Bab 10
Laura tidak percaya dengan harinya yang berjalan buruk. Di antara semua kebetulan yang terjadi di dunia, tidak menyangka akan bertemu dengan Kelly yang secara kebetulan adalah pacar dari anak Dahayu. Ia tidak pernah mengenal Dahayu secara akrab, hanya tahu kalau dirinya sedang dituntut oleh perempuan itu karena dianggap berselingkuh dengan Robertos. Sampai sekarang tuntutan itu tidak sampai ke tangannya karena memang minim bukti. Apakah semua isu gosip itu mempengaruhi anak Dahayu dan membuat laki-laki berjas abu-abu ini membencinya? Laura tidak mengerti.
Pandangannya tertuju pada Kelly yang menyeringai dengan lengan bergayut mesra pada kekasihnya. Sebenarnya Laura tidak pernah peduli dengan Kelly, meskipun dianggap saingan sekalipun. Lagi pula hubungan keduanya tidak pernah baik dari awal debut. Kelly yang merupakan nepo baby alias anak dari seorang bintang film terkenal, jelas punya banyak keistimewaan darinya. Kenapa dirinya dianggap saingan dan dicemburui, sampai sekarang Laura tidak mengerti.
Laura menggeleng, pandangannya tertuju pada Kelly alih-alih pada laki-laki yang menghalangi jalannya.
"Kelly, bisa bawa pacarmu minggir? Menghalangi jalan soalnya."
Kelly terkikik tanpa tahu apa yang lucu. "Kalau aku nggak mau, emangnya kamu bisa apa? Paul hanya ingin kenalan sama perempuan yang sudah membuat mamanya menangis. Kenapa? Jangan bilang kamu takut sama kami. Kalau takut berarti benar kamu pelakor jahanam!"
Laura mengepalkan tangan, ingin mengayunkannya untuk menutup mulut Kelly tapi sadar ada banyak orang di sini. Ia terkenal tenang dalam menghadapi masalah, Kelly sedang memprovokasinya dan tidak semestinya terpancing.
"Terserah apa katamu, Kelly. Aku harus pergi sekarang."
Laura menyamping tapi Paul bergerak menutup jalan. Ia kembali ke tempat semula dan laki-laki itu mengikuti langkahnya. Membuat Laura kehilangan kesabaran. Mengibaskan rambut ke belakang, Laura melotot pada Paul.
"Denger, ya. Kita berdua nggak kenal satu sama lain. Sebaiknya jangan bersinggungan di tempat umum karena aku nggak mau bikin keributan."
Paul mendengkus keras, menatap Laura dari atas ke bawah dengan tatapan kurang ajar. Matanya yang hitam pekat menyorot tajam sedangkan bibirnya melengkung membentuk seringai penuh hinaan. Paul seakan sedang menilai Laura dengan terang-terangan.
"Aku banyak dengar cerita dari Kelly soal kamu. Awalnya aku pikir kalau Kelly melebih-lebihkannya tapi ternyata benar. Kamu memang perempuan nggak tahu sopan santun. Harusnya sekarang kamu bersujud dan meminta maaf padaku karena sudah membuat keluargaku hancur. Mamaku menangis karena papa tiriku berselingkuh dan sebagai selingkuhan harusnya kamu bersikap tahu malu dan tahu diri!"
"Bravoo! Kamu mengatakannya dengan baik, Sayang. Perempuan ini memang nggak tahu malu!" Kelly berteriak sambil bertepuk tangan, seolah Paul baru saja melakukan hal yang membanggakan.
Laura tersadar kalau tidak akan mudah lepas dari pasangan kekasih di depannya, mulai memutar otak untuk mencari jalan keluar. Ia tidak ingin terlibat pertengkaran dan pertikaian yang mengundang masalah. Wartawan selalu muncul di tempat para selebrity berkumpul dan Laura yakin kalau di sini pun akan sama kondisinya. Sebelum masalah membesar, ia harus pergi dari sini.
"Jangan harap kamu bisa pergi sebelum meminta maaf. Nggak akan semudah itu!" gumam Paul memberi ancaman.
Laura menghela napas panjang. "Oke, aku nggak akan kabur tapi aku akan melakukan ini. Hah!"
"Aduuh!" Paul berteriak saat Laura menginjak kakinya. "Sial!"
"Sayang, kamu nggak apa-apa? Mana yang sakit? Sayang, aduh jangan nangis. Laura sialaan!"
Setelah menginjak kaki Paul dan mendorong tubuh Kelly, Laura bergegas ke ruang tunggu anak. Menatap panik pada Eliano yang sedang bermain dengan Nurul dan memanggil keduanya.
"Sayang, kita pulang sekarang! Nurul, kamu lewat depan. Aku sama Eliano lewat samping!"
"Kenapa, Kak?" tanya Nurul bingung.
Laura merangkulnya. "Ada Kelly yang sedang kejar aku. Tolong bantu aku, Nurul."
Nurul terbeliak lalu mengangguk. "Nggak usah kuatir. Serahkan padaku, Kak!"
"Makasih, loh!"
Laura menggandeng Eliano dan mengajaknya berlari menyusuri lobi dengan lantai mengkilat. Terdengar teriakan Kelly di ujung lorong dan dihadang oleh Nurul.
"Kak Kelly, awas resletingmu turun!"
"Minggir lo gadis miskin!" teriak Kelly. "Gue mau ngomong sama Laura!"
"Kak Kelly, ada banyak wartawan masa pakai rok resletingnya turun?"
Kelly menggeram kesal saat melihat Laura keluar dari pintu dan menghilang bersama bocah laki-laki dalam genggaman. Ia mengalihkan pandangan pada Nurul yang sengaja menghalangi dan menuding keras.
"Keparat! Kamu bisa lolos kali ini, jangan harap lain kali bisa terjadi hal yang sama!"
Nurul menghela napas lega saat Kelly membalikkan tubuh dan menghampiri laki-laki berjas abu-abu yang menunduk untuk memeriksa sepatu. Nurul tahu dari dulu hubungan serta persaingan antara Laura dan Kelly selalu sengit, tidak tahu apa yang terjadi hari ini. Ia bersyukur Laura menghilang dengan Eliano sebelum terlibat pertengkaran lebih sengit.
Tiba di penthouse setelah terbebas dari kejaran Kelly, Laura ingin membantu Eliano mandi tapi ditolak. Keponakannya mengatakan kalau dirinya bisa mandi sendiri. Laura memujinya habis-habisan. Kepalanya yang berdenyut nyeri saat bangun tidur kini kembali terasa. Bisa jadi karena dalam kondisi marah dan dirinya belum makan seharian. Ia duduk di ruang tengah setelah berganti pakaian, memotong satu buah apel dan memakannya sambil melamun. Ia memikirkan kebencian Kelly, ditambah perselisihan dengan Paul. Laura merasa hari-harinya akan lebih sulit.
"Mama, aku udah mandi."
Eliano mendekat, Laura mengecupi wajahnya. "Anak mama tampan. Mau main lagi?"
"Iya, Mama."
Nyatanya Laura yang kelelahan tidak dapat menahan kantuk. Ia tertidur di sofa dengan Eliano menggelar lego di atas karpet. Ruangan yang sunyi dengan pendingin udara membuatnya terlelap dan jatuh dalam tidur yang dalam. Tidak bereaksi saat pintu membuka dan Devon muncul.
"Papa pulaang!" Eliano bangkit menyongsong kedatangan sang papa.
"Anak papa bersikap baik hari ini?" tanya Devon sambil memeluk anaknya. "Nggak nakal main sama Mama?"
Eliano menggeleng."Nggak nakal, Papa. Mama hari ini berantem sama orang."
Devon terkejut menatap anaknya. "Benarkah? Sama siapa?"
"Seorang tante, Papa. Nggak tahu siapa. Lihat, Mama kecapean lari jadi bobo."
Eliano kembali ke tempatnya duduk, Devon melonggarkan dasi dan memberikan tas serta jas pada pelayan. Ia menghampiri sofa di mana Laura terlelap. Wajah yang cantik tertidur damai dengan dengkuran halus keluar dari bibirnya. Siapa perempuan yang ribut dengan Laura? Ada masalah apa sampai dua perempuan berkelahi?
Sama seperti malam sebelumnya, Devon tidak tahan untuk tidak menyentuh wajah Laura. Ia membelai lembut pipi, dahi, lalu ke leher yang memerah. Tersenyum karena mengingat kalau tanda merah itu ia yang membuat. Saat sedang merapikan anak-anak rambut, Laura mendadak membuka mata.
"Kak, udah pulang?"
Devon tersenyum. "Tidurmu nyenyak."
Laura mendesah, duduk sambil meregangkan tubuh. Tangannya terentang ke depan dan menguap.
"Lumayan, Kak. Kayaknya ada setengah jam aku ketiduran."
"Kamu belum makan malam?"
"Udah, tadi makan apel."
"Hanya apel? Mana kenyang?"
Laura yang terbiasa mendengar pertanyaan senada hanya tersenyum. Sebagai model profesional ia dituntut untuk punya tubuh ramping. Makanan yang masuk ke perut harus dihitung kalorinya dengan tepat. Tidak boleh terlihat gemuk apalagi sampai naik berat badan menjelang peragaan busana.
"Cukup, kalau lapar aku bisa makan apel satu lagi. Kak Devon bisa makan ditemani Eliano. Hari ini dia temani aku kerja dan nggak sempat makan cemilan karena buru-buru pulang."
Devon menyandarkan kepala di sofa dan kaki berselonjor, melirik Laura yang menawan dalam balutan baju rumah yang dibelikannya. Aura seorang model memang lain, meskipun baju berpotongan sederhana terlihat mewah dan menarik kalau Laura yang memakai.
"Eliano bilang kalian berantem? Dengan siapa?"
Laura tercengang lalu tertawa. "Bukan kami yang berantem, lebih tepatnya aku yang ribut dengan sesama model. Biasa, persaingan dalam kerja, Kak."
"Oh, nggak ada yang serius sampai membahayakan nyawa?"
"Nggak, Kak. Aman kalau sama aku."
Laura menyeringai lalu menunduk saat Devon menatapnya. Ia teringat akan pesan yang dikirim Milea untuknya. Pujian pada Devon yang menggendongnya dengan tegap dan kuat. Pujian Milea meletup-letup dimulai dari lengan yang kokoh, bahu lebar, serta tenaga yang kuat. Semua pujian itu terpatri dalam benak dan membuatnya malu.
Devon memang tampan dan perhatian, tapi tindakannya yang rela menggendong pulang adalah hal yang patut diapresiasi. Laura merasa harus mengucapkan terima kasih dengan benar.
"Kak, makasih udah jemput aku tadi malam. Kalau kamu nggak jemput, bisa-bisa aku tidur di rumah Milea."
"Kamu gampang mabuk tapi tetap minum alkohol?"
"Ya, namanya juga iseng, Kak. Kamu nggak tahu kalau dekat sam Milea, ada aja ide buat foya-foya. Kami memang seaneh itu."
Devon tidak menjawab perkataan Laura. Jarinya terulur ke arah leher jenjang yang tidak tertutupi kain. Baju Laura mempunyai garis leher rendah yang membuat area leher dan dada bagian depan tidak tertutupi.
"Merah sekali ternyata," ucap Devon sambil mengusap-usap leher Laura. Tidak peduli melihat Laura berjengit kaget.
"Oh, ya, ini kayaknya bekas gigitan nyamuk, Kak," sela Laura cepat. Sentuhan jari Devon di lehernya membuat dada berdebar.
Devon menggeleng. "Bukan, merah ini bukan karena gigitan nyamuk tapi karena aku."
"Karena Kak Devon? Maksudnya?"
Devon mendekat dan berbisik lembut di telinga Laura. "Kamu lupa tadi malam kita berciuman dengan panas. Aku menghisap lehermu dan bisa dikatakan merah itu karena gigitan cinta. Laura, kamu sangat luar biasa saat sedang merayuku."
.
.
Cerita lengkap tersedia di google playbook dan Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top