Bagian 29
Ia berdiri sembari meratapi nasib. Harusnya misi ini berhasil dengan tidak adanya korban. Yang terjadi malah dua orang itu tertembak dan sedang di tangani dokter. Rasanya hampir sama seperti beberapa tahun lalu ketika melihat orang yang penting untuknya menghembuskan nafas di ranjang rumah sakit. Saat ini Emran butuh kehadiran sang istri untuk menenangkannya. Walau anak buahnya banyak yang terluka namun tak separah Saka mau pun Naima. Harusnya Saka tidak lembek dalam menghadapi penjahat, ke mana pistol pria itu hingga membiarkan tubuhnya terkoyak timah panas.
"Bagaimana keadaan mereka?:"
Emran dengan tak sabaran memeluk Gendhis. Istrinya itu tahu walau Emran kuat namun butuh juga dikuatkan. "Apa mereka sudah di tangani dokter."
Keputusan Gendhis salah jika membawa Juan kemari. "Semuanya karena dirimu. Dua orang itu yang jadi korbannya." Emran murka sampai menyeret kerah Juan dan memojokkan lelaki itu ke tembok. Juan siap jika dipukul, sebab semua sumbernya memang dia.
"Bang, tenang. Ini rumah sakit!" Emran melepas adiknya karena sadar tempat.
"Aku tahu, aku bersalah. Aku sangat menyayangi Naima, aku tidak ingin membuatnya celaka."
"Tapi ini sudah terjadi!" Emran memilih menenangkan diri di kursi tunggu. Membiarkan Juan di gerogoti rasa bersalah. Kemenangannya terasa hambar setelah tahu jika Naima terluka. Juan seperti pria tolol yang membiarkannya terjadi tanpa melakukan pengorbanan. Apa ia hanya memikirkan dirinya sendiri sedang Naima dengan Saka berjuang antara hidup dan mati.
"Di sini ada keluarga dari pasien Naima?" Celakanya salah satu dari mereka tidak ada yang menghubungi keluarga Naima maupun Saka.
"Saya...Kakaknya," jawab Emran walau ragu.
"Pasien Naima kehilangan banyak darah. Karena kebetulan setok kantong darah A+ kita habis. Apa Anda bisa mencarikan atau ada yang berniat mendonorkan?"
"Golongan darah kami sama." Emran mengajukan diri. "Saya yang akan jadi pendonornya."
"Kalau begitu, Anda bisa ikut saya."
Emran mengikuti perawat berpakaian hijau muda itu hingga hilang di balik tikungan tembok. Gendhis menghembuskan nafas lega, untungnya di saat genting seperti ini kekeras kepalaan Emran sudah dibuang ke tong sampah.
"Banyak yang Emran dan Saka lakukan, membuatku terasa tidak berguna."
"Bagus kalau kamu sadar." Gendhis bukan tipe penghibur yang baik. "Hubungi keluarga mereka jika ingin di anggap berguna."
Juan tidak tahu kenapa selalu menuruti perintah Gendhis, kalau menilik secara usia. Wanita yang mengaku sebagai istri Emran ini lebih muda darinya. Namun tatapan galak, kalimat jutek yang Gendhis lontarkan membuat nyali Juan menciut. Apalagi kekuatan tangan perempuan itu rasanya pasti tidak main-main.
**********************
Enam jam adalah waktu yang sangat lama apabila di selimuti kepanikan, rasa cemas dan juga suasana sedih. Emran duduk di dekat istrinya yang selalu menggenggam tangannya. Clara yang mewakili keluarga Naima duduk bersama Yelsi, ibu Saka yang sedari tadi menangis dan butuh di tenangkan. Sedang Juan memilih duduk agak jauh dari mereka, sesekali berdiri sembari mengusap dagu. Naima serta Saka di operasi secara bersamaan.
Seorang dokter dan asistennya keluar sembari mengelap dahi. Emran buru-buru menghampiri. "Bagaimana keadaan kedua pasien? Apa operasinya berhasil?"
"Operasinya berhasil, saudara Naima akan sadar beberapa jam lagi tapi..." ucapan sang dokter terjeda. "Saudara Saka masih dalam keadaan kritis. Peluru itu menyerempet Jantungnya. Kita doakan saja semoga saudara Saka bisa melalui masa kritisnya dan sadar kembali."
Tangis kencang Yelsi pecah. Badannya lemas ketika mendengar keterangan dokter dan pingsan dalam dekapan Clara. Juan segera mengambil Yelsi dan meminta suster menyediakan ruang rawat inap. Gendhis mengelus lengan suaminya lembut setelah dokter itu pergi. Emran menyimpan emosi serta kesedihan yang amat dalam, walau di mulut menampik jika Naima adalah saudaranya namun di hati mungkin tidak. Apalagi pria ini menyaksikan secara langsung kalau keduanya tertembak.
******************************
Naima tersadar dengan badan pegal, bahu berat serta sakit bahkan matanya terlalu lemah untuk di ajak kerja sama. Kepalanya sedikit pening dan merasakan jika ruangan yang di tempatinya bergerak sendiri. Naima sadar namun tidak sepenuhnya bisa menggerakkan anggota badan.
"Ah.." lenguhannya membangunkan Clara yang sedang berbaring di sofa.
"Kamu sudah sadar?"
"Di mana aku?"
"Di rumah sakit."
Naima samar-samar ingat ketika penculikan terjadi dan Saka datang menyelamatkannya. Lalu bunyi letusan berbunyi, Naima merasakan bahu kanannya tersengat kemudian ia pingsan.
"Di mana Saka?"
Harusnya dari raut wajah Clara yang mengandung mendung dengan di sertai hembusan nafas lelah, Naima bisa menebak jika terjadi sesuatu dengan Saka. "Kamu tidak mengingatnya? Saka tertembak juga. Dia sedang di rawat intensif sebab peluru itu menyerempet jantungnya."
Naima ingin menutup mulut namun tangannya sulit di gerakkan. "Dia masih hidup kan?"
"Masih walau kritis."
"Aku ingin menemuinya."
Naima berusaha beranjak namun tubuhnya terasa nyeri sekali dan tangan kanannya tak mau mengangkat. Ia sampai meringis dan hampir menangis. Sebuah peluru menyasar bahu atasnya hingga butuh pulih dalam waktu yang cukup lama.
"Istirahatlah. Biar aku panggilkan dokter."
Naima menurut sebab jika dipaksakan mungkin jahitannya akan sobek namun hatinya begitu gelisah serta berdebar kencang. Saka akan selamat kan? Saka tidak akan mati kan? Lelaki itu tidak akan membiarkan Naima menghabiskan sisa hidupnya dengan di lingkupi rasa bersalah kan?
*************************
Clara melarangnya untuk bergerak terlalu banyak. Clara menyuruhnya istirahat dan tidak membiarkannya mencari tahu keadaan Saka. Sebab ibu tirinya itu percaya bahwa kesembuhan Naima di pengaruhi oleh keadaan mentalnya juga. Ketika perempuan itu pamit untuk pulang, Juan datang menjenguk sembari membawa buah tangan. Walau Naima tahu jika karena keterlibatan keluarga Juan, ia celaka namun rasanya tak tega jika harus melampiaskan kesalahan ke Juan seorang.
"Maafkan aku Naima, karena tidak bisa menjagamu."
Tak di ucapkan pun Naima tahu Juan sangat menyesal. Lelaki itu awalnya tak berani menatapnya, tak mampu mengangkat bibir. Bahkan Naima yakin Juan tak akan malu jika menangis.
"Juan semua sudah terjadi. Jangan salahkan dirimu. Pamanmu adalah orang jahat."
Pada dasarnya Juan adalah lelaki baik hati, kelemahannya ada di hatinya yang terlalu lembut. "Kalau saja aku tegas dan juga berani secara terang-terangan menantang mereka, pasti mereka tidak akan mencelakaimu. Seharusnya aku bisa lebih kuat."
Naima tersenyum maklum walau hatinya masih berat untuk merasa lega. Berpikir dengan seksama dan dalam. Ia menimbang untuk memanfaatkan rasa bersalah Juan tapi ini tidak keterlaluan kan? Bagaimana kalau keinginannya membuat Juan merasa sakit hati? Untuk sekarang pentingkah perasaan Juan di banding kabar dari Saka.
"Kalau kamu merasa bersalah. Bisa kah aku meminta sesuatu padamu untuk penebusannya?"
Kepala Juan yang menunduk itu mendongak sembari melemparkan tatapan lega. "Apa yang kamu minta Naima?"
"Aku ingin bertemu dengan Saka."
Senyuman Juan perlahan beringsut turun. Naima tahu jika permintaannya kelewatan. "tapi keadaanmu belum pulih benar. Saka masih di rawat intensif."
"Kamu bisa membawakan kursi roda untukku. Tolonglah aku ingin menemui Saka. Sebentar saja..."
Juan di lema, hatinya terasa perih melihat Naima memohon untuk Saka namun di sisi lain hatinya menjerit minta ia bersikap selayaknya lelaki jantan. Orang bodoh pun tahu jika calon istrinya ini menyimpan cinta yang besar untuk Saka begitu pun sebaliknya. Juan adalah batu penghalang lemah yang di minta sadar diri.
"Baiklah, akan aku ambilkan kursi roda untukmu." Juan berdiri walau dengan hati hancur, sedang Naima mengangguk senang tanpa berpikir akibat dari apa yang telah dimintanya.
*****************************
Ritme jantung Saka memang berdetak walau pelan. Tubuhnya masih terlihat gagah walau tergeletak lemah di ranjang dengan alat penopang hidup di segala sisinya. Naima Cuma bisa membekap mulut dengan tangannya yang terbalut infus. Ia menangis lirih karena tak ingin mengganggu ketenangan Saka. Karena dirinya Saka sekarang sekarat, karena menyelamatkannya, nyawa Saka di gantung di antara hidup dan mati.
"Ka...kamu tidurnya sudah kelamaan," ucapnya diiringi isakkan kecil.
"Mamah kamu nangis terus Ka, Aku juga." Naima mendekat tepat ke telinga Saka. "kami pingin kamu bangun." Tetap tak ada pergerakan. Saka tenang dalam tidurnya sekaligus mengkhawatirkan. "Kami pingin kamu hidup karena kami percaya kamu kuat. Mana Saka yang tak tahu malu, mana Saka yang suka menggerling nakal ketika merayuku, Mana Saka yang selalu mengatakan mencintaiku dan menginginkan kesempatan kedua?" Naima berhenti berkaca karena nafasnya berbaur dengan ingus. "Kamu tidak mau bangun untuk mendengar jawabanku yang jujur?"
Tak ada yang berbeda, nampaknya Saka lebih suka jika meninggalkan kesadarannya lalu menikmati mimpi indahnya dalam tidur panjang. "Selama ini aku berbohong. Aku tidak benar-benar membencimu...Aku memasang wajah dingin dan melontarkan kata-kata pedas sebab takut jatuh cinta padamu kembali. Aku menikmati ciumanmu walau terasa memalukan. Aku menikmati hal-hal konyol yang kamu lakukan dengan dalih kata berjuang. Aku merindukan Saka yang sering tergelak tawa ketika mendengar dengusan remehku. Kamu lebih menyenangkan dari pada yang dulu, kamu berubah jadi pria sombong tanpa cinta menjadi pria humoris yang mengejarku. Mungkin karena itu aku mulai memaafkanmu." Naima menghapus air matanya pelan sebelum melanjutkan ucapannya kembali. "Ya aku memaafkanmu Saka. Kehilangan Bayi kita rasanya tidak lebih menyakitkan dari pada kehilangan dirimu. Rasanya di campakkan tidak lebih perih dari pada melihatmu di ambang hidup dan mati. Kembalilah Saka....Kembali untuk semua orang yang kamu sayangi. Bangunlah Saka...."
Naima di dera putus asa karena ucapannya tak bisa membangunkan Saka sampai pada akhirnya layar detak jantung bergerak naik-turun menunjukkan kemajuan namun yang membuatnya khawatir. Detak jantung Saka malah bergerak datar, membuat Naima dengan susah payah meraba bel darurat untuk memanggil dokter.
*******************
Jangan lupa vote dan komentarnya
Maaf update lama karena ngurus yang lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top