Bab 2

Lori baru berumur delapan belas tahun saat kakaknya menikah. Sebuah pesta megah digelar, kedua mempelai mendapatkan sambutan dan sanjungan luar biasa dari para tamu. Lori yang merupakan seorang presenter acara di sebuah stasiun televisi swasta, terkenal sebagai perempuan yang cantik dan lembut. Sedangkan suaminya, Devon juga sangat tampan dan berwibawa. Keduanya dinilai serasi satu sama lain dan terlihat jelas saling mencintai. Di hari pernikahan, siapa sangka saat acara melembar buket bunga, Laura yang mendapatkannya. Padahal saat itu ia hanya iseng mengangkat tangan dan benda itu jatuh begitu saja ke dalam gengaman.

"Laura, jangan bilang kamu mau nikah buru-buru?"

"Laura, masih kecil lo. Kuliah dulu yang benar dari kawin."

Laura merasa sebal mendengar celoteh orang-orang yang menurutnya kelewat batas. Ia ingin mengelak, mengatakan pada orang-orang itu kalau dirinya tidak pernah tertarik dengan pernikahan. Namun sadar sekarang hari bahagia sang kakak tercinta. Lebih baik untuk tidak menodai dengan pertengkaran. Dengan wajah merengut ia duduk di kursi samping pengantin.

"Kamu dapat bunga, harusnya senang tapi kenapa wajahmu muram begitu?" tegur Devon pada adik iparnya yang mencebik. Wajah Lori dan Laura yang terpaut umur empat tahun sangat mirip satu sama lain. Yang sedikit membedakan adalah rambut Lori hitam pekat sedangkan Laura sedikit kecoklatan. Meski begitu dari bentuk wajah hingga tinggi badan semuanya mirip, bagai pinang dibelah dua. "Banyak yang mau dapatin buket bunga itu."

Laura mendesah dramatis, menatap buket bunga di tangannya. "Heran, padahal cuma bunga tapi napa pada berebut?"

"Bukan bunganya yang spesial tapi momennya," jawab Lori. Mengusap lembut wajah adiknya yang mencebik tapi tetap terlihat cantik. Dengan gaun warna merah muda lembut, Laura terlihat sangat rupawan. "Kamu nggak mikir gitu karena sibuk kuliah dan kerja. Kalu orang-orang yang ngincar buket rata-rata sudah usia dewasa dan berharap pernikahan."

"Hah! Tetap aja nggak masuk akal. Gimana bisa mengharap pernikahan dari buket bunga? Orang-orang aneh!"

Lori bertukar pandang dengan Devon. Merasa tidak berdaya mendengar perkataan Laura. Saat ini adiknya memang masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan. Di usia ke delapan belas bahkan tidak pernah terdengar suara kalau Laura sedang naksir seorang cowok.

"Laura kerja di mana?" tanya Devon pada istrinya.

"Awalnya magang di stasiun televisiku, eh, ada produser acara lihat dia. Katanya cantik, tinggi, langsing, dan wajahnya tirus. Sekarang diangkat jadi figuran di beberapa acara dan mulai ikut pemotretan produk tapi bukan brand terkenal. Setidaknya nggak sekarang, aku yakin Laura akan menjadi bintang besar."

"Hebaat! Semoga perkataan istriku menjadi kenyataan. Laura, kamu akan jadi bintang besar."

Di hari itu, Laura tidak pernah terpikir untuk menjadi bintang hiburan profesional. Cita-citanya adalah menjadi presenter politik karena itulah ia kuliah di ilmu politik dan hukum. Ingin tampil di acara-acara besar, berbincang dengan para politisi, akademisi, dan orang-orang terkenal yang rata-rata berkecimpung di pemerintahaan. Namun, cita-citanya harus kandas saat terjadi sesuatu yang besar dalam keluarganya.

Lori yang langsung hamil setelah menikah, ternyata mendapatkan musibah. Saat melahirkan kondisinya memburuk. Laura rela cuti kuliah untuk merawat keponakannya yang masih bayi sekaligus menjaga kakaknya yang sedang sakit.

"Eliano sangat nyaman sama kamu, Laura. Kamu masih muda tapi bisa ngasuh bayi dengan telaten."

"Semua karena Kak Lori yang mengajari. Eliano sangat sehat dan menggemaskan. Kakak harus cepat pulih, biar kita bisa jalan-jalan keluar bertiga."

"Terima kasih, Laura. Kamu membantu meringankan bebanku."

"Kakak bicara apa, sih? Yang terpenting sehat dulu. Papa dan Mama udah tua, nggak bisa banyak bantu. Lagi pula bisnis Papa sedang ada masalah dengan Paman. Maklumi kalau kurang perhatian, ya, Kak."

Lori tersenyum lemah, menatap adiknya yang sedang menyusui bayi di pangkuan. Sauadara yang sangat berharga untuk dimiliki dan Lori sangat bersyukur karenanya.

"Seandainya aku mati, aku bahagia melahirkan anak yang menggemaskan seperti Elioano, punya suami yang baik seperti Devon, dan punya adik sempurna seperti kamu."

"Kak, berhenti bicara ngawur. Banyak istirahat saja biar aku yang urus Eliono."

Di hari-hari itu Laura yang menjadi ibu dari Eliano. Menyusui, memandikan, dan menggendong. Devon juga bukan tipe suami egois. Pulang kerja yang dilakukan Devon tentu saja menemani dan merawat sang istri dari mulai membantu mandi, menyupai makan Lori, dan bercerita berdua tentang banyak hal. Di saat Lori tidur digukan Devon untuk mengasuh Eliano.

Hubungan Devon dan Laura sangat baik dan akrab, layaknya saudara kandung. Setiap kali Devon membeli sesuatu bakan hanya Lori dan Eliano yang dibelikan tapi juga Laura.

"Kalau kamu terlalu capek ngurus Elioano, biar aku sewa pengasuh buat bantu kamu."

Tawaran Devon ditolak Laura. "Nggak, Kak. Aku masih sanggup kok ngasuh bocah nakal ini dan menggemaskan ini."

Di sela-sela waktu mengurus Eliano, Laura harus ke kampus dan Devon yang mengantarnya. Orang tua Devon berada di luar negeri jadi tidak ada yang mendampingi. Sedangkan orang tua Laura sedang punya masalah dengan bisnisnya. Sang mama lebih banyak berada di samping papanya yang sakit-sakitan. Tertinggal hanya Laura dan Devon yang merawat Lori serta Eliano.

"Seumur kamu harusnya punya pacar dan bersenang-senang," goda Devon saat mengantar Laura ke kampus dan mendapati banyak cowok mencoba menarik perhatian adik iparnya. "Malah terjebak buat jaga bayi."

Laura mengangkat bahu. "Cari cowok bukan prioritas, Kak. Lagi pula, aku ingin jadi presenter terkenal. Takut kalau punya pacar akan menghambat."

"Sahabat kamu itu, siapa namanya? Yang pakai kacamata?"

"Milea?"

"Iya, dia juga jurusan yang sama denganmu?"

"Bukan, dia sastra Mandarin. Kami berteman dari SMU dan sampai sekarang masih jadi sahabat baik."

Hidup Laura memang sederhana seperti itu, tidak punya banyak teman dan jarang keluar untuk bergaul. Satu-satunya sahabat yang dipunya hanya Milea, si gadis mungil berkacamata yang sering datang ke rumah untuk menjenguk Lori. Laura merasa beruntung punya sahabat setia seperti Milea.

Takdir berkata lain, saat Eliano menginjak umur tujuh bulan, Lori mengembuskan napas terakhir. Seluruh keluarga berduka dan Laura merasa satu tulangnya seolah ditarik lepas dari tubuhnya. Tangisan keras meluncur bukan hanya dari Laura tapi juga kedua orang tuanya yang telah kehilangan anak sulung. Kesehatan sang papa seketika menurun dan akhirnya ambruk.

Satu bulan setelah kematian Lori, Devon menyampaikan kabar buruk. Perusahaannya sedang ada masalah dan mau tidak mau, dia harus pergi ke luar negeri. Ke tempat di mana keluarganya berada. Tentu saja dengan membawa Eliano. Dengan berat hati Laura melepas keponakan semata wayangnya itu, karena Devon lebih punya hak untuk mengasuh dari pada dirinya.

"Kami akan sering memberi kabar pada Laura, Papa, dan Mama. Eliano akan dijaga dengan baik oleh keluargaku," janji Devon.

Setelah kematian Lori, kepergian Devon membawa Eliano adalah hal terberat yang dialami Laura. Ia melepas keberangkatan mereka dengan air mata bercucuran dan dada sakit karena kehilangan. Setelah kehilangan satu tulang dari raga, kepergian keduanya seperti membuatnya lumpuh. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk itu. Devon adalah papa dari Eliano dan setelah Lori meninggal maka hubungan keluarga dengan Laura pun terputus. Betapa menyedihkannya hidup bagi Laura saat itu, satu per satu orang-orang yang dicintai dan disayangi pergi.

Waktu berlalu dari semenjak perpisahan. Awalnya memang Devon sering memberi kabar. Belakangan mulai jarang karena kesibukan selain itu keluarga Laura juga diterpa banyak masalah dan membuat komunikasi terhambat. Laura kehilang kesempatan untuk memantau perkembangan keponakannya. Paling menyakitkan adalah Laura kehilangan kontak dengan Devon karena ponselnya hilang. Banyak hal terjadi dalam hidupnya setelah itu dengan menyisakan banyak penyesalan dalam dirinya yang menyimpan kerinduan untuk keponakan tercinta. Berharap bisa bertemu lagi dengan Eliano, entah kapan akan terwujud. Harapan semakin pupus seiring berjalannya waktu dan akhirnya tiba masa yang tidak terduga.

Pandangan Laura tertuju pada Devon yang tersenyum lebar padanya. Dadanya berdebar penuh harap dan kebahagiaan. Ia menunduk, menatap bocah yang memeluknya dengan mata berbinar.

"Eliano?" pangilnya coba-coba.

"Iya, Mam. Ini aku Eliano."

Laura terperangah dalam suka cita, melepas pelukan Eliano di pinggangnya lalu berlutut untuk memeluk dengan erat. Air mata kebahagiaan tumpah, hingga tidak peduli pada bany10knya wartawan yang mengerumuni.

Nurul berdiri cemas lalu bertindak sigap untuk menghalau para wartawan. "Jangan difoto! Tolong, jangan ambil foto sembarangan!"

Tidak ada yang peduli dengan perintah seorang asisten. Para wartawan dan masryarakat umum berlomba-lomba mengambil foto saat Laura memeluk Eliano. Momen langka yang tidak mudah mereka dapatkan di mana seorang superstar menangis di bandara bersama seorang anak yang tidak diketahui identitasnya.

Devon yang menyadari siatusi memburuk, melakukan panggilan telepon. Tidak sampai sepuluh menit, lima orang berseragam hitam membubarkan para wartawan. Devon menghampiri Laura, mengambil kopernya dan membantunya berdiri.

"Ayo, kita pulang!"

Laura tanpa sadar mengikuti langkah Devon yang membimbingnya menuju mobil bersama Eliano dalam genggaman. Tidak peduli akan dibawa ke mana karena yang terpenting bisa bertemu lagi dengan keponakannya.

.
.
.
Di karyakarsa update bab 25.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top