punya kakak? Itu anak mendiang Kak Lori!"

Hening sesaat, sepertinya Arya berusaha mencerna informasi yang baru didengarnya. "Tunggu, anak itu anaknya Lori?"

"Iya, Pak. Bener banget. Aku juga baru ketemu di bandara setelah tujuh tahun lebih nggak ketemu."

"Laki-laki yang gandeng kamu itu—"

"Mantan kakak iparku."

"Ya Tuhan, kenapa kamu nggak bilang dari tadi Laura. Kalau gini aku tenang jadinya. Heran, hal gede kayak gini kamu sengaja diemin?"

"Siapa yang diemin, aku juga baru tahu kalau hape drop."

"Ya sudah kalau gitu. Ingat lusa ada pemotretan. Jangan sampai telat!"

"Iya, Pak. Tolong kasih tahu Nurul biar dia nggak bingung, Pak."

Setelah memberi penjelasan pada Arya, Laura merasa sedikit lega. Hubungan Arya dengan mendiang Lori cukup baik. Arya pula yang membantu Lori mendapatkan pekerjaan di stasiun teve, alasan utama Laura mau kerja sama dengannya salah satunya karena itu. Ia mengerti jadi manusia harus tahu balas budi.

Pintu diketuk perlahan dari luar, Laura menduga itu adalah Eliano dan tebakannya benar. Keponakannya itu berteriak riuh ingin ditemani mengerjakan peer. Laura menurutinya, datang ke kamar Eliano. Duduk di sampingnya dan mengawasinya mengerjakan peer. Memberitahu hal yang dirasa sulit untuk dikerjakan. Setelah peer selesai, Eliano yang baru saja kembali dari bepergian bersama papanya mulai mengantuk.

"Ayo, bobo. Mama temani kamu."

Berbaring di ranjang dengan tangan Eliano memeluk tubuhnya, ingatan Laura kembali ke tahun-tahun dulu. Saat dirinya memeluk tubuh Eliano yang masih bayi. Perasaan hangat dan penuh haru merasukinya. Ia mengusap wajah Eliano dan mendekap erat di dada.

"Kaak, anakmu sudah besar dan tampan," bisik Laura di udara yang sunyi. Berusaha menekan rasa sedih yang mendadak muncul. "Kamu pasti bangga di atas sana."

Ingatan Laura kembali ke masa lalu, saat Laura baru saja melahirkan. Dengan wajah pucat dan napas tersengal tapi tersenyum penuh bahagia pada Devon.

"Sayang, anak kita sehat."

Devon memeluk Lori dengan bahagia dan bayi diserahkan ke pelukan Laura. Ternyata, itu adalah senyum kebahagiaan Lori untuk yang terakhir kalinya. Karena setelahnya kesehatan Lori memburuk.

"Apakah kamu meninggalkan anak untuk Kak Devon karena takut dia sedih saat kamu tinggal, Kak?"

Laura terlelap dalam keadaan fisik lelah dan pikiran penuh. Hatinya diliputi kegembiraan serta keharuan yang bersilangan dan bergerak tidak menentu. Laura bahkan tidak bergerak saat pintu membuka dan Devon masuk.

Berdiri di sisi ranjang, Devon merapikan selimut yang menutupi tubuh anaknya dan Laura. Jarinya terhenti di bahu Laura yang telanjang karena tali gaun tidurnya melorot. Devon mengaitkan jari di tali itu dan menaikkanya. Sesaat terpukau melihat pemandangan yang begitu indah di hadapannya. Anaknya tertidur lelap dalam pelukan Laura.

"Laura, lama nggak ketemu. Siapa sangka sekarang kamu makin cantik dan anggun. Kamu pasti senang ketemu Eliano, karena aku juga senang ketemu kamu."

Devon mengusap pipi Laura yang lembut. Menikmati kehalusan di bawah jari-jarinya. Sesuatu menggelitiknya, tentang perasaan aneh seiring dengan sentuhannya di kulit putih dan lembut.

"Apa kamu sudah punya pacar, Laura?"

Devon merasa bodoh karena bertanya soal itu. Menghela napas panjang, ia meninggalkan sisi ranjang dan bergegas ke arah pintu. Tidak lupa mematikan lampu sebelum menutup pintu dari luar.

Suara klik pintu tertutup membuat Laura terjaga tiba-tiba. Matanya nyalang menatap langit-langit dengan dada berdebar keras. Ia menekan pipi yang baru saja diusap Devon sambil bergumam bingung.

"Apa itu tadi? Kak Devon usap-usap pipiku?"

Laura merasa wajahnya memanas. Ia memang sering bermain film dengan lawan main laki-laki. Meskipun mereka tampan tapi ia bekerja sangat profesional dan tidak pernah terjebak dalam hubungan pribadi dengan lawan main. Ia mengerti batas yang tidak boleh dilanggar. Karenanya setiap sentuhan atau kecupan tidak berdampak apa pun baginya. Ternyata hal yang sama tidak berlaku bagi Devon. Rasa terbakar dirasakannya di tempat Devon menyentuhnya. Laura menghela napas panjang.

"Ya Tuhan, apa ini?"

Laura memiringkan tubuh, memeluk Eliano lebih erat. Ingin meredakan dadanya yang berdebar keras. Beruntung esok hari tidak ada pekerjaan, karena sekarang matanya sulit dipejamkan. Laura memutuskan untuk mengirim pesan pada sahabatnya sambil menunggu rasa kantuk.

"Menurut lo ada nggak orang yang naksir kakak iparnya sendiri pada sentuhan pertama?"

Jawaban Milea datang tak lama. "Cuma orang bodoh yang naksir kakak ipar."

"Hah, napa?"

"Gila, lo! Mau selingkuhin kakak sendiri? Orang gila mana yang begitu?"

Laura terkikik membaca jawaban sahabatnya. Ia lupa memberitahu satu hal pada Milea.

"Hari ini gue ketemu sama ponakan gue."

"Apaa? Ketemu Eliano? Di mana di sekarang? Apa kabarnya?"

"Eliano tumbuh sehat dan pintar. Sekarang lagi bobo dalam pelukan gue."

"Ya Tuhan, lo pasti bahagia, Laura."

"Emang, tujuh tahun lebih kehilangan dan sekarang mendadak ada dalam pelukan. Besok rencananya mau aku ajak ke rumah buat ketemu papa sama mama."

"Sukurlah, gue ikut senang. Eh, tunggu. Tadi lo bilang naksir kakak ipar? Jangan-jangan lo naksir Kak Devon? Kok bisa, siih?"

"Udah, ah, gue tidur!"

Laura sengaja tidak membalas pesan dari Milea karena merasa malu. Ia berusaha meyakinkan diri kalau tidak naksir Devon. Lagi pula, mana ada naksir hanya karena satu sentuhan di pipi? Lagi pula, siap yang tahu kalau Devon ternyata sudah punya kekasih? Itu bukan hal yang mustahil bukan?

Devon yang sekarang sangat matang dan rupawan. Aura orang kaya menguar dari dalam dirinya. Dalam sekali lihat orang-orang tahu betapa tajirnya dia. Laura sendiri sudah mengalami, naik mobil mewah dengan sopir dan bodyguard yang mengawal dan membantunya menghalau wartawan. Kalau bukan orang kaya atau minimal berkuasa tidak ada yang bisa melakukan itu.

Laura mengingat kenangan lama saat Lori mengatakan kalau Devon mempunyai bisnis property dan tambang. Berarti memang dari keluarga kaya. Rasa segan menghingapinya karena selebrity identik menempel dengan orang berduit. Orang-orang akan mengatakan dirinya matrealistis. Padahal Devon yang menyentuhnya pertama kali.

"Gimana kalau sentuhannya hanya dari kakak ke adik? Gimana kalau ternyata Kak Devon sudah punya calon istri atau minimal pacar?"

Laura mengeluh dalam hati karena lupa menanyakan soal itu pada Devon. Ia yakin mantan kakak iparnya belum menikah lagi karena kalau sudah beristri tidak mungkin membiarkan perempuan lain tinggal di sini.

"Eliano, Sayang. Kenapa mama jadi mikirin papamu, ya?"

Laura berusaha untuk kembali terlelap dengan dada berdebar keras tidak menentu. Tertidur satu jam kemudian dan bangun dengan bingung. Elino sudah tidak ada di sampingnya. Ia bangkit perlahan dari ranjang, bergegas ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Mengikat rambut secara asal-asalan dengan karet gelang, ia menuju ke lantai bawah dan mendapati Devon sedang menonton televisi. Laura hendak menyapa tapi tayangan di berita membuatnya terpaku.

"Foto model terkenal yang diduga selingkuhan dari pengusaha serta anggota DPR Robertos akan menghadapi tuntutan dari sang istri, Dahayu. Sang istri hari melaporan dugaan perselingkuhan suaminya dengan Laura Sanders. Tidak diketahui keberadaan Laura sekarang tapi pihak media menduga kalau sang foto model sedang bersembunyi."

Devon mendadak menoleh, menatap Laura lekat-lekat tanpa kata. Berdiri diam dengan tubuh gemetar, Laura merasa mata Devon sedang mengadilinya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top