Bab 12

Laura kembali ke apartemennya tanpa makan malam bersama Devon dan Eliano. Dengan dalih banyak pekerjaan, ia meninggalkan penthouse dengan Eliano merengek. Memintanya untuk tetap tinggal. Sebenarnya Laura juga senang di sana, bermain dengan keponakannya sepanjang waktu. Sayangnya debar yang dirasakannya untuk Devon membuat kikuk.

Bagaimana kalau ternyata getar itu hanya sesaat? Devon yang kesepian merindukan kasih sayang perempuan dan dirinya tepat di depan mata. Berparas mirip dengan Lori, mencintai Eliano dan nyaman berdekatan dengan Devon. Bukankah tiga alasan itu cukup untuk membuat Devon merasa kalau cinta sebenarnya memang ada di antara mereka. Sayangnya bukan seperti itu isi hati Laura.

"Aku ingin cinta yang benar-benar cinta. Bukan jadi gantinya Kak Lori atau jadi ubunya Eliano."

Laura mengedarkan pandangan ke sekeliling apartemennya yang tidak terlalu luas tapi nyaman. Berdiri di dapur dengan kopi panas di dalam cangkir. Berbeda dengan penthouse Devon yang megah dan mewah, apartemennya hanya tempat biasa yang penuh dengan pernak-pernik cantik. Ia menjadikan tempat ini bukan untuk ditinggali melainkan hanya untuk tidur saja. Ada lima lemari berderet dekat dinding dalam satu ruang kosong. Saat dibuka tiga dari lima lemari itu penuh dengan pakaiannya. Belum lagi satu lemari lain untuk tempat sepatu dan lemari terakhir sebagai tempat penyimpanan tas.

"Mungkin akan lebih bagus kalau kamu punya apartemen yang lebih luas dengan walk in closet."

Nurul mengatakan idenya suatu hari saat melihat banyak barang milik Laura berada di atas lantai. Pakaian baru dari brand yang belum sempat dibuka dan tergeletak begitu saja. Kadang-kadang saat sedang senggang, Laura iseng membuka market place. Melihat pakaian dengan model unik dan lucu lalu membelinya. Hasilnya adalah pakaian itu tidak pernah dibuka dari semenjak datang.

Membawa kopi ke sofa dan duduk di sana sambil menyilangkan kaki, Laura meraih ponsel. Membaca pesan dari Nurul tentang jadwal terbarunya. Selama dua hari ini ia mengurung diri di apartemen dan tidak bepergian ke manapun.

Pekerjaan barunya mengharuskan dirinya terbang ke luar kota pagi buta dan sampai sekarang belum menyiapkan koper. Ia mengirim pesan pada Nurul, memintanya datang sekarang juga untuk membantunya merapikan koper.

"Sekalian kamu tidur di sini, Nurul. Biar besok pagi-pagi kita nggak repot."

Untungnya Nurul tidak membantah, mengatakan akan tiba dalam waktu dua jam. Laura sedang bersiap mandi saat Nurul datang.

"Di kulkas ada makanan kalau kamu lapar. Masak aja yang ingin kamu masak, kalau nggak cukup pesan saja."

"Asyik! Aku mau makan enak."

Ternyata kulkas Laura kosong, Nurul dengan kecewa mengatakan hanya ada air mineral di dalamnya. Laura terkekeh, memberikan uang pada Nurul untuk membeli makanan di bawah.

"Sekalian belikan aku satu ubi panggang di supermarket. Kalau nggak ada apel pun boleh."

Nurul kembali turun, Laura bergegas untuk mandi. Saat telanjang dan mengguyur tubuh, ia kembali teringat perkataan Devon tentang kecupan mereka dan bergidik ngeri. Menbayangkan dirinya berciuman dengan penuh nafsu bersama mantan kakak ipar adalah hal di luar nalar. Namun, ia berusaha mengingat kembali tentang perasaannya setiap kali bersama Devon dan menurutnya itu bukan hal mustahil.

Keluar dari kamar mandi ia dikejutkan oleh Nurul yang berlari masuk dan membanting pintu dengan napas tersengal. Ada dua kantong belanjaan di tangan yang dijatuhkan begitu saja saat masuk.

"Kamu kenapa? Kayak lihat hantu?" tanya Laura.

Nurul menegakkan tubuh, mengatur napas sebelum bicara. "Gawat, Kak. Di lobi banyak wartawan."

Laura mengernyit. "Banyak wartawan? Untuk apa?"

Nurul menggeleng. "Aku baru mau cari tahu. Untung aku keluar pakai hoodie jadi mereka nggak ngenalin aku. Para wartawan gosip yang sering kita lihat ngejar-ngejar kamu."

Laura mendesah kesal, sudah tidak terhitung berapa kali dirinya pindah apartemen gara-gara wartawan dan fans yang membuat ruang geraknya terbatas. Entah apa yang terjadi di luar sana, sampai-sampai wartawan menyerbu tempatnya. Ia bergegsa ke kamar untuk mengeringkan rambut dan berjengit saat Nurul berlari masuk.

"Lihat, Kak. Kamu masuk berita lagi. Berantem sama Kelly dan katanya kamu mengamuk sama Paul!"

Laura tidak percaya dengan apa yang didengarnya tapi ternyata benar adanya. Kelly menangis tersedu-sedu di hadapan wartawan, mengatakan kalau Laura datang dan mengamuk. Potongan video wawancara beredar di internet.

"Aku dan Paul berusaha menasehatinya untuk nggak ganggu pernikahan orang tua kami. Ternyata Laura nggak mau dengar, mengamuk, memaki, dan juga berani menyakiti Paul. Kasihan kekasihku, dia hanya ingin membela mamanya tapi harus berakhir seperti ini."

Entah dari mana Kelly mendapatkan rekaman CCTV yang menunjukkan Laura menginjak kaki Paul. Hanya bagian itu saja yang ditunjukkan pada wartawan dan membuat Laura terpojok.

"Sialan!" maki Laura keras. "Bisa-bisanya dia memotong rekaman CCTV?"

Nurul mengambil ponselnya dari atas ranjang Laura. "Gimana, Kak? Pasti sulit untuk keluar dari apartemen ini besok. Para wartawan itu akan stay di lobi."

Laura terdiam sesaat, memikirkan jalan keluar untuk masalahnya. "Telepon Pak Arya, Dia harusnya ada jalan keluar."

Arya mengamuk tentu saja, mengomeli Laura panjang lebar. Mengatakan kalau Laura terlalu sembrono dengan berhadapan langsung bersama Kelly. Laura memotong amarah Arya yang menggebu-gebu dengan satu pertanyaan singkat.

"Gimana caranya keluar dari sini besok pagi? Banyak wartawan, akan sulit menembus kerumunan."

Arya terdiam sesaat lalu bertanya. "Aku bisa mengusahakan untuk mendatangkan dua bodyguard untukmu. Cukup harusnya."

"Mana cukup, Pak." Nurul menyela karena percakapan menggunakan pengeras suara. "Tadi saya turun ke lobi, ada puluhan wartawan. Dua bodyguard mana cukup? Bisa-bisa kami jadi peyek dikeroyok."

"Aduh, gimana, dong? Bodyguard yang lain sedang mengawal Meliana. Kalian tahu sendiri kalau Meliana nggak mau kerja kalau nggak dikawal?"

Meliana adalah seorang penyanyi populer yang lagunya sedang meledak di pasaran. Berada di bawah agency yang sama, Meliana yang punya penggemar sangat banyak ingin tetap aman dan terlindungi. Meminta setidaknya enam bodyguard untuk menjaga. Laura merasa sangat jengkel tapi mau bagaimana lagi. Keadaan sedang genting sekarang. Syuting esok hari tidak dapat ditunda atau dirinya dapat pinalti.

"Laura, coba minta tolong mantan kakak iparmu itu."

Perkataan Arya membuat Laura bingung. "Hah, Kak Devon? Kenapa?"

"Bukannya dia pernah nolong kamu di bandara? Maksudku adalah, minta dia pinjam atau ngirim bodyguard buat kamu. Biar besok bisa keluar dari lobi dengan aman."

"Nggak enaklah pakai ngerepotin orang. Ini urusan kerjaan bukan pribadi."

"Aku tahu, tapi ini mendesak. Kata lainnya adalah kita kepepet. Dari pada kena masalah dengan brand? Pokoknya urusan bodyguard aku serahkan sama kamu."

Laura ingin marah dan mengamuk pada Arya tapi panggilan sudah diakhiri. Ia menghela napas panjang, memberi tanda pada Nurul untuk keluar dari kamar. Menimbang-nimbang sesaat dan melakukan panggilan pada Devon. Sebenarnya ia enggan melakukan ini, baru keluar dari penthouse beberapa hari dan kini harus telepon meminta bantuan. Padahal semestinya menjadi tanggung jawab agencynya.

"Ah, Arya sialan! Nggak mau tanggung jawab!" maki Laura kesal.

Setelah menyingkirkan rasa malu, ia mulai menelepon Devon dan diangkat dalam dering kelima.

"Ya Luara."

Suara berat laki-laki itu menandanya sedang istirahat.

"Kak, maaf ganggu. Pasti lagi tidur, ya?"

"Baru mau terpejam. Ada apa?"

"Kak, mau minta bantuan."

"Ya, bantuan apa"

"Itu, boleh nggak minjam bodyguard?"

"Bodyguard? Buat apa?"

Laura menceritakan secara detil tentang apa yang terjadi di padanya mengenai Kelly dan kerumunan wartawan. Termasuk kesulitan yang akan menimpanya kalau sampai tidak datang ke acara syuting besok pagi.

"Jam berapa kamu ke bandara?" tanya Devon setelah Laura selesai bercerita.

"Jam tiga, Kak. Pesawat jam tujuh pagi."

"Oke, aku akan mengirim orang ke apartemenmu. Berikan saja alamatnya. Saranku kamu sekalian packing pakaian yang lebih banyak. Untuk berjaga-jaga kalau nggak bisa pulang ke apartemen selama ada wartawan."

"Iya, Kak. Makasih."

"Untuk apa terima kasih, sudah semestinya aku membantumu."

Laura tidur dengan gelisah malam itu, menunggu datangnya esok pagi dengan hati berdebar tidak nyaman. Sebelumnya ia menelepon sang mama untuk memastikan kalau mereka aman. Itulah gunanya hidup terpisah dari orang tuanya. Saat dirinya terkena masalah orang tuanya tidak ikut terseret.

Keesokan paginya saat Laura dan Nurul baru saja selesai bersiap, pintu apartemen diketuk. Ada sekitar delapan bodyguard berseragam hitam yang siap mengawalnya.

"Mari, Nona. Ikuti kami."

Laura mengangguk. "Terima kasih."

Seorang laki-laki bertubuh gempal yang merupakan pimpinan mereka memberi perintah pada anak buahnya.

"Perhatian! Utamakan keselamatan kedua nona ini. Jangan sampai ada kekerasan atau membuat para wartawan terluka. Kalau keadaan di luar kendali, kalian bebas untuk bertindak asalkan jangan ada korban jiwa."

"Siaap!"

Laura menghela napas panjang, melangkah di tengah para bodyguard dengan Nurul tercengang di sampingnya.

"Ya ampun, Kak. Aku merasa sangat keren kayak miss universe karena dikawal banyak orang."

Laura tersenyum pada asistennya. "Jangan sampai kamu terjatuh."

"Iya, Kak. Aku bisa jaga diri."

Nurul menyeret dua koper di tangan sementara Laura memegang tas bahu dan memakai kacamata hitam. Keluar dari lift keadaan sangat kacau saat para wartawan menyerbu.

"Minggir! Jangan menghalangi jalan!" bentak pimpinan bodyguard.

"Laura, benar terlibat pertengkaran dengan Kelly?"

"Laura, apa benar kamu berselingkuh dengan Robertos?"

"Laura, kata-katanya!"

Para wartawan merengsek maju, Laura tetap membisu hingga tiba di teras dan dirinya diarahkan para bodyguard untuk masuk ke mobil mewah warna putih. Saat duduk di jok belakang, ada Devon yang tersenyum padanya.

"Selamat pagi, Laura."
.
.
.
Tersedia di google playstore dan Karyakarsa. Untuk yang suka buku akan open PO bersamaan Erotica.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top