Bab 1

Suara bisikan orang-orang yang berada di lorong pesawat membuat Laura terdiam. Ia sidah memilih berada di kelas bisnis dengan harapan bisa melakukan perjalanan dengan tenang tanpa gangguan tapi tetap saja ada banyak mata menatap dan bibir berbisik. Itu karena dirinya sedang diterpa gosip tidak sedang. Laura mendesah dalam kursinya. Sebentar lagi pesawat landing tapi hatinya tidak juga tenang. Selama dua Minggu di Milan, disibukkan dengan beragam pekerjaan tetap saja pikirannya tidak tenang. Media sosial miliknya dibanjiri komentar buruk dari nitizen.

Laura tidak tahu dari mana semua gosip buruk ini berawal. Tentang dirinya yang dituduh sebagai penyebab perceraian seorang jutawan dan istrinya. Pernikahan yang sudah berjalan sepuluh tahun kandas dan semua karena Laura. Hal yang tidak masuk akal sedang terjadi dan Laura bingung mengatasinya.

Manajernya memintanya pulang dengan kelas bisnis, keluar melalui jalan khusus, nyatanya Laura bukan pejabat dan tidak punya kekuasaan untuk melakukan itu. Meskipun dirinya seorang bintang yang terkenal, tetap tidak bisa melakukan itu.

"Aku sudah mengatur agar kamu lewat jalan samping. Laura, jangan macam-macam, keluar dari bandara dengan cepat dan lari kalau bertemu wartawan."

Pesan dari Arya si manajer baru saja diterima saat pesawat landing. Mau tidak mau Laura harus mengikuti arahan Arya dan berharap rencananya berhasil dijalankan. Ia sedang melepas sabuk pengaman, membuka selimut yang menutupi tubuh.

"Selamat siang, Kak Laura. Biar saya bantu ambil barangnya."

Seorang pramugara muda tersenyum padanya. Dengan cekatan membantu Laura menurunkan koper.

"Terima kasih," ucap Laura.

"Sama-sama, Kak. Boleh minta fotonya?"

"Oh, boleh. Ayo, sini."

Bukan hanya pramugara itu yang meminta foto dengannya tapi beberapa pramugari yang lain meminta hal yang sama. Laura sama sekali tidak merasa terganggu asalkan mereka meminta dengan sopan. Ia keluar lebih dulu dan berdiri di sudut lorong untuk menunggu asistennya yang naik kelas ekonomi. Manajernya memang sangat pelit, untuk naik pesawat saja dibedakan antara dirinya dan asisten.

Laura berdiri dengan gaun hitam selutut dan sepatu hak tinggi hitam. Ada koper besar di sampingnya. Bentuk gaun yang sederhana dengan bahan mengkilat membuat sosok terlihat bercahaya. Selain itu ditunjang dengan rambutnya yang kemerahan dan kacamata hitam bertengger di telinga. Aura mahal, anggun, dan berkelas menguar dari dalam dirinya. Banyak penumpang pesawat yang melewati tapi enggan untuk menegur. Laura sendiri memilih untuk berdiri menbelakangi jalan dan menatap pemandangan di luar melalui dinding kaca.

Terdengar suara kikik tawa dari ujung lorong, Laura tidak tertarik untuk tahu siapa mereka sampai beberapa orang berdiri tepat di hadapannya. Tiga perempuan setengah baya dengan setelan gaya dan bermerek. Masing-masing orang memakai berlian dengan tas kulit mewah di tangan. Ketiganya menatap Laura dari atas ke bawah dengan senyum mengejek.

Satu perempuan memakai celana dan blazer kuning terlihat yang paling tua. Dengan tubuh padat tapi tidak bisa dibilang gemuk. Bentuk wajah bulat dengan kulit bersih yang menandakan perawatan. Perempuan itu berucap kasar pada Laura.

"Waktu di pesawat tadi aku sudah ingin menegurmu tapi aku urungkan karena nggak mau bikin masalah di dalam. Siapa sangka kamu di sini dan menunggu kami. Hei, Jalang! Puas kamu udah ngerusak rumah tangga orang?"

Laura mendesah, tidak mengenal siapa orang-orang ini tapi mendapatkan intimidasi. Ia melirik bagian belakang, berharap agar asistennya cepat muncul.

"Kamu dengar nggak yang dibilang Jeng Estiana? Kami ini temannya Jeng Dahayu, orang yang patah hati dan menderita gara-gara kamu!"

Kali ini yang bicara adalah perempuan dengan setelan cokelat. Bertubuh agak tambun dengan lipatan lemak terlihat jelas di pinggang. Perempuan itu bicara dengan nada tinggi yang membuat pekak telinga. Perempuan ketiga lebih muda dari dua lainnya dengan tubuh kurus dan rambut yang ditata sangat rapi. Memakai setelan hitam dengan anting berlian besar membuat silau pandangan.

"Jeng Dahayu terlalu baik sama kamu. Udah tahu suaminya direbut tetap nggak mau laporin kamu ke polisi. Kalau kami yang mengalami, udah kami cincang-cincanng badan kamu sampai hancur!"

Saat perempuan yang ketiga ingin bicara, Laura buru-buru mengangkat tangan. "Ibu-ibu, kalau mau marah ada baiknya kita cari tempat yang tenang. Jangan di sini, ya. Ada banyak penumpang yang mau keluar. Malu kalau sampai direkam oleh mereka."

Saran dari Luara tidak menghentikan caci maki mereka, justru semakin keras dan beringas. Laura yang kuatir, bergerak perlahan menjauhi lorong yang ramai. Langkahnya tanpa sadar diikuti oleh ketiga perempuan itu dan membuat Laura tersudut di dekat dinding. Ujung matanya berusaha mencari sosok asistennya yang tidak kunjung muncul, padahal para penumpang sudah mulai menipis. Kemana perginya si Nurul itu? Semestinya sudah muncul sekarang. Bagaimana bisa dirinya dibiarkan sendirian menghadapi tiga peremouan yang sedang mengamuk dan seakan ingin menelannya hidup-hidup.

"Perempuan gatal! Kamu masih muda dan terkenal tapi maunya sama suami orang! Apa karena Pak Robertos kaya raya?"

"Oh, jelas itu. Perempuan kayak gini ngakunya doang terkenal. Padahal, mah, nggak punya uang!"

"Uang bisa dicari, yang dia nggak punya itu harga diri!"

Laura menghela napas panjang, mulai kehabisan rasa sabar. Ia tidak mengenal tiga perempuan ini tapi mulut mereka begitu lancang memakinya. Rupanya dipengaruhi oleh gosip kalau dirinya merusak pernikahan Robertos. Padahal bukan begitu kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Ia malas untuk menjelaskan dan berharap secepatnya pergi dari sini.

"Nuruuul! Di mana kamuu?"

Laura memencet tombol ponsel sambil celingkat-celinguk tapi tidak ada tanda-tanda kemunculan asistennya sedangkan makian tiga perempuan tidak dikenal makin menjadi-jadi.

"Heh, apa kamu dengar omongan kami? Kalau kamu nggak sadar juga, berarti memang sifatmu paraah!" bentak perempuan dengan setelan hitam.

"Memang parah dia. Merasa masih muda dan cantik kali? Padahal, mah, kita semua tahu kalau dia cantik karena oplas!"

Perkataan perempuan dengan setelan cokelat membuat harga diri Luara tersentil. Tersinggung karena dikatakan operasi plastik. Ia mengangkat dagu, menatap ketiga perempuan bergantian lalu mencubit-cubit pipinya.

"Sorry, nih, maaf-maaf aja tapi kulitku asli. Sama sekali nggak pernah operasi plastik. Asli loh kulit akuu!"

Bagi Laura tidak masalah dirinya dihina seperti apa pun, tapi tidak dengan kulit dan wajah. Bagaimana bisa wajah secantik dan semulus dirinya dikatakan hasil operasi plastik? Hanya orang-orang yang iri saja yang mengatakan hal itu. Tiga perempuan di depannya melotot sambil berkacak pinggang dan Laura yang terlanjur marah tidak berniat mundur. Ketiganya harus tahu kalau dirinya bukan perempuan yang mudah diintimidasi.

"Tolong bilang sama teman kalian, Jeng Dahayu kalau aku nggak berminat sama suaminya. Pak Robertos aku memang kenal baik karena beberapa kali beliau jadi sponsor acaraku. Tapi, hanya sebatas kerja profesional. Mendadak ada gosip aku dengan Pak Robertos? Yang benar aja?"

Laura tidak tahan untuk tidak memutar bola mata, Menumpahkan kekesalan pada tiga perempuan yang suka sekali ikut campur urusan orang lain. Saat dirinya berpikir untuk terbebas dari tiga perempuan ini, Nuruil si asisten muncul. Membawa satu koper besar dan terbelalak melihat Laura dikerubuti tiga orang.

"Kak, ada apa?" tanya Nurul.

Laura menghela napas panjang lalu memberi aba-aba pada Nurul.

"Larii!"

Laura meraih lengan Nurul dan mengajaknya lari menyusuri lorong. Tiga perempuan utu berusaha mengejar mereka. Tiba di ujung lorong, Laura melihat dua petugas kebersihan sedang mengepel. Ia melewati ember berisi air dan sengaja menyenggolnya hingga tumpah. Langkah tiga perempuan tertahan tapi makian mereka masih terdengar.

"Kak, kamu bikin masalah apa lagi? Kenapa ada ibu-ibu ngejar kamu?" tanya Nurul sambil tersengah.

"Itu semua karena kamu. Kenapa lama baru muncul dan bikin aku terkena masalah."

"Ada masalah dengan koper, entah siapa yang ngebuka makanya tadi aku rapiin dulu barang di dalam yang jatuh. Pak Arya nyuruh kita lewat samping, Kak!"

Keduanya berjalan cepat melewati lantai mengkilat dengan banyak orang berlalu lalang. Setelah pengecekan paspor oleh petugas imigrasi, Nurul mengatakan harus mengambil barang di bagasi. Laura yang panik hanya mengangguk dan menunggu hingga Nurul mendapatkan koper-kopernya. Setelah itu keduanya melintasi lobi bandara yang luas dan ramai menuju pintu samping.

"Semoga tiga perempuan tadi nggak ngejar kita. Apes amat ketemu sama ibu-ibu dari entah berantah dan mendadak memakiku."

"Salahmu apa, Kak?" tanya Nurul heran.

"Nggak tahu. Kayaknya mereka baca gosip dan jadi, aduuh, sial!"

Laura menjeritkan makian saat di ujung pintu melihat segerombolan wartawan menunggu. Saat melihat kemunculan Laura, para wartawa menunjuk dengan heboh.

"Itu Lauraa!"

"Laura sudah datang!"

Laura membalikkan tubuh dengan gugup. Saat ini sedang tidak ingin diwawancarai oleh media massa mana pun. Ia melangkah dengan panik ke arah pintu lain. Dalam kebingungan terpisah oleh Nurul. Laura yang melangkah sembarangan tanp sadar menabrak seorang anak.

"Ups, maafkan aku nggak sengaja, Sayang."

Bocah laki-laki berumur tujuh tahun mendongak dengan kedua lengan memeluk paha Laura. Mata bocah itu bercahaya dengan binar bahagia. Laura terdiam karena shock hingga tidak menyadari teriakan bocah yang sedang memeluknya.

"Mamaa! Akhirnya aku bisa lihat Mama. Kenapa Mama nggak datang-datang? Kenapa Mama perginya lama dan nggak pulang? Papa lagi nunggu Mama!"

Laura terperangah bingung. "Nak, kamu siapa?"

"Aku Eliano, Mama. Masa Mama lupa?"

Otak Laura mencerna perlahan nama Eliano yang sepertinya pernah didengarnya di suatu tempat. Ingatannya belum pulih kala mendengar teguran dari suara yang dalam dan maskulin.

"Eliano, jangan membuat Mama bingung, Sayang. Sini, sama papa dulu."

Laura mengangkat wajah ke arah datangnya suara. Laki-laki tinggi, berkulit putih dengan mata tajam dan memakai jas hitam berdiri tidak jauh darinya. Mata laki-laki itu tidak sepenuhnya hitam melainkan kecoklatan dengan dagu terbelah. Tersenyum lebar pada Laura yang terdiam.

"Laura, apa kabarmu?"

Lampu blitz menerangi Laura yang sedang dipeluk anak laki-laki, berdiri bingung menatap orang yang sudah lama tidak dijumpainya. Tidak ada kata yang keluar selain satu nama yang berembus lirih dari bibirnya.

"Kak Devon."
.
.
Di sini akan sangat slow update. Kalian bisa baca cepat di Karyakarsa. Sudah bab 15.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top