Bagian Empat

Naima tersenyum ketika memandang layar ponsel. Umpannya telah Saka makan. Pria itu menghubunginya untuk mengadakan pertemuan ulang. Naima tak akan mempermudahnya. Ia menggunakan trik tarik ulur benang layangan agar mendapatkan hasil yang lebih besar. Semuanya dihalalkan dalam dunia bisnis. Siapa yang bisa bertahan maka akan jadi pemenang dan siapa yang terlalu lemah akan jadi pecundang. Itu yang ayahnya selalu nasihatkan padanya dulu.

Naima ingat ketika diputuskan sepihak. Ayahnya hanya membiarkannya menangis selama dua hari, setelah itu Naima harus bangkit dan menampakkan wajah tegarnya di hadapan semua orang. Maminya tidak banyak membantu, selain sedang sakit Harnum adalah sosok istri yang mendukung apa pun keputusan Narendra sedang El malah memperkeruh keadaan dengan sifat pembelotnya.

"Naima, kenapa kamu senyum-senyum sambil lihat layar ponsel?" tanya Clara yang tengah membawa majalah fashion keluaran terbaru.

"Ada yang aku mau aku omongin." Perempuan ini akan marah tidak ya, ketika Naima meminta ijin untuk memanfaatkan Andra.

"Kemarin aku bertemu Saka waktu bersama Andra. Saka mengira bahwa Andra anakku."

"Orang yang tidak tahu kalau ayahmu menikah lagi pasti bilang begitu." Clara meringis tak enak. Sebab Almarhum suaminya memang jarang membawanya ke pesta perusahaan atau memperkenalkan secara terbuka. Pernikahan mereka bukannya disembunyikan, hanya mungkin Narendra agaknya merasa malu. Menikah lagi di saat istrinya tengah sekarat.

"Sayangnya Saka salah paham dan mengira kalau Andra adalah anaknya. Karena aku belum menikah dengan siapa pun."

Respons Clara hanya di sambil memiringkan kepala karena heran. Kerutan di dahinya mulai terbentuk. Clara tahu jika Naima bisa saja tidak membiarkan kesalah pahaman itu terus berlanjut atau sebaliknya. "Dan aku memanfaatkan hal itu untuk menarik Saka agar mau bekerja sama dengan perusahaan kita."

Barulah mata hitam Clara terbelalak kaget. Naima mulai bermain api dan menabuh genderang persaingan. "Naima sebaiknya kamu menjelaskan yang sebenarnya."

"Perusahaan kita butuh sokongan Clara."

"Tapi tidak dengan menipu bahkan berbohong. Walau Saka pernah menyakitimu tapi tidak sepatutnya kamu membalasnya dengan melakukan hal yang sama."

Clara terlalu baik dan naif. Itu kenapa Narendra menyerahkan perusahaan ke Naima bukan ke istri atau anak kandungnya. Naima lemah dan El cepat terbawa emosi. "Aku melakukan ini demi perusahaan. Perusahaan yang akan Andra pimpin di kemudian hari. Aku tidak akan membiarkan warisan papi hancur ditelan kebangkrutan."

"Ada cara lain untuk menyelamatkan perusahaan kita!!"

"Cara apa? Meminta bantuan kepada partai. Aku tidak mau mencampur adukkan urusan perusahaan dengan politik. Papi mungkin bisa jadi anggota dewan yang handal tapi aku tidak berbakat mengikuti jejaknya." Naima menghampiri Clara yang tengah duduk lalu menggenggam tangannya. Memohon agar Ibu tirinya ini mengerti.

"Aku melakukan semua ini demi Andra."

"Tapi aku takut kalau Andra..."

"Aku yang akan menjamin keselamatan dan masa depan Andra. Aku tidak akan melibatkan Andra terlalu jauh. Aku janji."

Masalahnya bisa tidak Clara memegang janji Naima. Andra mungkin hanya akan dimanfaatkan tanpa disakiti tapi bagaimana dengan Naima nanti yang akan terjebak dalam permainannya sendiri. "Aku percaya padamu soal Andra tapi bagaimana kalau kamu yang malah jatuh hati kembali kepada Saka."

"Tidak!!" Naima memalingkan muka dan langsung berdiri angkuh. "Itu tidak akan pernah terjadi!!"

Clara memandang putri tirinya, entah kenapa tiba-tiba ia merasa kasihan pada Naima. Jangan sampai kejadian enam tahun lalu terulang lagi. Ketika itu Clara masih menjadi sahabat El. Dia melihat sendiri bagaimana Naima hampir mengakhiri hidupnya dengan meneguk cairan pembunuh serangga. Setahunya Naima adalah Kakak panutan, anak gadis pintar dan manis serta kebanggaan Narendra. Tapi ketika Saka mencampakkannya. Perempuan itu berubah jadi mayat hidup.

Sedang Naima berdiri dengan nafas naik turun. Ia tak akan membiarkan dirinya terjebak dan dikalahkan oleh sisi hatinya yang rapuh. Bohong kalau perasaan cinta itu hilang sepenuhnya. Cinta masih ada walau ditutupi kabut hitam kebencian. Setiap hatinya rapuh dan ingin merengkuh Saka kembali. Naima akan selalu ingat bagaimana sakitnya kehilangan. Sakitnya mengeluarkan cairan beracun dari perutnya. Sakitnya ditinggalkan. Ia rasa modal itu cukup untuk mengendalikan diri di hadapan Saka.

🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦🥦

Menunggu adalah hal yang paling dibenci sebagian orang, Saka salah satunya. Sudah dua minggu lebih Naima mengulur pertemuan mereka. Hari ini kesepakatan dibuat tapi lagi-lagi perempuan itu datang telat. Saka menunggu hampir satu jam lebih. Tapi tak satu pun orang dari Hutomo Enterprise ada yang hadir atau pun memberinya kabar. Saka melonggarkan dasi karena kegerahan. Kalau bukan penasaran dengan anak Naima, Saka tidak akan mau memberi kelonggaran.

"Pak, Bu Naima sudah datang dan menunggu di ruang meeting." Akhirnya mantan tunangannya datang. Saka kira perempuan itu akan ingkar janji. Saka bergegas keluar menuju ruangan di lantai lima untuk menemui Naima. Perempuan itu harus tahu siapa yang berkuasa.

"Selamat siang," sapa Naima riang. Tampaknya perempuan itu lebih siap setelah mendapatkan kelonggaran waktu. Senyum Naima menyiratkan sebuah kewaspadaan.

"Duduk semua." Perintah Saka lalu mengambil tempat di ujung meja. Menandakan ketika menempatkan diri di kursi paling depan, Saka-lah pemimpinnya di sini.

"Saya akan mempresentasikan..."

Tangan Saka terangkat ke udara. Mengisyaratkan jika apa yang akan Naima sampaikan sebaiknya tidak dilanjutkan.

"Kalau presentasi kerja sama kalian tetap sama dengan bulan lalu. Sebaiknya tidak udah dipaparkan lagi, saya menyetujuinya." Helaan nafas lega keluar dari mulut Naima. Saka tak mempersulitnya. Beberapa orang yang hadir di sana merasakan tanda tanya besar. Di pihak perusahaan Saka jelas kecewa karena direktur mereka mengambil keputusan gegabah. Sedang di pihak Hutomo Enterprise seperti kejatuhan emas dari langit. Jelas senang bukan main.

"Tapi saya minta waktu untuk berbicara dengan Naima hanya berdua saja."

Saka berdiri sambil mengulurkan tangan ke arah Naima yang disambut perempuan itu setengah hati. Kalau Saka meminta ketentuan yang aneh-aneh. Naima akan langsung mengambil pisau kecil yang ada di dalam tasnya. Walau lelaki itu terlihat kalah telak tapi bukan berarti Naima tidak waspada.

Keduanya memilih ruangan direktur sebagai tempat mendiskusikan kerja sama. Naima pernah ke sini dulu ketika mereka masih bertunangan. Tempat ini tidak berubah banyak. Cuma ada lukisan penari Bali di dinding yang di cat hijau lembut. Meja Saka tak diisi banyak barang, cuma ada papan nama dan jabatan, laptop, wadah bolpoin, vas bunga dan juga beberapa lembar kertas. Foto keluarga, anak dan istrinya tidak ada. Apa Saka menyingkirkan bingkainya. Berpisah dengan istri bukan berarti berpisah juga dengan anak 'kan.

Di belakang dinding, ada sebuah ruangan rahasia berisi ranjang, meja kecil dan televisi. Naima dulu sering menggunakan tempat itu. Untuk apa? Biarlah Saka dan dirinya saja yang tahu.

Naima duduk di sofa sebelum dipersilahkan. Menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Dia duduk dengan anggun sembari menegakkan kepala.

"Aku setuju dengan kerja sama ini tapi aku punya syarat yang harus kamu penuhi."

"Kalau syaratnya apa yang dibalik rokku. Sepertinya aku tak bisa memberikannya."

Saka menggeleng keras. Ia berusaha tegas menampik ketertarikan seksualnya pada mantan tunangannya. "Bukan itu. Aku mau bertemu anakmu."

"Anakku, Andra?" Naima menaikkan sudut bibirnya sedikit lebih tinggi. Nampaknya domba telah masuk ke perbatasan hutan dan akan diterkam oleh serigala. "Kenapa?"

"Dia kemungkinan anakku 'kan?"

Anak domba yang tersesat ternyata juga lupa membawa otaknya. Kasihan. "Jelas bukan. Siapa ayahnya kamu tidak perlu tahu!"

"Aku minta maaf karena meninggalkanmu." Permintaan maaf diterima tapi sakit hati belum terhapus. Wajah Saka terlihat gelisah. Bulir keringatnya jatuh ke dahi. Naima puas melihat mantannya tengah dilanda cemas.

Sebagai jawabnya permintaan maaf itu Naima mengibaskan telapak tangannya ke udara. "Itu cuma masa lalu." Masa lalu yang mengajarkan banyak hal. Sosok Naima yang mirip Cinderella si pembersih cerobong asap, yang selalu memimpikan diambil istri oleh pangeran kini berubah jadi penyihir yang menawarkan apel beracun untuk putri salju.

"Tapi masa lalu kita meninggalkan jejak." Maksudnya jejak itu adalah Andra.

"Sudah aku bilang, bahwa Andra bukanlah anakmu." Penyangkalan yang manis dan Saka tampak tidak menerimanya. Rasa berdosa pria itu mendominasi hingga membuatnya kehilangan akal sehat.

"Jangan bohong Naima. Kamu memang patut membenciku tapi aku cuma ingin bertemu Andra."

Naima pura-pura menggaruk hidung. Sudah dibilang bahwa Andra bukanlah anaknya Saka. Bukan salahnya kalau kesalah pahaman ini akan berlangsung beberapa episode. Saka terlihat memaksakan pendapat agar mereka punya suatu ikatan dalam bentuk anak. Mungkin lelaki ini menyimpan harapan agar ia kembali padanya. Baiklah Naima akan memberikan harapan indah itu sebelum menghancurkannya jadi pasir.

"Hanya bertemu? Tidak akan berbicara macam-macam pada putraku?" Naima jelas aktris serta perencana yang baik karena tahu langkah selanjutnya yang mangsanya ambil. Tentu Saka akan memastikan jika Andra memang putra kandungnya.

"Iya."

"Baik. Hari minggu Andra libur sekolah. Kamu bisa bertemu dengannya. Soal tempat akan aku kabari nanti tapi tolong kamu tanda tangani beberapa dokumen yang telah kita sepakati."

Saka mengangguk tanda setuju. Rasa penasarannya harus dibayarnya dengan mahal.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top