8. Carissa, Si Antagonis
Malam itu aku sengaja mengajak Bulma nonton serial komedi supaya suasana hatinya membaik. Kami maraton Friends, karena serial jadul itu selalu sukses bikin kami tertawa. Untuk menemani acara nonton, aku bikin dua gelas smoothies buah tanpa gula–sengaja kupilih minuman sehat untuk mendukung diet Bulma.
Sahabat sekaligus roommate-ku itu belum bereaksi apa-apa, jadi kutebak Tante Irma belum bergerak. Mungkin manajer kami itu masih mengatur rencana, mengingat masalah bulimia Bulma ini sensitif. Apa pun ide Tante Irma, aku berharap Bulma bisa segera ditolong.
Setelah enam episode Friends, Bulma tertidur di sofa. Aku senang dia bisa tidur nyenyak begini, artinya malam ini Bulma lebih rileks. Kubiarkan televisi tetap menyala, lalu kubuka amplop naskah yang dikirim Tante Irma. Tadi sore, aku sudah mendapat naskah untuk episode dua dan tiga, jadi sekalian saja kubaca ketiganya. Toh syuting perdana akan dimulai tiga hari lagi.
Dari skimming sesaat di studio foto tadi pagi, aku tahu di season ini Carissa bakal punya banyak screen time dengan Adam. Aku harus menyiapkan diri. Reza boleh-boleh saja aktor top, tetapi aku nggak sudi tubuhku dijamah seenaknya seperti tadi siang. Atau sebaiknya aku bilang ke Tante Irma bahwa aku nggak nyaman? Seingatku, kontrakku mengatur kontak fisik apa saja yang diperbolehkan.
Bulma mendengkur, pertanda tidurnya lelap sekali. Kuambil selimut dari kamar, kusampirkan ke atas tubuhnya, lalu kulanjutkan membaca naskah.
Kai Elian punya gaya bercerita yang beda dengan Sissy, penulis naskah season satu. Rasanya aku pernah mendengar nama penulis ini, tapi masih lupa-lupa ingat. Jadi tadi di sela-sela menonton, aku Googling. Rupanya Kai sudah dikenal di dunia tulis-menulis: dia pernah memenangkan penghargaan literasi, dan sudah menelurkan setengah lusin novel best seller. Proyek terakhir Kai adalah duet menulis naskah teater bersama Yūki Mallorca, penulis Jepang yang adaptasi novelnya mendapat nominasi Oscar tahun lalu.
Rupanya season dua Lovebirds dibuat lebih "niat" lagi sampai merekrut nama-nama besar seperti Reza dan Kai. Netflix memang nggak pernah pelit kalau soal duit.
Perubahan itu terlihat dari dialog-dialog antartokoh yang lebih intens. Adegan-adegan klise favorit Sissy seperti berpapasan di taman atau ngopi bareng di kafe dihilangkan, diganti dengan sesuatu yang lebih dramatis.
Dan omong-omong soal dramatis, kulihat ada satu lagi perubahan besar...
Di akhir season satu, dikisahkan Tari sudah mengetahui identitas Carissa. Mereka bertemu sekali, lalu keduanya mengungkapkan niat masing-masing untuk mendapatkan Ben secara tersirat (adegan itu masuk ke video teaser yang kulihat di bandara). Di season dua ini, Tari dan Carissa akan melakukan segala cara untuk merebut Ben: Tari ingin mempertahankan suaminya, sementara Carissa sudah terlanjur bucin pada Ben. Konflik diperuncing dengan kemunculan Adam yang naksir pada Carissa, dan Bagas, lawan politik Tari di pilkada provinsi yang berniat menghabisi karier politik wanita itu.
Scene 4: Carissa membayar seseorang untuk menyadap pembicaraan Tari saat wanita itu sedang lari pagi di taman.
See? Dramatis banget, kan?
Scene 7: Carissa pergi ke dokter kandungan (Adam), dan mengaku hamil. Adam yang terpesona pada Carissa, membantu gadis itu dengan membuatkan laporan USG palsu. Saat Ben mampir, Carissa sengaja menyelipkan foto USG palsu itu ke saku jasnya, karena Carissa tahu Tari selalu merapikan pakaian kotor milik Ben.
Ohohoho. Licik sekali!
Scene 11: Carissa mengajak Adam kencan di restoran langganan Ben, dengan maksud membuat Ben cemburu. Adam tidak tahu bahwa dia hanya dimanfaatkan, menyetujui ajakan Carissa.
Tingkah Carissa semakin liar. Kai telah mengembangkan tokoh ini sehingga berbeda jauh dengan Carissa sebelumnya. Di season satu, Carissa hanyalah gadis muda naif yang jatuh hati pada Ben. Tapi sekarang, Carissa telah menjadi wanita penuh tekad yang rela melakukan apa saja demi merebut Ben.
Episode 2 – Scene 1: Di anniversary pernikahan Ben dan Tari, Carissa mengirim buket bunga ke rumah pasangan itu, mengatasnamakan Ben. Tari yang mengira buket itu adalah hadiah kejutan dari sang suami, mengendus bunga-bunganya tanpa menyadari bahwa buket itu sudah ditaburi racun.
Umm... mungkin terlalu "penuh tekad".
Penasaran, kubalik lembaran-lembaran ketiga naskah itu.
Episode 2 – Scene 7: Carissa mengirim foto-foto mesranya dengan Ben secara anonim pada Bagas, untuk merusak reputasi Tari. Seorang wanita dengan suami yang berselingkuh tak layak berpolitik. Mengurus rumah tangga saja tidak becus, apalagi mengurus masyarakat?
Episode 2 – Scene 11: Carissa membayar seseorang untuk menabrak Tari dengan mobil. Kaki Tari patah dan jadwal kampanye-nya jadi terganggu.
Episode 3 – Scene 15: Di acara makan malam partai politik Tari, Carissa menyamar sebagai tamu undangan. Carissa menaburkan obat tidur ke minuman Tari sehingga wanita itu merasa pusing. Carissa berpura-pura menjadi teman Tari dan menawarkan diri untuk mengantar Tari pulang. Namun Carissa malah mendorong Tari dari puncak gedung, dan menjadikan Bagas sebagai kambing hitam dengan menempelkan sidik jari pria itu di gelas minum Tari.
Jantungku berdebar cepat sekali, seperti derap atlet maraton.
Apa-apaan naskah yang baru kubaca ini?
Di akhir episode tiga, Carissa akan jadi pembunuh?
Kupejamkan mata untuk menenangkan diri. Aku tidak meragukan adegan-adengan yang ditulis Kai bakal kelihatan luar biasa di layar. Aku juga sudah tahu bahwa sejak awal Carissa adalah tokoh antagonis, tetapi di season dua ini dia jadi terlalu antagonis. Sebagai pelakor aku masih bisa memaklumi Carissa, tapi kalau membunuh? Apa Carissa memang harus jadi sekejam ini?
Nuraniku bergejolak. Aku harus menanyakan ini pada seseorang.
...
Sebetulnya para aktor diminta untuk beristirahat selama tiga hari ini, sekaligus bersiap-siap supaya bisa tampil prima di depan kamera. Tapi yang ingin kutanyakan pada Tante Irma nggak bisa ditunda lagi, atau pun dibahas lewat panggilan telepon. Tante Irma sedang sibuk, tetapi dia bersedia kutemui pada jam makan siang di tempat yang dijadikan set klinik kandungan.
Jadi keesokan harinya, aku minta diantar Alonzo ke tempat itu. Ternyata set klinik itu akan di-syuting di sebuah hotel supaya terkesan lebih modern. Di season dua ini memang banyak scene indoor. Scene di dalam ruangan lebih menantang untuk direkam, karena perlu tata lighting yang baik supaya pencahayaannya kelihatan natural. Para aktor juga harus menyesuaikan blocking mereka, karena set indoor punya ruang yang terbatas. Aku bersyukur mampir ke sini hari ini. Sebagai yang paling amatir, persiapanku harus lebih mumpuni untuk mengimbangi nama-nama besar yang menjadi lawan mainku. Aku nggak mau terkesan merepotkan sutradara di hari syuting nanti.
Kan sudah kubilang, aku berambisi jadi aktris profesional.
Alonzo mengantarku ke lobi. Meski syuting baru akan mulai lusa, tetapi area ini sudah diblok oleh rumah produksi, supaya nggak banyak orang yang lalu lalang. Tante Irma belum kelihatan. Panggilan teleponku belum direspon, begitu juga dengan pesan WhatsApp-ku. Mungkin manajerku itu masih sibuk meeting dengan para produser.
Seseorang melintas di sebelah tempat dudukku sambil memeluk sebundel kertas. Pastilah dia salah satu anggota kru, karena diizinkan memasuki daerah ini.
Tapi... tunggu sebentar. Aku melihat wajahnya di Google tadi malam.
"Kai Elian?"
Kai Elian si penulis naskah, tersentak kaget. Dia celingak-celinguk sebentar sebelum menjatuhkan pandangannya padaku.
"Manis Maramis!" Kai melambai panik dan menekan naik kacamatanya. Kenapa semua penulis rata-rata berkacamata, ya? "Hai! Halo! Umm..."
Wah, berbeda dengan adegan-adegan "berani" yang ditulisnya, ternyata Kai Elian agak pemalu. Tapi dia orang yang kucari-cari. Pas banget bisa ketemu begini.
Basa-basinya di-skip dulu, deh. "Aku mau tanya tentang naskahnya."
"So-sori," Kai tergagap. Wajahnya mulai pucat. "Kamu... marah, ya?"
Oh. Bisa-bisanya aku lupa. "Enggak. Memang tampangku kayak begini. Aku penasaran, apa kamu sengaja bikin Carissa jadi lebih jahat?"
"Carissa, ya?" Kai menelan ludah. "Dia kan memang... antagonis."
"Iya, tapi di season dua ini, kamu bikin dia jadi lebih bengis..." protesku sambil tersenyum, berusaha kelihatan ramah. "Carissa sampai merencanakan pembunuhan!"
"Sssst!" Kai cepat-cepat membekap mulutku. "Jangan keras-keras! Nanti ada yang dengar! Naskah itu masih rahasia!"
Kutarik lepas tangan Kai dan kutarik dia ke sudut ruangan. "Aku merasa konfliknya jadi terlalu melebar dan enggak fokus ke masalah rumah tangga lagi, Kai."
"Soal itu..." Kai mengangkat bundelan yang dibawanya di depan dada, seperti perisai. "Sori, aku nggak bisa cerita banyak."
"Tapi kan kamu yang menulis naskah ini?" desakku, tanpa sadar maju ke depan. "Dan naskahnya udah di-approve sama para produser!"
"Nah, kalau kamu mau protes soal naskahnya..." Kai mengerut ketakutan. Wajahnya jadi pucat. "Kamu bisa tanya langsung ke Anwar, Ridho dan produser yang lain. Aku nggak bisa bantu kamu."
Huh, jawaban macam apa ini? "Aku cuma ingin tahu kenapa kamu bikin Carissa jadi kejam kayak begini, Kai."
"Sori banget," Kai mengelak. "Tanya aja sama Anwar!"
Sebuah lift berdenting terbuka. Kai menyelinap dan bergegas kabur ke dalam lift itu. Dia bahkan nggak pamitan dulu.
Benar-benar, deh.
Aku kembali ke tempat duduk dengan lesu. Anwar, ya? Tapi Anwar kan sutradara. Apa ini berarti Anwar yang sengaja membuat Carissa jadi tambah jahat? Kalau kuingat-ingat, di season satu Anwar memang kurang sreg dengan karakter Carissa. Dia selalu komplain ke Sissy karena merasa masih ada yang belum pas–menurutnya tokoh antagonis adalah penggerak plot, dan kalau sang antagonis ini nggak lagi "antagonis", maka cerita terancam mandek.
Apa itu alasan Kai menambahkan rupa-rupa kejahatan untuk Carissa?
"Do you regret it now?"
Bau apak asap rokok yang mencekik hidung mengalir dari belakangku. Aku berbalik. Darling berdiri santai di samping sofaku. Hari ini dia memakai dress terusan warna kuning dengan bulu-bulu putih di kerahnya. Aku nyaris memekik kaget. Perawakan Darling yang tinggi kurus dan busananya hari ini membuatnya kelihatan seperti pisang raksasa.
Kutunjuk label Non-Smoking Area yang tertempel di dinding. "Di sini area dilarang merokok."
Darling mengangkat bahu dengan tak acuh dan menghisap rokoknya lagi. "Jangan mengalihkan topik begitu dong, Darling."
"Kenapa kamu bisa masuk ke area ini?"
Darling mengembangkan jari-jarinya di depan wajahku. "Magic!" serunya dibuat-buat. Lalu dia tertawa–tawa anehnya yang mirip suara orang tercekik itu bergema lantang di lobi.
"Jawab pertanyaanku, Darling! Kalau sampai Tante Irma melihat kamu di si—"
"Aku udah jawab pertanyaan itu..." Sosok nyentrik itu mulai mengitariku, kuku-kukunya yang dipoles warna hitam menjentik-jentik. "Sekarang giliran kamu. Answer my question."
"Kalau kamu pikir dengan memerankan Carissa aku bakal pindah—"
"Bukan itu pertanyaannya," bisik Darling sinis. "I was asking you: do you have regrets now? Memerankan Carissa? Be a darling and answer my question."
Apa maksud pertanyaannya? Sosok ini begitu misterius. Kupelajari gerak-geriknya. Tante Irma selalu mewanti-wantiku supaya jauh-jauh dari Darling. Orang ini lihai dan nggak bisa dipercaya.
Darling masih menunggu jawabanku. Alisnya yang ditato terangkat penuh harap.
Ah. Sekonyong-konyong aku paham apa maksud pertanyaan itu. "Kamu udah baca naskah season dua, kan?"
Darling menyeringai, menampilkan gigi-giginya yang di-bleaching.
"Naskah itu masih rahasia. Kamu dapat dari mana?"
"Magic!" Darling mengulangi jawaban itu, lalu tertawa lagi, tampaknya geli sekali. "Udah cukup pertanyaan-pertanyaan kamu, Darling. Sekarang giliranku. I'm asking you one more time. Do you have regrets now for playing Carissa?"
Orang ini betul-betul licik. Pasti dia sudah tahu bahwa Carissa jadi lebih beringas di season dua. Tapi aku nggak akan bersikap lemah di depan orang yang berniat buruk seperti ini.
"Aku aktris profesional. Memerankan Carissa adalah tugasku!"
Darling berkedip-kedip cepat. Bulu mata palsunya yang berlapis-lapis itu mengingatkanku pada ekor merak. "So... no regrets?"
"No regrets!" balasku yakin.
"So be it..." Seringai Darling berubah jadi senyuman tipis. "Sekarang kamu bisa bilang begitu, tapi cepat atau lambat kamu akan menyesalinya. You WILL have regrets, Manis my Darling. You'll see."
Lalu diiringi kepulan asap rokok, Darling melenggok pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top