9. Gosip
Bulma melempar tatapan keji pada alat itu. "Gue harus pakai ini?"
"Iya..." Aku naik untuk memberi contoh. "Lo lari di sini."
"Harus lari?"
"Nggak juga, sih. Mulai dari jalan santai aja."
Bulma menelan ludah dan bergantian denganku naik ke alat treadmill itu. Kujelaskan fungsi tombol-tombolnya, lalu kuperagakan cara berjalan yang benar di atas treadmill. "Lo jangan bungkuk ke depan atau terlalu membusung, nanti malah bisa kesandung. Ikutin aja speed-nya. Untuk sekarang, gue rasa sebaiknya lo jangan lari dulu. Jalan cepat aja."
Bulma mengangguk. Kunyalakan alat itu dan kuatur di speed yang kecil. Bulma mulai melangkah. Tungkai-tungkainya yang tiga kali lebih besar dariku bergerak berirama, mengikuti speed treadmill.
Aku juga ikut berolahraga di sebelahnya. Sebenarnya Tante Irma sudah membayari jasa personal trainer, tetapi Bulma kurang percaya pada wanita itu dan memilih dilatih olehku saja. Aku sendiri sebetulnya nggak jago fitness, tetapi aku rutin nge-gym empat kali seminggu. Bukannya aku terobsesi dengan bentuk tubuh sempurna. Semua ini karena kostum. Ya, kostum yang disiapkan tim artistik untuk Carissa semuanya berukuran XS, dan aku harus muat di dalamnya. Kamera juga bikin tubuh terlihat lebih lebar, sehingga para selebriti (terutama wanita) memakai standar "langsing" yang tiga level lebih tinggi dibanding standar yang sebenarnya (dengan amat terpaksa pula).
Makanya aku bisa relate sama tekanan yang dirasakan Bulma.
"Minggu depan pas ke dokter gizi, lo mau gue temenin nggak, Bul?"
"Lo kan udah mulai syuting, Nis."
Tante Irma menepati janjinya dan nggak membocorkan ke Bulma bahwa dia tahu masalah bulimia Bulma dariku. Semua artis di GIFTED dicek kesehatan secara berkala, dan Tante Irma memakai laporan kesehatan Bulma sebagai alasan menyuruhnya diet. Kolestrol dan tekanan darah Bulma tinggi, dan dia terancam kena diabetes. Sedangkan untuk urusan psikologis, untuk sementara Tante Irma menyerahkan Bulma padaku, karena dia belum menemukan cara memberitahu Bulma tanpa menyinggung urusan bulimia itu.
"Selesai syuting, gue bisa anterin elo kok," jawabku. "Kan sekarang gue disopirin sama si Alonzo."
"Gue nggak mau ngerepotin, Nis."
"Atau lo ikut gue ke lokasi syuting, biar bisa langsung barengan pas gue kelar?"
Bulma mengelap keringat yang bercucuran di wajahnya dan tersenyum padaku. "Lo benar-benar peduli ya sama gue, Nis?"
"Kan waktu itu lo sendiri yang ngingetin gue..." Kuturunkan speed-ku karena sulit sekali berbicara sambil berlari cepat. "Susah ketemu orang yang bisa dipercaya di dunia entertainment ini. Kita nggak tahu siapa yang teman atau lawan. Gue bersyukur ketemu elo, Bul. Selama setahun gue mencoba berkarier di dunia ini, lo banyak menolong gue. Makanya sekarang gue mau balas budi."
Anehnya Bulma tertawa. "Lo nggak pantas ngomong menye-menye kayak gitu, tahu nggak, Nis? Nggak matching sama tampang lo!"
"Sialan lo!"
Kami melanjutkan berlari. Tiba-tiba smartwatch-ku bergetar, pertanda ada pesan WhatsApp baru. Kulirik sekilas isinya. Wah, ternyata dari Dian!
'Manis, apa aku boleh ajak kamu dinner?'
Cepat-cepat kuambil ponselku dari laci ponsel di treadmill, dan kuketikkan pesan balasan: 'Boleh. Tapi aku baru bisa pulang ke Manado akhir tahun nanti.'
Tak berapa lama, datang balasan dari Dian. Pria itu mengirimkan sebuah foto selfie dirinya sedang tersenyum malu-malu, dengan Monas di latar belakang.
...
Beberapa hal sederhana jadi merepotkan ketika seseorang terkenal. Salah satunya adalah makan di restoran.
Sebelum Lovebirds, aku bisa mampir ke restoran mana saja tanpa perlu reservasi lebih dulu. Tapi sekarang berbeda. Kak Ussy yang mengajariku soal ini. Saat syuting season satu, Kak Ussy pernah mengajakku beli kopi Starbucks di mal dekat lokasi syuting. Biasanya Kak Ussy minta tolong pada asistennya, tetapi hari itu dia nekat pergi sendiri karena ingin "mengajariku".
Singkat cerita, acara beli kopi di mal yang seharusnya bisa selesai dalam setengah jam itu berubah jadi kehebohan. Jarang-jarang artis populer macam Ursula van Oostman nongol di mal, jadi orang-orang berbondong-bondong mendekatinya, minta selfie sampai ngajak ngobrol sok akrab. Pihak mal harus menurunkan lima petugas sekuriti untuk mengawal Kak Ussy masuk ke mobilnya. Untung waktu itu belum banyak yang mengenaliku sebagai Carissa, sehingga aku bisa menyelinap dengan aman.
Pelajaran dari Kak Ussy hari itu adalah: selalu bikin reservasi sebelum tiba ke tempat umum seperti restoran atau mal. Dengan begitu setidaknya pihak restoran atau mal bisa menyiapkan sekuriti untuk memberikan pengawalan seandainya dikerumuni fans.
Pengalaman itu, ditambah insiden penyiraman kopi di bandara, bikin aku ekstra hati-hati. Aku nggak mau ambil risiko Dian terluka seandainya kami dinner di mal, jadi aku sengaja bikin reservasi di sebuah kafe kecil dekat tempat kos Dian. Aku juga sudah memberitahu dia bahwa aku akan menyamar dengan memakai rambut palsu dan kacamata.
Maka malam itu, selesai nge-gym, aku minta diantar Alonzo ke tempat dinner.
Kafe Ceria terletak di daerah Jakarta Selatan. Dari luar kafe itu kelihatan kecil, tetapi bagian dalamnya ternyata cozy sekali. Begitu aku sampai, Dian sudah menunggu. Dia memakai kemeja warna navy dan celana hitam garis-garis yang membuat tubuhnya kelihatan makin jangkung.
Astaga, aku senang sekali melihatnya saat ini. "You're here!"
Dian mengerjap beberapa saat, sepertinya belum mengenaliku. Setelah kuturunkan sedikit kacamataku, barulah laki-laki tersenyum lebar. Kami berpelukan dengan hangat. "Kok kamu tiba-tiba datang ke Jakarta, Di? Ada apa, nih?"
"Mau kasih kamu kejutan," sahut Dian malu-malu.
Wah, telingaku jadi panas mendengarnya.
Seorang pelayan kafe mengantarkan kami ke meja pesananku. Band sedang tampil di panggung, memainkan versi cover lagu jazz "The Long Day Is Over" dari Norah Jones. Kami disodori menu. Aku hanya memesan salad buah.
"Kamu cuma pesan salad?" tanya Dian. Dia sendiri memesan nasi bakar ayam. "Di sini ada iga bakar, makanan favorit kamu. Nggak pesan yang itu aja?"
Dian masih ingat makanan kesukaanku, padahal sudah bertahun-tahun sejak kami makan bersama. "Nggak apa-apa. Aku nggak boleh makan berat."
"Kenapa? Kamu lagi diet?"
"Kurang lebih."
Dian terperangah. "Menurutku kamu nggak kelebihan berat badan."
Aku meringis. Si pelayan mencatat pesanan kami. Setelah pelayan itu pergi, kujelaskan pada Dian tentang kostum-kostumku yang seukuran Barbie. Dian mengangguk-angguk, dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi sorot matanya memancarkan keprihatinan.
Tapi acara dinner ini bukan tentang aku, tapi Dian. "Jadi, kenapa kamu tiba-tiba muncul di sini? Masa cuma buat kasih aku surprise?"
Dian mengangkat bahu dan tertunduk sedikit. "Setelah pertemuan kita hari itu, aku kepikiran terus sama kata-kata kamu. Kamu tahu bahwa aku memang kepingin keliling dunia, Nis. Tapi aku malah memilih pekerjaan yang membuat aku nggak bisa ke mana-mana sebagai pegawai kantoran. Aku pikir... apa salahnya mencoba mewujudkan mimpi?"
"Kamu betul-betul mau keliling dunia?"
"Suatu hari nanti," Dian tertawa. "Tapi sekarang, aku harus ngumpulin uang dulu. Aku pikir ada lebih banyak kesempatan di Jakarta, makanya aku memutuskan untuk cari kerja di sini."
Itu keputusan besar. Aku menghargai keberanian Dian untuk mewujudkan mimpinya. "Kalau kamu berusaha, pasti kamu bisa. Aku akan bantu kamu, Di."
"Aku nggak kepingin jadi pegawai kantoran lagi, Nis," kata Dian. "Aku tahu itu bukan passion aku, dan selama ini menjalaninya cuma demi uang aja. Kurasa sekarang saat yang tepat untuk mencoba..."
"Menyanyi."
Aku dan Dian mengucapkan kata itu bersama-sama. Dian tercengang.
Tiba-tiba sebuah visi tergambar dengan amat nyata di benakku: Dian sebagai penyanyi terkenal. Dia punya modal untuk itu: penampilannya rupawan, dan suaranya bagus. Sejak kecil, Dian jago menyanyi. Waktu SMA, dia bergabung di paduan suara, dan beberapa kali tampil solo saat pentas seni di sekolah. Dian sempat curhat padaku tentang keinginannya kuliah di jurusan Musik, tetapi niat itu ditentang orangtuanya. Papa dan Mama Dian adalah PNS, dan mereka ingin putra sulung mereka berkuliah di jurusan "yang pasti-pasti aja", supaya gampang dapat kerja setelah lulus nanti. Karena itu Dian mengubur hasratnya bermusik, dan mengambil jurusan Akuntansi.
"Tapi orangtua kamu gimana, Di? Mereka kasih izin?"
"Aku udah kuliah di jurusan yang aman, terus kerja selama setahun di pekerjaan yang sama-sama aman, semuanya sesuai keinginan mereka," jawab Dian. "Sekarang saatnya aku mengikuti keinginan aku sendiri. Apa menurut kamu aku ini egois, Nis?"
"Sama sekali enggak!" Sekonyong-konyong, aku yakin sekali visi yang baru kulihat tadi bakal terwujud. "I'm proud of you!"
"Aku terinspirasi dari kamu, Nis. Kamu bisa mewujudkan mimpi kamu. Aku kepingin seperti itu."
Hmm, padahal aku jadi aktris karena kepepet duit dan nggak punya pilihan. Sampai hari ini, passion-ku mengajar di TK belum pupus, lho. Tapi Dian nggak tahu soal itu. Biarlah... kalau diriku yang sekarang bisa memotivasinya, kenapa aku harus mengakui yang sebenarnya?
Tangan Dian terangkat, tetapi dia masih ragu untuk menggenggam tanganku. Kuremas tangannya untuk menyatakan dukunganku, dan tertawa.
"Aku udah punya beberapa demo rekaman," Dian mengembus lega, dia jadi lebih santai. "Memang belum rekaman profesional sih, tapi seharusnya cukup untuk nunjukkin kemampuan aku."
"Apa rencana kamu selanjutnya, Di?"
"Aku udah upload semua demo itu ke Youtube, dan selanjutnya bakal kucoba mengirimnya ke beberapa label rekaman, siapa tahu ada yang tertarik."
Sebuah ide melintas di kepalaku. "Tahu nggak, aku punya ide yang lebih baik. Aku bisa kasih demo kamu itu ke Tante Irma, manajerku. Dia yang scouting aku untuk jadi aktris tahun lalu, dan pilihannya nyaris nggak pernah diragukan. Tante Irma punya banyak channel di dunia entertainment. Kalau demo kamu menarik perhatiannya, aku yakin Tante Irma bisa mengenalkan kamu ke orang yang tepat!"
Mata Dian berbinar-binar. Ekspresinya seperti anak kecil yang disodori sebongkah cokelat. "Wah... itu... aku benar-benar..." Saking girangnya, kata-kata Dian jadi kacau. "Makasih banyak, Nis!"
Kami berdua tertawa gembira.
Pesanan kami akhirnya tiba. Kami melanjutkan obrolan sambil makan. Lagu-lagu jazz yang dimainkan band di panggung membuat percakapan ini terasa lebih akrab. Senang rasanya bisa mengobrol dengan orang lain selain Mama dan teman-temanku di dunia entertainment. Aku merasa kembali jadi diriku yang dulu, sebelum Lovebirds.
Aku nggak tahu sudah berapa lama kami mengobrol, karena waktu terasa begitu cepat. Apalagi semakin larut, suasana kafe bertambah ramai. Kami memesan menu dessert, dan aku terpaksa ikut memesan supaya Dian nggak kecewa (seporsi kecil es krim rendah lemak). Tapi rupanya perutku sudah membiasakan diri makan ala supermodel (sok, aku tahu kok). Jadi begitu es krim itu masuk, perutku langsung memprotes.
"Dian, aku ke toilet dulu, ya."
Dian mengangguk mengiyakan. Saat bangkit berdiri, kulihat ada beberapa missed call dari Mama. Saking asyiknya berbincang-bincang dengan Dian, aku sampai nggak menyadari panggilan masuk itu. Mama juga mengirimiku pesan singkat lewat WhatsApp.
Dalam perjalanan menuju kamar kecil, kubuka isi pesan itu.
'Dari Elise,' begitu isi pesan Mama. Elise adalah sepupuku, anak bungsu Om Jon. 'Dia ketemu di Instagram. Apa ini betul?'
Elise mengirimkan sebuah screenshot satu postingan Instagram ke Mama. Postingan itu milik akun @maklambe_official. Ada fotoku di sana, yang diambil dari video teaser Lovebirds. Di bawahnya tertulis caption dalam huruf kapital:
'MANIS MARAMIS: ANAK DURHAKA? PENGAKUAN SANG AYAH DI BALIK KESUKSESAN CARISSA LOVEBIRDS.'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top