Bab 11

Sepanjang usia Laura, tidak pernah semalu ini dalam menghadapi situasi. Ia pernah nyaris terpeleset di cat walk dan bangkit lagi dengan cepat, serta bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Pernah juga salah kostum saat pergi ke sebuah pesta dan menjadi bahasan para pemerhati fashion. Yang paling parah adalah saat beragam gosip tentang dirinya muncul, dari mulai tuduhan berpacaran, foto yang diambil wartawan secara diam-diam saat wajahnya sedang break out lalu beredar luas. Laura menghadapi semua kekacauan itu dengan tenang dan tanpa kesal. Namun, tidak untuk yang satu ini.

Bagaimana ia bisa menghadapi dada yang berdebar keras, jantung yang berdetak tidak menentu dan wajah yang mendadak terasa hangat. Tidak pernah ada seorang laki-laki yang secara blak-blakan mengatakan soal gigitan cinta, ciuman, serta cumbuan yang panas? Kapan ia melakukan hal itu? Tadi malam? Saat sedang mabuk? Rasanya sulit dipercaya.

"Kamu pasti bingung dan menganggapku berbohong. Percayalah, apa yang aku katakan itu benar, Laura."

Devon berkata dengan jari mengusap-usap leher Laura. Menikmati kehalusan dari kulit yang putih dan bersih. Ia menyukai bola mata Luara yang bersinar penuh tanya bercampur kengerian. Yakin kalau Laura saat ini sedang berusaha mengubur malu dan ia tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Tadi malam kamu mabuk, ingat?"

Laura mengangguk. "Ingat."

"Aku menggendongmu pulang, Milea harusnya bilang soal ini sama kamu."

Laura menjawab dengan tenggorokan yang terasa kering. "Iya."

Devon tersenyum seperti serigala yang sedang menghadapi domba kecil yang ketakutan. Wajah Laura yang kebingungan seperti ini memang sangat menggemaskan. Kepolosan yang ditunjukkan bukan hal yang dibuat-buat.

"Sepanjang jalan kamu terus mencercau. Memaki dua sepupumu, nasibmu, utang-utang orang tua dan banyak lagi."

Laura mendesah dan berniat memalingkan muka tapi Devon menhana wajahnya dengan dua tangan. Tidak mengijinkan Laura memandang arah lain.

"Jangan malu, yang aku katakan ini benar adanya."

"Kak, kenapa harus bahas masalah ini sekarang?" tanya Laura bingung.

"Biar kamu mengerti situasinya. Ngomong-ngomong, aku akan lanjutkan ceritanya tentang bagaimana kamu menahan leherku saat aku hendak bangkit dan mengecup bibirku."

Laura terbelalak mendengar perkataan Devon. "Apa? Aku mengecupmu? Itu nggak mungkin."

"Laura, untuk apa aku berbohong?" ucap Devon dengan wajah dibuat sendu. Niat hati memang ingin menggoda Laura yang polos dan mudah percaya omongan orang lain. Ia tidak tahu apakah Laura akan mempercayai ucapannya ini. "Kamu bilang terima kasih, bukan hanya mengecupku tapi juga mengulum bibirku. Dengan terpaksa aku menghisap lehermu karena kamu sulit untuk melepaskan aku."

Laura kehilangan kata mendengar cerita Devon yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Ia mengusap leher di mana ada tanda merah, bulu kuduknya meremang saat membayangkan sikap genitnya kala sedang mabuk. Apa yang ada dalam pikirannya, Laura sendiri tidak mengerti.

"Kak, aku—"

"Sst, jangan menyangkal Laura. Kamu nggak tahu hatiku sakit setelah apa yang terjadi tadi malam dan kamu mengingkarinya?"

"Kak, aku mabuk. Memangnya orang mabuk suruh ingat apaan?"

"Ckckck, Laura. Kamu menodai kepolosanku. Apa kamu tahu berapa lama aku menduda? Lebih dari tujuh tahun dan selama aku menduda, nggak pernah kenal perempuan lain apalagi sampai berdekatan. Kamu datang, mencuri ciuman dariku dan mengingkarinya. Tega kamu, Laura."

Tercengang dengan pernyataan Devon yang didramatisir membuat Laura kehilangan kata. Dalam hal ini ia yang tidak ingat apa pun, kenapa harus mempertanggung jawabkan perbuatan yang tidak dimengertinya? Ia menatap Devon lekat-lekat dan saat melihat senyum kecil tersungging di ujung bibir, mengerti kalau sedang dikerjai. Laura mengulurkan tangan ke arah pinggang Devon dan mencubit keras.

"Terus aja ganggu aku, Kak. Terusin!"

"Aww, sakit Laura. Aduh tanganmu kenapa sakit banget?"

"Ini baru cubitan, ya. Kalau lain kali menggodaku lagi, lihat apa yang bakalan aku lakukan sama kamu!"

Laura melotot, Devon menyambar tangannya yang sedang bergerak di udara. Membuka paksa telapak tangan dan melayankan kecupan di sana. Tubuh Laura seketika menegang karena perbuatan Devon. Apakah pengaruh pergaulan di luar negeri yang membuat Devon mudah untuk mengecup dan memeluk seorang perempuan? Apakah sudah biasa melayangkan kemesraan untuk perempuan yang bukan kekasih?

Mereka baru bertemu beberapa Minggu saja. Belum terlalu akrab satu sama lain setelah terpisah bertahun-tahun. Laura merasa Devon terlalu frontal dalam bersikap dan membuatnya sedikit bergidik.

Sebagai artis dan model, Luara banyak melihat hubungan para pesohor kelas atas. Bukan rahasia lagi kalau mereka sering sekali bergonta-ganti pasangan bahkan hidup bersama tanpa menikah. Kebebasan dalam pergaulan seperti itu tidak pernah membuatnya tertarik. Bukan karena dirinya sok suci tapi memang tidak ingin terperosok dalam gaya hidup yang menurutnya terlalu bebas dan kotor. Membayangkan orang tuanya yang sudah renta, menghadapi kehidupan sosialnya yang amburadul tentu akan sangat menyakitkan. Laura selalu memikirkan kedua orang tuanya sebelum melakukan sesuatu hal.

Sekarang ini, Devon mengecupi telapak tangannya dan membuat Laura terdiam kaku. Perasaan yang aneh merambatinya karena orang yang melakukan kemesraan secara fisik pernah dikenalnya dulu. Bukan orang baru, bukan pula orang yang terlibat di industri yang sama dengannya. Namun, bisa dikatakan Devon adalah keluarganya. Bagaimana bisa keakraban antar saudara berubah intim seperti ini?

"Kamu pasti bingung, Laura?"

Laura menghela napas panjang, berusaha menarik tangannya dari genggaman Devon tapi sulit. "Memang."

"Merasa aneh dengan yang terjadi antara kita?"

"Ya, anggap saja begitu."

Devon memiringkan wajah, tersenyum lebar pada mantan adik iparnya yang jelita. Wajah rupawan Laura bukan hanya memerah tapi binar matanya berselimut kabut kebingungan yang teramat sangat.

"Bagaimana kalau kita saling belajar satu sama lain? Apa kamu mau?"

Laura mengernyit. "Maksudnya gimana, Kak?"

Devon kembali mengecup telapak tangan Laura. Kali ini dengan lebih lembut dan lebih hangat dari sebelumnya. Seolah ingin membuktikan pada Laura kalau sebuah sentuhan bisa membuat hati dan dada menjadi lebih riang dan hangat tentunya.

"Aku akui kalau masih polos soal percintaan. Terutama setelah ditinggal sama kakakmu. Tiap hari yang aku lakukan hanya bekerja dan mengasuh Eliano, sampai nyaris nggak punya waktu menjalin hubungan. Ciuman yang kita lakukan tadi malam membangkitkan sesuatu dalam diriku. Gairah, hasrat, keinginan untuk menyentuh dan disentuh seorang perempuan yang selama ini mengendap di dada, menyeruak keluar karena kamu."

Devon menghela napas panjang, menjeda omongannya untuk memberi kesempatan pada Laura mencerna. Ia tahu sudah membuat bingung dan kikuk, lebih baik kalau dijelaskan sekarang dari pada salah paham nantinya.

"Laura, apa kamu mau mencoba untuk menjadi dekat denganku?"

Laura mengernyit bingung. "Dekat gimana? Bukannya selama ini kita udah dekat, Kak?"

"Memang, hanya sebagai saudara. Aku ingin kita lebih dari itu. Mau nggak kamu coba untuk mejadi kekasihku, Laura?"

Laura menahan napas, ajakan menjalin hubungan dari Devon sangat mengejutkannya. Setelah pertengkaran tidak masuk akal dengan Kelly, tanda merah di leher yang ternyata hasil gigitan Devon dan sekarang ajakan untuk berpacaran. Laura merasa terlalu banyak hal terjadi dalam hidupnya selama satu hari ini.

"Mungkin kamu bingung kenapa mendadak aku mengajakmu untuk menjalin hubungan. Alasan sebenarnya adalah karena kita kenal satu sama lain dan juga, Eliano sangat dekat denganmu. Perempuan yang menjadi kekasihku wajib menyayangi anakku dan kamu melakukannya dengan baik, Laura."

"Kak, kamu ini aneh. Eliano itu keponakanku. Jadi wajar aja kalau aku sayang sama dia."

"Memang, tapi kedekatan kalian itu luar biasa. Laura, dengan gaya hidup serta pekerjaamu yang gemerlap tapi menyimpan kelembutan dan kasih sayang untuk anak-anak adalah hal yang luar biasa. Aku jadi ingat sama—"

"Mendiang Kak Lori, benar nggak?"

Devon tidak menjawab karena Eliano bertanya padanya tentang lego dan kesulitan yang sedang berusaha dipecahkan. Sementara Devon menjawab pertanyaan Eliano, membuat Laura bisa sedikit bernapas. Ia sudah tahu apa tanggapan Devon tentang pertanyaan yang terlontar dan ternyata benar.

"Memang, Lori punya kesabaran dalam menghadapi anak-anak. Kami dulu sering main ke panti asuhan, selain untuk menyumbang juga untuk menghibur anak-anak. Yang dilakukan Lori saat itu persis seperti sikapmu sekarang pada Eliano."

Laura tertawa lirih. "Sudah aku duga." Ia bangkit dari sofa menuju kamar. "Aku harus merapikan barang-barang, nggak bisa nginap malam ini. Harus pulang karena besok pagi-pagi syuting iklan."

Devon membuntuti langkah Laura, merasa tidak enak hati karena jawabannya takut membuat tidak nyaman. Padahal ia sedang menceritakan masa lalu.

"Laura, kamu marah sama aku?"

Laura berhenti di tengah pintu, menatap lekat-lekat pada laki-laki yang berdiri serba salah di hadapannya. Seorang direktur perusahaan besar, laki-laki kaya raya dan juga mantan kakap iparnya bukankah manusia yang mudah merasa takut. Devon saat ini justru terlihat kuatir melihatnya.

"Untuk apa aku marah, Kak Devon sudah bercerita kebenaran tentang Kak Lori. Aku hanya ingin tekankan satu hal, Kak. Nggak peduli mau semirip apa pun kami. Entah dari bentuk wajah maupun cara kami bersikap, aku adalah Laura dan bukan Lori."

Devon mengangguk cepat. "Memang, aku tahu kamu Laura dan bukan Lori."

"Bagus kalau Kak Devon ingat. Karena dari awal mengajak menjalin hubungan bukan perasaan yang Kakak tekankan tapi kedekatan kita. Kak Devon berpikir menjalin hubungan denganku akan sangat mudah dan nyaman karena kita dekat. Iya, Kak?"

"Memangnya apa yang salah dengan itu?"

"Nggak ada yang salah, Kak Devon sudah sangat jujur. Satu hal yang harusnya kamu tahu, Kak. Aku ingin menjalin hubungan dengan laki-laki yang secara tulus mencintaiku. Bukan karena alasan kedekatan atau anak. Kak Devon, aku Laura dan bukan Lori. Sebaiknya hentikan pikiran kalau kami mirip, karena kami hanya mirip secara wajah tap nggak serupa untuk hal lainnya."

Devon berdiri tertegun di depan pintu yang menutup. Kehilangan kata untuk menyangkal perkataan Laura. Kebingungan apakah benar perasaannya pada Laura karena dekat atau memang suka? Devon meneguk ludah. Untuk kali ini akan membiarkan Laura pergi lebih dulu sebelum dirinya yakin tentang perasaan yang sekarang sedang menggelora dalam dada. Apakah karena masa lalu atau justru terusik masa sekarang? Devon akan mencari tahu tentang hatinya lebih dulu agar tidak ada hati yang terluka.
.
.
Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top