Bagian 9

Juan mengambil kemeja, celana, jas serta arlojinya di walk in closet. Harusnya semua kemewahan ini tak ia dapat, seharusnya sekarang ia pergi ke eropa melakukan penelitian atau ke mesir melakukan penggalian tapi Juan tak bisa egois. Ayahnya sekarat hanya hidup dengan bantuan selang oksigen dan beberapa alat kesehatan. Cuma menunggu waktu sampai Ang corp memanggilnya ketika ayahnya benar-benar meninggal. Banyak orang yang tidak setuju dirinya menjabat sebagai direktur tapi saham pamannya tak cukup banyak untuk menggulingkan kekuasaannya di saat rapat pemegang saham. Takdirnya memang aneh, mungkin ini cara Tuhan menunjukkan bahwa hidupnya cukup berharga.

Walau ketika masuk kantor, ia akhirnya Cuma bisa duduk di kursi empuk dan mengusap wajah karena terlalu fokus pada kertas-kertas. Juan memang seorang pembuat keputusan yang bagus tapi dia bukan negosiator yang handal. Ia butuh orang yang bisa dipercaya dan mengenalnya dengan baik. Ia khawatir beberapa saudara ayahnya meradang karena tak bisa mencapai puncak kekuasaan. Mereka akan cenderung menggunakan cara kotor untuk menyingkirkannya tapi tenang Juan bukan remaja ingusan yang akan mengecil jika digertak. Mereka akan sangat menyesal jika berurusdan dengan Juan di masa depan.

"Pak Saka Baratha sudah menunggu Anda Pak." Juan menepuk jidat karena lupa punya janji temu dengan Saka, teman sekaligus musuhnya di kampus dulu. Untunglah Ia sekarang sudah di dalam mobil menuju kantor. Kalau jalanan lenggang mungkin beberapa menit ia akan sampai.

"Saya akan segera datang, Kira-kira lima menit saya akan sampai. Berikan pelayanan terbaik pada Pak Saka." Sekretaris Juan di ujung telepon mengangguk. Juan lalu menutup panggilannya. Saka Bharata boleh jadi musuhnya dulu tapi sekarang sebaiknya mereka berdamai. Ada proyek besar yang menunggu mereka di Makasar.

"Apa kabar Saka? Sudah lama kamu menunggu." Sapaan basa-basi itu hanya ditanggapi Saka dengan anggukan kepala. Pemilik Baratha Corp itu menatap Juan tajam, senyuman Juan hanya dianggapnya angin lalu. Mereka saling membutuhkan, sebaiknya Saka kini agak melunakkan tatapannya. Juan memang berubah secara penampilan. Lelaki yang dulu memakai kaca mata silindris itu kini tinggi, tegap, berdada bidang serta berotot. Wajah culunnya musnah ditelan kemaskulinan yang dilengkapi jambang halus dan kumis tipis. Juan yang dulu suka memakai kemeja gaya lawas, kini mengenakan jas bewarna biru muda dipadukan dasi biru tua yang menempel pas dengan badannya yang atletis. Bisa dikatakan penampilan Juan sebelas dua belas dengannya yang tengah memakai Jas berwarna Coklat mocca.

"Tidak, mungkin aku Cuma menunggu lima belas menit." Juan mengancingkan jasnya sebelum duduk di depan Saka. Juan menemukan kepercayaan dirinya ketika berhadapan dengan pembullinya dulu.

"Aku terkejut karena kamu bisa begitu cepat menanggapi penawaran yang perusahaanku ajukan." Saka yang malah terkejut, penawaran yang begitu menggiurkan bisa ditawarkan oleh Juan. Setahunya Si Tua Ferdinant Ang tak sudi bekerjasama bahkan membagi saham mereka.

"Aku setuju karena pembagiannya cukup adil. Perusahaan pertambangan itu memang menggiurkan, Kita tidak bisa berdiri sendiri-sendiri jika musuh kita adalah pihak BUMN. Mereka punya dana yang jauh begitu besar." Juan setuju dengan itu. Sebaiknya persaingan mereka dihentikan. Untunglah ia punya penasehat yang tepat dan juga cantik. Seseorang yang bisa membaca pergerakan Saka dan apa mau pria itu. Juan adil dalam bisnis dan juga tak mengikut sertakan masalah pribadi. Apa yang terjadi pada dirinya sewaktu di bangku kampus Cuma sekedar kenakalan remaja. Toh Saka hanya menguncinya di kamar mandi, melemparinya bola bukan menghajar atau menggantungnya di genteng. Pernah Juan dihadang dan diancam, itu pun karena ketahuan mengajak Naima makan di kantin kampus. Yang Juan heran kenapa mereka tak jadi menikah, Saka terlihat begitu posesif terhadap Naima walau tidak ditunjukkannya secara terang-terangan.

"Aku setuju. Dua perusahaan bersatu itu kedengaran lebih baik."

"Tentu, aku heran kenapa tidak kita lakukan dari dulu dan aku juga takjub. Kalian menawarkan kerja sama yang amat adil, juga terdapat poin-poin yang mengikat tapi tidak memonopoli. Kamu yang membuat penawaran kerja sama itu dan mengusulkan beberapa poin pasal yang tidak merugikan kita berdua. Kamu membuat penawaran ini atau diam-diam kamu punya penasehat perusahaan."

Juan tertawa keras, karena tebakan Saka yang terasa lucu walau benar begitu adanya. "Memang aku punya dan Sekertarisku juga cukup handal bertukar pikiran denganku." Ia merenung sejenak memikirkan seseorang di luaran sana. Semoga Saka siapa dibalik kerja sama ini. "Semakin seseorang bertambah dewasa, maka semakin matang pemikirannya. Begitu pun juga aku. Aku memang jenius hanya perlu menyesuaikan bidang pekerjaan yang aku geluti."

"Jadi menajdi seorang dokter atau ilmuwan bukan impianmu lagi?"

"Tak semua yang kita inginkan jadi kenyataan tapi setidaknya aku berusaha mempertahankan impian orang lain." Juan mengambil segelas sampaigne yang telah sekertarisnya siapkan. "Bersulang."

"Ini terlalu pagi untuk meneguk Sampaigne."

Saka hanya diam, sembari menautkan kedua tangannya di antara kedua pahanya yang terbuka. Juan meneguk minumannya sendiri sembari menahan rasa getir bercampur manis. Tahu begini ia tak akan sok-sokan minum alkohol. Juan ibarat bunglon yang pandai menyusaikan diri dengan keadaan. Demi menjadi seperti sekarang, banyak yang mesti dikorbankan.

******************

Rumah sakit, sebenarnya merupakan tempat keramat untuk Naima. Ia berulang kali ke sini, saat maminya meregang nyawa, saat papinya sakit dan juga saat adiknya El melahirkan. Harusnya ia tak takut, harusnya ia sudah terbiasa. Tapi entah kenapa saat masuk ke lobi sembari menggandeng Andra, perasaannya jadi tak enak. Bau obat semakin menambah kegelisahannya apalagi kini Saka tengah duduk di sofa lobi sembari menatapnya lembut. Tak berapa lama lelaki itu menghampirinya dan Andra.

"Hai jagoan."

Bukannya Andra tersenyum dengan sapaan itu, ia malah mempererat pegangannya pada tangan Naima. Mata Andra membesar karena ngeri. Om ini memang baik tapi terakhir Saka berusaha menculiknya ketika pulang sekolah. Benar yang ibunya bilang jika harus hati-hati dengan orang asing. Saka sendiri malah menggaruk rambut, ia lupa membawa mainan sebagai sogokan.

"Sebenarnya kita ke sini buat apa bunda? Siapa yang sakit."

Naima yang meringis, mencari jawaban yang tepat untuk anak seusia Andra. "Teman bunda ada yang sakit, Kita masuk yuk jengukin." Andra mengangguk paham, sedang Saka melihat putranya dengan perasaan tak enak. Semoga saja Andra tak menangis ketika berhadapan dengan jarum suntik. Tapi Andra kan putranya pasti mewarisi sedikit keberaniannya.

Ketiganya berjalan bersama walau tak beriringan. Naima di depan bersama Andra sedang Saka dibelakang mereka layaknya penjaga. Saka ingin juga menggandeng tangannya agar ketiganya berjalan seperti keluarga bahagia namun pasti Naima menolaknya. Saka mengangkat telapak tangannya yang terasa hampa, lalu memasukkannya ke saku celana. Tapi ketika mereka melewati ruang UGD terdengar suara perempuan berteriak kesakitan. Tiba-tiba saja Naima menghentikan langkah ketika sebuah brankar didorong melintas di atas mereka. Di atas brankar ada seorang wanita hamil yang di tutupi selimut putih bergaris-garis. Di sekitar selimut ada darah yang berceceran lumayan banyak. Perempuan ityu menangis dan berteriak kesakitan. Rupanya perempuan itu merupakan korban kecelakaan dan tengah mengalami pendarahan hebat.

Saka yang melihatnya mengernyitkan hidung sekaligus meringis miris. Nasib korban kecelakaan itu begitu tragis, semoga perempuan itu tidak kehilangan bayinya.

"Bunda?" tanya Andra yang menyadari jika genggamannya bundanya terasa erat dan menyakitkan. "Bunda sakit!"pekiknya yang langsung membuat Saka sakar jika ada sesuatu dengan Naima. Saka buru-buru melepas tangan Andra dan langsung merasakan tangan Naima yang sedingin es.

"Naima kamu kenapa?"

Naima tak menjawab. Wajahnya pucat pasi, tatapan matanya hampa seolah buta. Kepalanya tiba-tiba dihantam nyeri. Perutnya bergejolak karena merasa mual dan ingi sekali muntah. Ingatan-ingatan kepedihannya dulu seolah menyumbat suplai oksigennya, menyebabkan otaknya tak bekerja denagn baik dan ia kesulitan bernafas. Ia merasakan kesedihan yang amat dalam karena teringat pernah kehilangan sesuatu. Tubuhnya jadi lemas dan tiba-tiba ingin menangis histeris. Hatinya bergejolak merasakan kepedihan serta kesakitan secara bersamaan.

"Naima, kamu kenapa?" Saka mengguncang bahunya keras karena panggilan keduanya tak mendapatkan respon. Ia berusaha mengembalikan kewarasan Naima tapi seolah telinga perempuan itu tuli. Naima menangis, berusaha memegangi kepalanya sembari menggumamkan sesuatu.

"Aku tidak bermaksud membunuhnya." ucapnya parau disertai air mata.

"Kamu tidak mencelakai siapa pun apalagi membunuh." Saka berusaha sekeras mungkin agar otak Naima kembali berpijak di bumi tapi perempuan itu meronta berusaha kabur.

"Bunda kenapa?" Suara andra terdengar kecil di antara dua orang dewasa. Ia jelas takut melihat kakaknya bersikap seperti orang gila.

"Aku bukan pembunuh...aku bukan pembunuh..."

"Tidak ada yang kamu bunuh Naima. Sadarlah!" Untungnya sikap Naima menarik perhatian beberapa perawat. Tapi sebelum Naima sempat ditangani, perempuan itu malah pingsan dalam dekapan Saka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top