Bagian Sebelas

Naima sudah sadar beberapa jam lalu namun pandangan matanya masih kosong. Pingsan bukan berarti aman, pingsan membawa pikirannya ke alam lain yaitu alam mimpi. Ia mengalami mimpi buruk, mimpi yang kadang sering datang tapi tak pernah lagi semenjak dua tahunan ini. Naima sudah tak menjerit bila ingat dengan janinnya yang telah tiada. Kenapa ia dulu berpikiran pendek untuk bunuh diri kalau saja ia memegang kewarasan agak kencang pasti peristiwa itu bisa dihindari.

"Naima?"

Ia tak mau menoleh atau pun menjawab. Karena tahu yang berada di samping tempat tidurnya siapa. Naima berusaha menyembunyikan rahasianya rapat-rapat karena tak mau harga diri yang di pegangnya erat-erat harus terlindas oleh masa lalu. Saka mungkin senang ketika tahu Naima pernah mencoba bunuh diri dan kehilangan bayi, setidaknya beban hidup pria itu hilang satu. Tapi begitukah? Saka terlihat hancur, kemeja pria itu berantakan dan mencuat, Rambutnya yang rapi tersisir kini awut-awutan. Mungkin juga Naima sedang buta, ia melihat bekas air mata Saka yang telah mengering menyisakan bola matanya yang memerah. Lelaki itu juga hancur, walau kadarnya tak sebesar punyanya.

"Maaf...."

Satu kata yang Naima telah tunggu bertahun-tahun tapi setelah kata itu terucap perasaannya jadi hampa. Dosa Saka tak bisa dilupakan, kenangan buruk itu selalu mematri ke dasar hati, membuat Naima kesusahan menjalani hidup dan menghadapi masa depan. Ketika melihat bayi ia senang sekaligus merana, puncaknya saat kelahiran Andra. Ia merasa posesif ketika anak itu masih bayi, hingga membuat Clara takut. Naima menginginkan bayinya, Naima menginginkan keluarga tapi semuanya tak bisa dicapai karena traumanya dicampakkan Saka. Apakah ini saatnya melepas semuanya, melepas kebenciannya, mengikhlaskan anaknya dan juga membuang sisa cinta terhadap Saka. Dendam tak membuahkan apa pun. Naima menoleh kemudian membalas genggaman Saka serta tatapannya. Saka hancur, ia mengakui itu. Semua Cuma masa lalu. Bayi itu memang sebaiknya takdirnya begitu. Naima mencoba mengangkat bibir, tapi sia-sia. Di sela-sela kesedihan memang sulit terlihat baik-baik saja.

Saka tak mengharap respons yang seperti ini. Harusnya Naima bersikap seperti El. Memukulinya, menghajarnya atau mungkin membunuhnya. Tapi perempuan itu Cuma duduk diam tanpa melakukan apa pun. Mengatakan jika janin yang baru diketahuinya adalah hal yang harus dilupakan. Wajar, Naima telah mengalami proses kegetiran ini enam tahunan lebih. Dia sudah terlatih menjadi tabah. Saka yang ke depannya akan merasakan kegetiran itu dalam waktu lama. Rasa bersalahnya kemarin belum dibayar lunas, kini ditambah lagi. Meninggalkan Naima untuk kedua kalinya bukanlah suatu jawaban. Biar saja ia dianggap tak tahu malu, tapi lari adalah tindakan paling rendah.

Saka perlahan naik ke ranjang, menarik tangan Naima agar tubuh mereka saling menempel. Di rengkuhnya tubuh ringkih itu dengan kedua tangannya yang kokoh. Naima hanya pasrah, tak merespons. Kehangatan tubuh Saka pernah ia rasakan dulu, aroma parfum lelaki ini pun tak berubah citrus bercampur wood. Menenangkan sekaligus mengikis kewaspadaan. Ia biarkan lelaki ini menyentuhnya namun bahunya terasa basah ketika Saka menumpukkan dagunya di sana. Tubuh lelaki itu bergetar, Saka menangis dalam diam.

"Aku minta maaf, seharusnya aku tidak meninggalkanmu." Naima enggan merespons, baginya yang terjadi biarlah terjadi. "Kamu tidak pernah bilang kalau Hamil." Dan kalau itu dikatakan. Apa Saka akan langsung meninggalkan Paula? Tidak mungkin. Jika anak Saka tidak ketahuan bukan dari benihnya, Apa anak Naima yang telah tiada akan diingat? Itu juga mustahil.

"Saat itu kamu merencanakan menikah dengan Paula. Kamu bilang sendiri jika Paula tengah hamil, jadi apa yang bisa kulakukan? Tidak mungkin kamu bertanggung jawab pada dua wanita hamil." Kebohongan Saka berbuah petaka. Ia melepas janin dan juga ibunya demi memenuhi egonya. "Bayi pertama Paula ke mana? Apa dia juga keguguran."

"Dia tidak sedang hamil saat kami menikah," jawabnya sembari melepaskan pelukan mereka.

Kebohongan Saka sungguh keji, mengantarkan Naima pada jurang keputus asaan. "Kamu membuat alasan itu agar bisa melepasku?" Naima terlihat tak terkejut tapi hatinya begitu bergemuruh, ingin sekali dia mendorong Saka hingga terjengkang ke lantai.

Saka menyatukan kedua tangan Naima kemudian menggenggamnya lembut. "kamu tahu aku dibesarkan dengan amat keras. Ayahku sering memukulku ketika aku kecil. Dia sering memaksakan kehendak. Dulu aku mau masuk ke jurusan teknik tapi ayahku memilih bisnis, perjodohan itu juga pilihan papah."

"Tapi kamu bisa saja menolak ketika semuanya baru dimulai, bukan malah menghancurkannya di saat impian seorang perempuan dipertaruhkan."

"Awalnya memang begitu tapi kamu memperlakukanku dengan baik dan membuatku nyaman dengan hubungan kita." Nyaman dalam arti apa? Naima bagai perempuan tolol menuruti semua yang Saka mau, tak punya keinginan sendiri. Memprioritaskan kebahagiaan Saka di atas segalanya. Tersenyum walau hatinya merasa terluka.

"Lalu kenapa menjelang pernikahan kita kamu membuangku?"

Saka menarik nafas sejenak, lalu mengangkat kedua telapak tangan Naima untuk dikecup. Alasannya akan nampak kekanakan. "Ayahku begitu menyukaimu, dia menyayangimu dan harapannya begitu besar untuk menjadikanmu bagian keluarga. Aku tidak senang kalau mewujudkan apa yang dia inginkan. Aku harus bisa keluar dari aturan yang dibuat ayahku, dia juga harus tahu jika apa pun keinginannya tak akan terwujud."

Naima mencoba menahan untuk tak mengeraskan rahang. Naima terjebak di antara konflik anak dan ayah. Dendam Saka kepada ayahnya di balas melalui dirinya. Naima rasa maaf saja tak akan pernah cukup, Saka setidaknya juga harus diberi rasa kecewa dan sakit hati.

"Orang tua akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk anaknya. Ayahmu pastilah begitu, walau caranya membuatmu terluka."

Saka mendekapnya lagi kali ini tak begitu erat tapi cukup membuatnya mawas diri. Awalnya Naima merasa harus melupakan semua penderitaan tapi nampaknya laki-laki ini punya pemikiran lain. Maaf Naima. Aku tahu permintaan maafku tak akan pernah cukup. "Kesalahan yang telah aku buat tidak bisa diperbaiki." Naima rasa otak Saka cukup waras untuk mencerna semuanya. Ia membalas pelukan Saka lalu tersenyum penuh arti. Saatnya Saka membayar semua hingga bunganya. Semua akan terasa lebih mudah jika Saka memilih pergi, tapi laki-laki ini memilih tinggal. Naima bukan kucing yang akan melakukan gencatan senjata apabila dielus. Ia adalah serigala liar lapar yang akan menggigit ketika mendapati sepotong daging segar.

*************************

El datang ke kediaman Narendra dengan emosi memuncak dan langkah tergesa-gesa. Untunglah anaknya di rumah bersama mertuanya. Clara sudah menceritakan semuanya kemarin. Apa yang ada di pikiran sang kakak perempuan. Kembali berhubungan dengan Saka tanpa sepengetahuannya. Menggunakan Andra untuk menjerat saka agar menggelontorkan sejumlah dana. Ke mana otak kakaknya yang waras. Harusnya Naima menjauh saat berhubungan dengan si kunyuk Baratha.

"Kak?" panggilnya pada Naima yang kini tengah duduk santai di pinggir kolam renang. Ia membuka kaca mata hitamnya sebelum menatap El.

"Kenapa El?"

El duduk di kursi santai di sisi kiri sang kakak. Wajahnya ditekuk masam, ia duduk kaku sembari memajukan bibir. El kesal kakaknya masih bisa bersantai setelah pingsan kemarin. "Kenapa?" tanyanya sinis. kakak kemarin pingsan dan Saka ada di sana. Kakak gak akan balikan sama manusia laknat itu kan?

Naima menghembuskan nafas lalu tersenyum penuh arti. Itu bukan urusanmu El. Apa pun keputusan yang kakak ambil nanti akan sepenuhnya jadi tanggung jawabku.

"Kakak gak akan lupa, Saka pernah nyakitin kakak, bikin kakak jadi begok dan mencampakkan kakak layaknya sampah." Naima tak mau lupa peristiwa itu makanya ia bertahan bersisian berjalan dengan Saka Baratha. "Kakak gak akan maafin lelaki itu semudah ini!"

"Dewasalah El. Kamu juga sudah punya anak."

"Dewasa bukan berarti melupakan masa lalu dan menganggap semuanya seolah tak terjadi. Kakak gak akan masuk ke lubang yang sama. Cuma keledai yang kejengkang kakinya untuk kedua kalinya."

Naima jelas bukan keledai dan tak mau menjadi binatang bodoh itu. Ia punya pemikiran sendiri yang tak akan dimengerti orang lain termasuk El. "aku berdamai demi perusahaan El."

"Perusahaan gak akan bangkrut tanpa uang keluarga Baratha. Suamiku bisa bantu kakak. Jadi kakak gak usah merendahkan harga diri dan kembali kepada Saka." Saka saat ini mungkin mengharapkan Naima akan melupakan sekaligus memaafkan semuanya tapi apakah sama kejadiannya jika lelaki itu tak bercerai.

"Perusahaan itu urusanku El."

"Itu juga urusanku, aku punya saham di sana."

"Tapi papi mengamanatkanku untuk menjaganya."

El kesal bukan main ketika disinggung masalah papi. Naima berperan sebagai anak sulung, yang akan melindungi kedua saudaranya. El sempat cemburu akan hal itu dan kini sepertinya kedengkiannya timbul lagi. Papi selalu mengandalkan Naima dan tidak pernah menganggapnya penting.

"Terserah Kakak!!"

El beranjak pergi dengan muka masam tak enak dilihat. Ketika melewati pintu penghubung kolam renang dan ruang santai. Ia tak sengaja menyenggol Clara, Untung minuman yang Clara bawa tak sampai jatuh. Clara meringis ketika mengetahui jika hubungan kedua saudara itu meruncing karena kehadiran Saka. El pantas emosi karena apa yang Saka telah lakukan tak pantas mendapatkan maaf tapi Clara juga tidak yakin Naima memperbolehkan Saka mendekatinya tanpa suatu maksud. Naima boleh terlihat seperti kapas apabila tertiup angin akan melayang terbang tapi Naima juga bisa jadi benang kusut, mampu menggores tangan dan membuat jalinan rumit.

************************************************

Saka melihat laporan yang telah anak buahnya dapatkan. Naima terlibat masalah yang tak bisa dikatakan ringan. Beberapa investasi milik Hutomo Enterprise ditarik, para pemegang saham yang membelot menyerang satu orang perempuan dalam rapat terakhir. Cara kerja Naima dinilai lambat, kurang kompeten dan juga membuat harga jual saham perusahaan kian turun. Naima bisa dibilang cerdas dan bukan tipe gegabah mengambil langkah, Tetapi mungkin ini hanya berkutat masalah gender. Para senior Hutomo Enterprise gerah mungkin karena dipimpin oleh anak muda apalagi berjenis kelamin perempuan.

Maka Saka mengundang Naima makan siang untuk membahas ini, Naima tak boleh berdiri sendiri pura-pura kuat tanpa mempunyai perlindungan.

"Aku akan berinvestasi ke perusahaanmu."

Dahi Naima mengerut, setelah meletakkan garpunya yang menusuk salad. "Kamu mengundangku makan siang untuk membahas pekerjaan. Kita sudah menjalin kerja sama dengan baik, kamu tak perlu repot-repot harus berinvestasi."

"Aku akan menggantikan investormu yang menarik dana." Tangan Naima meremas satu sama lain, ia terlihat gelisah. Harga dirinya terlukai jika Saka menilainya lemah dan butuh dibantu.

"Nilainya tidak sedikit, jutaan dollar."

"Aku sanggup memberinya."

Naima tahu jika Baratha corp adalah perusahaan besar yang melebarkan jaringnya ke berbagai bidang tapi nampak ceroboh menginvestasikan uang tanpa melihat keuntungan yang didapat ke depannya. Naima bukannya pemimpin bodoh yang tidak bisa memberi timbal balik. Ia Cuma takut kebaikan Saka mengandung makna terselubung.

"Apa yang kamu minta sebagai imbalannya?"

"Apa?"

"Saka Baratha tak akan memberikan bantuan gratis."

Saka malah tersenyum penuh arti sembari menggerling jahil. Tangan pria itu bergerak cepat menggenggam tangan Naima. "Anggap saja ini sebagai penebusan atas rasa bersalahku."

"Mahal sekali ternyata bayarannya. Apa kamu yakin Cuma itu saja?"

"Mungkin beberapa kali kencan dengan mengajak Andra sebagai bonusnya."

Naima tersenyum, dengan mata memicing untuk menggoda. "Kamu sangat menginginkan sebuah keluarga ya? Kenapa tidak berdamai saja dengan Paula."

Wajah Saka langsung berubah keruh. Perasaannya tak karuan jika masalah Paula dibahas. Menikahi Paula adalah suatu kesalahan besar. "Jangan membahas Paula." Naima menyadari jika sesal itu cepat datang ketika masa lalu dibahas. "Kamu mendapat undangan reuni kampus dan juga undangan ulang tahun Ang corp." Pria ini mengalihkan pembicaraan ternyata.

"Ya aku sudah dapat."

"Kita bisa pergi ke sana bersama."

Naima mengerling jenaka, menunjukkan lesung pipitnya yang cantik. "Datang bersama sebagai apa?"

"Teman akrab atau teman kencan. Terserah kamu mau pilih yang mana."

Naima mengangguk setuju. Ternyata banyak untungnya melakukan gencatan senjata. Saka jadi lebih jinak walau Naima tak tahu apa mau pria ini sebenarnya. Naima sudah menutup hatinya untuk pria mana pun termasuk Saka. Yang terjadi di antara keduanya hanya berupa simbiolis mutualisme. Bukan bermaksud jahat memanfaatkan kebaikan Saka, pria itu yang berniat membantunya secara sukarela.

******************************

panjang kan tapi up-nya seminggu sekali. Aku lagi promosi cerita Anjani yang mau terbit bukunya. Yang pada minat entar dibaca di akun pertama-ku ya. Masih aku sisain 17 PART-AN. Kalau mau beli aku sudah tulis resellernya kemarin. Terus bagi yang mau ongkir gratis bisa pesen lewat shopee atau Tokopedia melalui toko blessleaf.

balik lagi ke cerita ini. kita genjatan senjata dulu sebelum dilempari bom nuklir hiroshima nagasaki. Ada pepatah mengatakan manis-manis dulu baru diabetes kemudian. Jadi jangan ada yang komen, mereka balikan. Tidak semudah itu marimar. Kadang otakku sengklek kek 'revenge' yang tiba-tiba nikahnya sama cowok lain. Kira-kira si Saka sama Rama (revenge) dosanya gedean mana? Yang belum baca Revenge main deh ke akun pertamaku.

Yang pernah ke noveltoon aku mau tanya, bagaimana caranya buat ilangin cerita di sana atau kalau akunku dihapus, ceritaku apa ikut ilang?

jangan lupa vote dan komentarnya, aku akan bikin jadwal up tiap novelku biar cepet kelar. pengennya aku fokus ke yang ini tapi karena ada naskah yang harusnya naik cetak, bisa gak bisa harus aku tahan buat ngetik 'mantan'. Kemungkinan Mantan akan up di hari Sabtu/ Minggu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top