Bab 20

Naima mengambil jarak dari Saka. Pria itu duduk di dekat sopir sedang dia jauh di belakang bersama Donna. Akibat insiden di kolam renang itu, Naima seperti tak mengenali dirinya sendiri. Ia bisa mengendalikan emosi serta hatinya dengan baik tapi tidak untuk saat ini. Saka seolah menundukkan tubuhnya dengan ucapan cinta dan kepemilikan pria itu. Saka membuatnya bergidik ngeri karena mendambakan untuk sekali lagi dicintai. Namun pikirannya yang sudah terlalu jauh melalang buana, terpaksa kembali karena guncangan keras. Mobil yang mereka naiki terpaksa berhenti. Saka dan sang sopir turun untuk mengecek apa yang terjadi.

"Ada apa ini?"

Dua ban mobil bagian kiri mereka kempes. Saka berjongkok untuk meneliti apakah ada benda yang tertancap. Sialan! Ia menemukan peluru yang menancap dalam. Saka meletakkan telunjuknya di depan bibir lalu menatap sang sopir. Mereka harus merahasiakan tentang peluru ini. Saka berdiri lalu mengawasi area sekitar jalan. Sayangnya tempat ini di kelilingi hutan dan juga bukit. Dari arah mana pun tembakan bisa diletuskan. Saka yakin ini bukan peluru acak dari pemburu binatang, namun peluru dari laras panjang yang dilengkapi dengan peredam. Bunyi letusan tak terdengar dan Saka juga yakin sang penembak yang ada entah di sebelah mana, mengincar salah satu dari mereka.

"Sepertinya ban mobil kita kempes karena tertancap paku," ujarnya sembari menatap area sekitarnya dengan lebih teliti. "Sebaiknya kita menghubungi orang hotel untuk membantu."

Para penumpang turun lalu masing-masing dari mereka mengeluarkan ponselnya, namun baru beberapa menit para bawahan Saka mendesah frustasi sembari menggoyang-goyangkan ponsel ke udara termasuk juga Naima. "Tidak ada sinyal."

"Biasanya pegawai pertambangan menggunakan walki talki karena di sini sinyalnya susah."

Saka mendesah sembari berkacak pinggang. Cuaca begitu terik, mampu membakar kulit. "Apakah pertambangan masih jauh?"

"Sekitar enam kilo lagi." Dan Saka yakin dengan Jarak sejauh itu tak mungkin ia mengajak rombongannya untuk jalan kaki. Namun kalau menunggu bala bantuan datang butuh berapa lama? Mereka bisa terpanggang seharian di sini.

"Apakah kira-kira ada truk atau kendaraan dari pertambangan yang akan lewat?"

"Ada tapi biasanya mereka akan melintas pada sore hari," jawab sang sopir jujur.

"Kita bisa lewat hutan untuk memperpendek jaraknya. Kalau kita menyusuri sungai di hutan, jaraknya akan menjadi dua sampai tiga kilo meter." Kebetulan sopir hotel itu adalah penduduk asli sini dan tahu seluk beluk area rimba dengan sangat baik.

Para penumpang hanya sebagian mendesah lelah, sebagian lagi mengangkat bahunya acuh dan Naima tak memberi komentar apa pun. Perempuan itu Cuma menunduk menggoyang-goyangkan kerikil yang berada di bawah kakinya.

"Baiklah, kita terpaksa harus jalan lewat hutan." Karena tak mungkin membatalkan perjalanannya besok. Besok jam lima sore mereka sudah dijadwalkan kembali.

Kalau Saka sudah bertitah tentu mereka, para anak buah menuruti termasuk juga Naima. Namun Naima merasa bodoh, ketika menyadari alas kakinya yang memakai sepatu flatshoes. Tanah Hutan juga agak basah dan becek karena kemarin tersiram hujan, jadinya Naima kesulitan berjalan dan tertinggal di bagian belakang. Donna yang berjalan bersisian dengannya harus memeganginya erta-erat, karena ia beberapa kali hampir terpeleset. Sialnya yang lainnya memakai sepatu olahraga. Karena terburu-buru, Naima tak teliti atau karena pengakuan cinta Saka, logikanya menjadi tidak bekerja.

"Apakah di Hutan ini tinggal suatu suku?' tanya Saka pada Pak Budhi sopir sekaligus pemandu mereka. "Kan tidak enak kalau kita tiba-tiba di serang." Saka memang biang onar dan pandai membuat orang ketakutan.

"Ada tapi mereka sangat ramah terhadap orang yang datang. Kita Cuma lewat jadi mereka tidak akan mengganggu."

"Apa di sini banyak binatang buas. Seperti ular, Harimau atau Gorilla."

Pak Budhi malah tertawa, tapi tidak menular kepada orang yang berjalan di belakang Saka. Mereka mulai mengawasi lebatnya hutan, tingginya pohon serta waspada jika ada binatang di sekitar mereka. Hutan begitu teduh, sinar matahari sampai kesulitan mencuri celah. "Harimau tidak ada semenjak pertambangan di buka, Ular ada di mana-mana kan? Monyet juga tapi yang paling bahaya jika kita bertemu babi hutan."

Orang-orang kota ini pernah melihat babi, mungkin yang dimaksud babi hutan adalah seukuran babi yang berwarna hitam dan punya taring. Tidak menakutkan kelihatannya. "Kenapa berbahaya? Babi hutan makan daun kan dan juga tidak bisa menerkam seperti harimau."

" Sepertinya halnya babi yaitu pemakan segala. Babi hutan menyeruduk dari belakang seperti badak dan kalau kita melihat mahluk itu sebaiknya lekas-lekas naik ke tempat tinggi semisal pohon." Tak sulit, di sini banyak pohon yang bisa dipanjat.

"Berapa besar kemungkinan kita akan tersesat di hutan ini?"

Anak buah Saka menggerutu sembari melontarkan sumpah serapah pelan. Bisakah mereka di tenangkan tidak di ceritakan hal-hal yang menyeramkan. Saka tersenyum kecil, kalau keadaan begini ada baiknya tadi Juan ikut. "Tidak akan selama saya berperan sebagai penunjuk jalan. Sejak kecil saya sering ke sini mencari kayu bakar atau sekedar main untuk mencari buah."

"Syukurlah."

Nama kelegaan dada Saka tak berlangsung lama ketika mendengar pekikan kesakitan seorang perempuan yang berjalan di belakangnya.

"Auw."

Naima mengangkat satu kaki dan tangan kanannya Donna pegangi. Saka melihat ke arah bawah, nampaknya telapak kaki Naima tertancap sesuatu.

"Kamu kenapa Naima?" buru-buru Saka melepas sepatu dan memeriksa kaki perempuan itu. Telapak Kaki Naima berdarah, karena tertembus kayu.

'Ada banyak batang kayu yang mencuat dan lancip, Kalau tak hati-hati kaki bisa kena apalagi dengan alas kaki tidak memadai."

Naima sadar jika pada akhirnya ia memperlambat perjalanan dan merepotkan semua orang. Untunglah tak jauh dari mereka ada sungai kecil yang airnya jernih, Saka menggendongnya lalu membersihkan lukanya dengan air.

"Harusnya kamu tadi memakai sepatu olahraga seperti yang lain," ujar Saka sembari mengikat luka kakinya dengan sapu tangan.

"Maaf, aku lupa."

"Sekarang kamu naik ke punggungku, aku akan menggendongmu," ujarnya sembari balik badan.

"Aku masih bisa berjalan. Lukaku tidak sakit lagi."

Namun Saka tidak menerima penolakan. Ia membuang sepasang sepatu Naima yang dipegang Donna ke sungai.

"Saka!"

"Kakimu sakit, sepatumu hilang. Sekarang naik ke punggungku dan ini perintah. Kamu tidak mungkin berjalan bertelanjang kaki dan membiarkan lukamu infeksi."

Naima mendongakkan wajah seperti ingin menangis. Tidak bisa kah Saka membiarkan hatinya bernafas lega. Mereka akan menempel tanpa jarak, debarnya akan Saka ketahui. "Akan lebih baik begitu."

"Jangan keras kepala." Saka menggendong Naima paksa hingga perempuan itu memberontak. "Diamlah!" bentaknya keras, Naima pun diam seketika. "Kamu pilih aku gendong di punggung atau di depan seperti ini."

Naima memejamkan mata, tak ada gunanya melawan. Dia kepalang tanggung sebab sudah dipermalukan tadi pagi. Orang awam juga tahu jika dulu mereka ada hubungan, setelah ini desas-desus itu akan naik lagi dan tak ada gunanya semakin memperuncing hubungan yang rumit ini. Pengakuan cinta Saka sebenarnya cukup membungkam mulut beberapa orang. "Di punggung."

Untungnya Naima mau bekerja sama jadilah Saka tak repot mengurusi emosi perempuan itu lagi. Saka yang semula berjalan di depan sekarang memilih berjalan di barisan paling belakang. "Apakah aku berat, hingga membuatmu tertinggal?"

"Tidak. Aku lebih suka berjalan di belakang supaya tidak ada yang mengganggu kita.' Ucapan Saka ada benarnya. Selama Naima di dalam gendongannya, tak ada satu orang pun yang berani menengok ke belakang. "lagi pula berat badanmu sepertinya masih sama dengan yang dulu." Perkataan itu sukses mendapat kepalan tinju yang di daratkan di punggung atasnya dan Saka membalasnya dengan mengencangkan gendongannya dengan menekan pantat Naima.

"Andai kamu dulu juga sebaik ini."

"Maka kita tidak akan berpisah kan?"

"Tapi semua sudah terlambat."

Saka hendak menyangkal namun ucapannya Cuma tertahan. Mungkin kebersamaannya dengan Naima hanya tinggal menghitung minggu. Bersikap egois memang perlu namun lama-kelamaan ia mulai mengerti bahwa Saka tak bisa melawan takdir Tuhan. Saat ini ia hanya berusaha memberikan Naima kenangan baik tentang dirinya.

Pusat pertambangan sudah terlihat. Nampaklah tanah yang di gali beberapa lapis dan beberapa kendaraan alat berak hilir mudik. Para rombongan bernapas lega karena mereka akhirnya bisa beristirahat namun Saka enggan melepas Naima.

"Turunkan aku Saka. Jalan di sini lebih kering. Aku bisa meminjam alas kaki ke pekerja tambang."

Saka pun menuruti apa yang Naima perintahkan. "Biar ku bantu kamu berjalan."

"Tidak usah. Aku bisa dibantu Donna."

Saka menyerah, hanya bisa melihat Naima berjalan tertatih sembari berpegangan pada Donna. Bukannya bagus begitu, semakin dekat mereka maka semakin sulit pula Saka mengiklaskan Naima nanti. Tingkatan cinta tertinggi adalah melepas jika salah satunya tidak berkenan untuk digenggam. Saka mencoba namun terasa sulit, sakit dan menyesakkan dada. Air matanya hampir menetes namun Saka ingat bahwa lelaki pantang menangis.

"Naima!" panggil Juan lantang dan langsung berlari ketika mengetahui tunangannya kakinya pincang dan tanpa alas. "Kamu tidak apa-apa?" Juan meraba wajah. Lengan, tangan bahkan memegang perut. Melihat apakah Naima mengalami luka serius. "kakimu?" Juan berjongkok meraih kakinya namun lebih dulu di tarik oleh Naima.

"Tidak apa-apa. Telapak kakiku terkena kayu dan terluka tapi tidak parah."

"Syukurlah." Juan segera berdiri dan memeluk Naima erat.

Ketika bangun tidur dengan kepala pening. Hal pertama yang Juan lihat adalah senampan sarapan dengan beberapa pil aspirin. Juan melahapnya tanpa pikir panjang. Baru kemudian setelah mandi, ia melihat ponsel. Alangkah terkejutnya ketika mendapati pesan ancaman Emran. Tak berpikir dua kali untuk menyusul Naima ke pertambangan. Ia takut Emran mencelakai Naima dan kekhawatirannya terbukti ketika mengetahui rombongan Saka belum datang. Pikiran buruknya berkeliaran tapi lega rasanya mengetahui Naima selamat walau terluka sedikit.

Sedang Saka yang berada tak jauh dari keduanya, melihat adegan itu hatinya remuk. Harusnya ia sadar namun tetap tak mau sadar. Naima telah memilih pria lain, usahanya tak berbuah banyak. Juan benar, pria itu semula memang sudah menang. Saka tarik ucapannya tadi, jika lelaki pantang menangis. Untuk sejenak ia minta berubah jadi banci jika diizinkan untuk menangis walau sesaat.

***********

Saka sudah capek gendong berkilo-kilo, sudah rela sakit encok tapi akhirnya patah hati jug. Apakah kali ini Saka akan menyerah?

Jangan lupa vote dan komentarnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top