Bagian 21

Mereka akan kembali ke Jakarta sore nanti. Juan mengajak Naima untuk jalan-jalan, sekedar belanja atau menyusuri pantai losari. Apakah Kaki Naima tak apa jika dipakai berjalan agak lama? Namun senyum Juan mengembang lebar tatkala melihat Naima sedang menunggunya di lobi hotel. Perempuan itu memakai gaun kuning bermotif bunga mawar kecil. Di kepala Naima bertengger topi putih dengan pinggiran lebar.

"Ternyata ada yang sudah siap jalan-jalan."

"Aku juga sengaja tidak sarapan agar bisa makan bersamamu di luar." Juan menyeringai, ia mempersilahkan Naima untuk mengapit lengannya. Keduanya nampak serasi, karena Juan sendiri memakai kemeja lengan pendek yang bewarna biru laut di padukan dengan celana cino coklat muda.

"Apa kakimu sudah sembuh?" tanyanya sembari menatap kaki Naima yang dibalut sandal gunung busa.

"Belum sepenuhnya. Kita bisa pelan kan jalannya?"

Juan mengangguk. Mungkin ini langkah awal agar hubungan mereka jadi lebih hangat. Juan bisa mengusahakan cinta itu ada karena dasar hubungan mereka adalah persahabatan. Tentang Saka, ada baiknya Juan acuhkan keberadaan laki-laki itu. Kisah Naima dan Saka telah usai dan hubungannya dengan Naima baru dimulai.

Naima berusaha mengenyahkan Saka dari benaknya dengan memanfaatkan perhatian Juan. Terasa kejam memang namun ini lah cara supaya ia bisa mengendalikan rasa cinta yang disimpannya untuk Saka. Kehadiran pria itu di antara dirinya dengan Juan sukses menjadi pengganjal. Naima Cuma mau bahagia. Ia sudah jera merasakan cinta, karena itu selalu erat hubungannya dengan sakit hati. Dengan Juan, ia nyaman dan hal itu yang baginya cukup. Hasrat, gairah dan cinta di usia Naima yang sekarang tidaklah penting dan bukan yang utama untuk membangun biduk rumah tangga.

"Bapak ngelihat apa?" sapa Donna yang melihat bosnya terpaku di lobi. Bukannya tujuan awal mereka ke restoran untuk sarapan. Donna memiringkan kepala. Pandangan Saka fokus pada satu titik yang terdiri dari dua orang. Bahu bosnya melorot beberapa derajat, kepalanya mendongak namun pandangannya meredup.

"Saya kira mereka bertengkar kemarin. Ikhlasin saja Pak. Bu Naima pernah jadi bagian hidup bapak tapi sepertinya dia sudah menjatuhkan pilihan pada laki-laki lain."

Saka seperti tuli tapi dia bisa mendengar apa yang sekertarisnya sarankan. Ia memasukkan tangan ke saku celana lalu berjalan pergi. Donna sendiri Cuma bisa mengikutinya. Awalnya setelah tahu Saka duda, Donna dengan semangat mendekatinya namun ketika Donna menyaksikan sendiri bagaimana bosnya tergila-gila pada mantan kekasihnya, ia menjadi malu dan menyerah. Mungkin mudah menggantikan posisi istri namun sulit menggeser nama yang terpatri di hati.

Naima tak berhenti tertawa saat Juan dengan iseng memakai topi perempuan yang dihiasi kerang. Mereka menjelajahi pasar tradisional setelah sarapan pagi di kedai kopi. Naima menyentuh rumbai-rumbai penghias jendela dan juga dream catcher seukuran telapak tangan. Menimbang yang mana yang lebih perlu dibeli.

"Kamu mau membelinya?"

"Rumbai-rumbai ini cantik tapi akan rusak kalau anak El datang. Aku akan membeli dream catcher saja."

"Apa kamu sering mimpi buruk?"

"Tidak juga." Sering ketika bertemu dengan Saka, Naima kerap memimpikan anaknya yang sudah meninggal.

"Sepertinya pernikahan kita perlu dipercepat." Juna meraih tangan Naima lalu mengecupnya pelan. "Kita bisa menikah setelah urusan di sini selesai dan rapat pemegang saham di adakan."

"Apakah kamu yakin kali ini akan menang?"

"Setelah proyek Makasar ini berhasil maka petinggi perusahaan akan memberikan suaranya untukku. Jadi maukah kamu menikah denganku?"

Naima mengangguk yakin tanpa sadar matanya berkaca-kaca karena haru. Tidak pernah ada pria melamarnya secara langsung. Saka dan Dia dulu menikah karena kesepakatan keluarga dan lamaran Saka beberapa bulan lalu landasannya adalah rasa bersalah. Ucapan Juan begitu tulus mampu menyentuh hati.

Suara tepuk tangan menggema dengan keras ketika keduanya hampir berpelukan. Bukan tepuk tangan riuh tapi tepuk tangan tunggal seolah ada pihak yang terhibur atas adegan mereka.

"Bagus sekali. Lamaran yang indah."

Tak jauh dari mereka, ada Emran yang berdiri sambil tersenyum puas. Rupanya pria itu mengikuti Juan hingga kemari. Juan yang tahu kalau Emran datang setelah mengirimkan ancaman, mendadak emosinya meninggi karena berdekatan dengan Emran pasti ada bahaya yang menyanding Naima.

Juan maju, sudah cukup ia dipermainkan dan diteror. Emran harus diberi pelajaran. Juan kira hubungan mereka bisa sedikit akur tapi salah besar. Emran buah dari kesalahan, pria itu juga mengambil jalan yang bersimpangan. Mereka ditakdirkan menjadi musuh bukan saudara.

"Mau apa kamu kemari?" Juan mencengkeram kerah Emran dan mendorong pria itu hingga mundur beberapa langkah. Mendapat serangan tiba-tiba, pria itu malah menyeringai congkak.

"Sabar adikku sayang."

"Kita bukan saudara! Apa belum puas kamu meneror Naima dan hampir mencelakakannya?"

Emran memiringkan kepalanya sedikit. "Tunanganmu baik-baik saja. Aku tidak melukainya, maksudku belum. Kemarin hanya tembakan kecil karena ku kira kamu naik mobil itu. Benar kan adik ipar, kamu Cuma mengalami luka kecil. Itu pun karena kayu bukan peluru," ungkap Emran keras-keras agar Naima mendengarnya. Naima Cuma bisa menutup mulut. Teror beruntunnya ternyata Emran dalangnya.

"Bajingan Kamu Emran! Lukailah aku tapi jangan pernah libatkan Naima!"

"Dia akan terlibat karena menjadi pasanganmu. Oh ku ucapkan selamat, Kamu menerima lamarannya kan? Apa adikku ini sudah bisa menyingkirkan Pemilik Baratha Corp di hatimu?" Naima menahan nafas sembari menatap Emran tajam. Walau pria itu jahat, Naima sama sekali tidak takut. "Nampaknya belum!"

Bugh

Tinjuan Juan mendarat, membuat Emran terhuyung ke belakang. "Pukulannmu hanya segini?"

"Ku pikir kamu mau berdamai denganmu ternyata anak haram tetaplah haram hingga tak pantas jika diajak berjabat tangan."

Emran terkekeh lucu. "Kita tak ada bedanya. Kita dari benih yang sama, bedanya hanya ada nama papah di aktemu sedang di akteku tidak." Ia meludah. "Kita benih seorang bajingan dan kamu kira aku bodoh, ajakan damaimu hanya kamuflase. Kamu menginginkan dukunganku. Oh bgaimana rasanya tak punya sekutu dan melawan saudara ayahmu demi mendapatkan kursi pemimpin?"

Pukulan kedua Juan hendak mendarat namun Emran berhasil menepisnya dan mendorong adiknya hingga terjerembab ke jalan. "Jangan memaksakan diri."

"Maka berhenti mengganggu hidup kami."

"Aku sudah berhenti sebenarnya kalau kamu tidak merebut wilayah pertambangan itu."

Juan tersenyum puas, setidaknya ia menang satu dari Emran walau harus menggabungkan kekuatan dengan Saka. "Aku mendapatkannya secara adil. Aku berbeda denganmu yang sering menggunakan cara kotor."

Emran merentangkan tangan sembari tertawa puas. "Duniaku memang begitu, aku tidak sepertimu yang mendapatkan segalanya dengan cuma-cuma. Tapi ada yang membuatku iri darimu." Ia menggeleng pelan. "Bukan statusmu sebagai anak sah. Kamu memiliki tunangan yang cerdas dan cantik. Aku iri dengan hal itu. Bagaimana kalau ku menangkan kau dalam rapat pemegang saham dan aku memiliki tunanganmu."

"Bajingan!" Juan maju secepat kilat memeberikan dorongan dan juga mendaratkan beberapa tinju di wajah dan juga perut. Baginya kata-kata Emran merupakan sebuah penghinaan. Harga Naima tidak semurah itu. Sayangnya Emran seorang petarung handal, ia menerima pukulan yang tidak seberapa itu dengan senang hati.

"Hentikan Juan!!" Naima berusaha melerai dengan menarik tangan tunangannya namun Juan kalap karena melihat Emran menyeringai. "Juan berhenti!!" Lengkingan Naima kali ini berhasil.

Keadaan sudah terkendali namun tidak untuk Emran. Dia belum memperoleh tujuannya. Bibirnya memang berdarah namun tidak terluka parah. "Ototmu besar tapi kekuatannya tidak ada. Hingga butuh wanita untuk membelamu."

Nafas Juan memburu karena dihina seperti itu. "Kita selesaikan masalah ini dengan cara laki-laki. Jangan libatkan Naima."

Ternyata tidak sulit memancing adik tirinya. Riwayat Juan akan tamat kali ini. "Baiklah. Kalau itu keinginanmu."

************

Naima tidak menyangka jika Emran menantang Juan adu tinju di ring. Mereka telah tiba di sasana kebugaran dan lebih sialnya Saka ikut menonton. Walau tak tahu niat Emran apa namun Naima dapat merasakan kalau kakak Juan itu punya niat yang buruk. Naima banyak berdoa supaya Juan baik-baik saja.

"Sebaiknya pertarungan ini dibatalkan. Juan bisa celaka." Naima menengok ke kiri. Ia tidak percaya pernyataan itu keluar dari mulut Saka.

"Juan menantangnya." Dahi Saka mengerut. Si dungu itu selalu menantang duluan dan mencari masalah. "kalau dibatalkan harga dirinya akan terluka."

"Kamu tidak tahu siapa Emran. Dia petarung gaya bebas dan sering menang di arena tertutup. Di sana orang bertarung sampai mati. Kamu tahu kan apa artinya itu?"

Naima membuka mulut saking kagetnya. Juan bodoh kalau sampai setor nyawa dengan Cuma-Cuma. Namun jika mencegah sekarang terlambat. Juan dan Emran telah siap dengan sarung tinjunya. "Lalu kita harus bagaimana?"

"Aku bisa menggantinya tapi tentunya Juan akan sangat malu dan Emran pastinya tidak mau karena sedari awal pria itu mengincar nyawa Juan. Kita Cuma jadi penonton dan berdoalah agar Emran berbaik hati, puas sampai bisa mematahkan tulang Juan. Aku juga tidak mau mengurusi pertambangan sendirian."

Naima meninju tepat di ulu hati sembari berkata, "Juan tidak akan mati!"

Pertandingan di mulai. Ada Emran disudut kiri memakai sarung tinju biru dan ada Juan di sudut kanan memakai sarung tinju merah. Naima berniat menutup mata ketika pertandingan berlangsung namun ternyata Juan tak selemah yang ia bayangkan. Tunangannya berhasil mendaratkan pukulan dan juga tendangan ke tubuh Emran.

Saka sendiri merasa cemas melihat Emran lebih banyak menghindar seperti menghemat tenaga. Pria itu belum menunjukkan pertarungan yang sesungguhnya. Saka pernah ikut pertarungan gaya bebas ketika masih kuliah dan dia pernah melihat Emran bertarung. Emran tak kenal belas kasihan dan bengis. Saka yakin kekayaan dan kedudukan tidak mengubah naluri pembunuh pria itu.

Ronde pertama terlewati, Juan unggul. Naima pun maju ke pinggiran ring untuk memeberi semangat. Dulu mungkin Saka hanya akan memberi putaran bola mata karena jengah namun kali ini ia merasakan lain. Bukan perasaan cemburu namun perasaan sakit hati karena dikhianati. Senyum dan cara memandang Naima pada Juan begitu berbeda dengan cara perempuan itu memperlakukannya. Saka terlalu sombong, menganggap jika cinta Naima masih ada tapi kenyataannya perasaan orang bisa berubah kan?

Ronde kedua di mulai, pertandingan di ronde kedua tak jauh dari yang pertama. Juan masih mendominasi dengan pukulan tajamnya sementara Emran tetap bersabar jadi sasaran. Harusnya Saka segera pergi ketika Naima menonton pertarungan tunangannya dnegan binar cerah. Ada rasa bangga, keyakinan dan juga cinta di mata Naima. Namun di menit terakhir perempuan itu memekik kaget ketika Emran berhasil memukul Juan hingga tumbang. Saka tahu pertarungan sebenarnya baru dimulai. Sayang bersamaan dengan bunyi bel yang menandakan ronnde dua telah usai.

Juan berdiri sembari menggeleng dengan cepat. Pukulan Emran tadi sangat keras hingga membuat pandangannya buram. "Kamu tidak apa-apa?"

Juan menggeleng lalu memperlihatkan senyumnya ketika tahu Naima mengkhawatirkannya. Ia mengusap pipi Naima pelan sebelum mengambil air minum. Bunyi tanda bel ronde ketiga telah dimulai. Naima menarik diri, berada di dekat Saka lagi. Ia kuatkan melihat pertandingan ini namun Naima menutup mulutnya dengan tangan ketika Emran memukul Juan hingga tunangannya terpental ke pinngir ring yang dilapisi karet.

"Kali ini Emran sungguh-sungguh." Baru saja Saka selesai bicara Emran sudah menunjukkan tendangan berputarnya tepat ke rahang Juan. Rupanya Emran mengubah peraturan menjadi gaya bebas. Naima hendak maju namun lengannya Saka cekal.

"Emran curang. Aku harus menghentikannya."

Saka menggeleng. "Permainan gaya anak-anak sudah berakhir."

Kali ini Juan pun menunjukkan kemapuan kakinya yang menendang tepat ke perut Emran. Mereka bermain imbang sekarang. Namun Naima tidak tega melihat adegan selanjutnya. Emran mengunci Leher Juan dengan lengannya. Juan pasti bisa keluar dari pitingan itu. Sodokan Juan berhasil, ia terlepas namun itu pun tak berlangsung lama. Emran gemar menyerang tubuh bagian atas Juan dan dia mengulangi beberapa kali. Wajah tunangan Naima di penuhi lebam.

Untungnya pertandingan ketiga telah usai. Naima buru-buru menghampiri, sampai tak mengesampingkan nyeri di kakinya tapi kali ini Juan tak tersenyum bahkan menengok ke arahnya pun tidak padahal Naima beberapa kali memanggil namanya.

"Juan marah,"gumamnya lirih. Naima merasakan seseorang meremas bahunya lembut.

"Kita menonton saja. Jangan ganggu Juan dulu." Padahal Saka tahu jika harga diri Juan hampir jatuh. Lelaki itu tahu jika tak mungkin memenangkan pertandingan ini. Kemampuan Emran jauh di atasnya. Rupanya kabar kakaknya itu pernah bertarung untuk bertahan hidup, bukannya isapan jempol belaka.

Ronde Empat bisa dikatakan berjalan tak seimbang. Emran berhasil membuat Juan babak belur, manufer, tendangan bahkan tinjuan Emran keras dan tepat sasaran. Naima yang melihatnya Cuma bisa memekik dan juga menutup mulut, Saka berbaik hati mau meminjamkan tubuhnya untuk menutupi matanya namun langsung Naima tolak. Ia masih kuat menonton walau sembari berderai air mata. Tapi pertahanannya runtuh ketika menyaksikan Juan ditumbangkan ke lantai ring dengan posisi Emran mengunci lengan, leher dan juga paha.

"Kita harus menghentikan pertandingan ini sekarang, sebelum Emran mematahkan leher Juan!!" pintanya di sertai derai air mata.

"Pertandingan ini bisa berhenti kalau Juan menyerah tapi dia tak akan melakukan itu."

"Aku akan ke sana menyuruh Juan untuk menyerah." Saka tak suka jika Naima ikut campur. Emran orang yang berbahaya. Saka baru tahu jika selama ini Emran dalang teror terhadap Naima tapi perempuan ini sendiri juga sulit dinasehati. Berdekatan dengan Juan sama saja mendekati lubang buaya.

"Tetaplah di sini."

"Juan bisa mati!"

"Dari awal sudah ku bilang ini resikonya. Emran punya dendam pribadi pada Ferdinant ang dan keluarganya."

"Aku harus ke sana!"

"Tidak!!" Saka sekuat tenaga memegang Naima, sedang Juan begitu keras kepala sudah dikalahkan dengan telak serta tubuhnya terkunci namun tetap saja tak mau mengangkat tangan.

"Aku membencimu!"

"Bencilah aku sepuasmu! Tak apa asal kau tidak ke sana." Saka memejamkan Mata ketika melihat Emran memegang erat keher Juan. Pria itu seorang petarung tidak sulit memutar leher lawan hingga putus. sayangnya Juan tak mengangkat tangan atau memukul lantai sebagai tanda menyerah. Rupanya harga diri adalah yang utama untuk Juan. Bagaimana Naima bisa menyerahkan hidupnya nanti untuk pria seegois itu.

*******

Juan bakal Emran lepas atau nggak?

Kisah Emran sudah ada di KBM dengan judul pengantin kelabu, itu pun baru satu part. Cari saja namanya Rhea sadewa. Gak bisa upload gambar kan di wattpad lepi. Pasangan Emran namanya Gendhis. Jompling kagak ya? Namanya jawa vs arab.

Baca terus follow ya, cerita yang kagak ada yang baca juga bakal aku transfer ke sana. Kenapa sih pada ke sana penulis wattpad? Di sana bayarannya lebih gede, yang baca terus promoin juga dapat duit loh.

royalti buat penulis lebih banyak daripada noveltoon atau dreame. Aku main ke noveltoon juga webnovel cuma buat promo doang. makanya penjualan ebookku lumayan. Kalau dreame gak ambil karena kontaknya lama dan royaltinya dikit. kontrak sepuluh tahun enak di awal doang.

Kenapa ceritanya ada di KBM, ada di Google juga tapi jelas ya yang di KBM gak akan ada di Google play store begitu juga sebaliknya. Sudah aku jelaskan bahwa cerita banyak peminat dan banyak komen akan ke Google dan yang baca dikit ke KBM atau bisa juga tetap di wattpad.

Mantan ini bakal kemana Kak? Ke Google.

Jangan lupa vote dan komentarnya. jangan lupa juga baca si Emran .

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top