6. Bulma Bulimia
Perjalanan kembali ke Jakarta lebih "aman sentosa." Aku mengikuti saran Mama dan menyamarkan penampilanku lewat kacamata hitam besar dan rambut palsu supaya nggak diserang haters.
"Dijemput orang agensi, namanya Alonzo. Bawa papan nama."
Pesan WhatsApp dari Tante Irma dan pesan-pesan lainnya masuk begitu flight mode ponsel kumatikan. Manajerku itu rupanya menanggapi serius peristiwa penyiraman kopi yang kulaporkan padanya waktu itu. Kukabari Mama bahwa aku sudah sampai, kemudian terus ke pintu keluar, masih dalam penyamaran.
Alonzo ternyata lebih gampang ditemukan dari dugaanku. Laki-laki itu seperti Hulk, tingginya nyaris dua meter dan tubuhnya terdiri dari otot semua. Dia memakai kacamata, jaket kulit, celana panjang, dan kaos yang semuanya serba hitam. Tangannya yang selebar tudung saji kecil memegang sebuah kertas A4 bertuliskan "GIFTED". Pasti ini "papan nama" yang dimaksud Tante Irma.
Kuhampiri dia. Tante Irma sudah bilang ke Alonzo bahwa aku menyamar, dan si bodyguard rupanya mengenaliku. Dengan sigap, dia membimbingku ke sebuah Range Rover (yang juga warna hitam), kemudian mengantarku kembali ke apartemen.
Rasanya seperti main film mafia.
Sekarang menjelang tengah hari, dan Jakarta lagi panas-panasnya. Dari balik kaca gelap mobil, tampak kumpulan gedung-gedung yang menjulang, seperti tangan-tangan yang menantang langit. Suatu perasaan aneh menghampiriku. Sejenis kehampaan. Aku merasakan ini setiap kali kembali ke Jakarta dari Manado. Beda dengan Gaby, aku nggak pernah kerasan di kota ini. I never consider Jakarta as home. Bagiku, Jakarta hanyalah tempat mencari nafkah. Niat membeli rumah itu semata-mata hanya karena ingin membuat Mama dekat dengaku, nggak lebih.
Orang-orang di kampungku menganggapku berubah karena apa yang sudah kualami. Dian juga bilang begitu. "You're a superstar now," kata Tante Irma sewaktu Lovebirds meledak. Tapi aku nggak pernah merasa begitu. I'm a small-town girl, and will always be like that. Not a superstar.
Apa masih mungkin bagiku untuk menjalani passion-ku untuk mengajar? Di bawah kilau kemilau "superstar" ini, semuanya terasa begitu... mustahil.
...
Kuayunkan pintu apartemen hingga terbuka, dan mengendap-endap masuk.
Aku sengaja ingin mengejutkan housemate-ku. Aku membawa klappetaart kesukaannya, lengkap dengan abon cakalang dan setoples besar rica roa. Semuanya home-made, dibuat dengan resep dan bahan-bahan asli Manado.
Eh, kok aku malah ngiklan kuliner Manado begini...
Apartemen itu punya tiga kamar. Sampai enam bulan lalu, tempat ini ramai karena ada enam orang talents yang tinggal di sini. Tapi satu demi satu penghuni yang lain itu pindah, menyisakanku dan housemate-ku. Kami berdua berteman baik, karena cocok satu sama lain. Nama asli housemate-ku itu Juwita, tetapi dilantik dengan nama panggung "Bulma" oleh Tante Irma (singkatan dari Bulat dan Menggelora). Sekarang aku dan Bulma yang merajai apartemen luas ini.
Ruang tengah dan dapurnya sepi. Kusandarkan koperku di samping meja makan, dan terus ke kamar Bulma. Dari pintunya yang terbuka sedikit, kulihat kamarnya kosong. Berarti dia ada di kamar mandi.
"SURPRISEEE! Gue bawa klappe—"
Aku tercekat. Bulma sedang menjorokkan kepalanya di atas dudukan toilet, dua jarinya mencolok bagian dalam mulutnya kuat-kuat. Makanan dimuntahkan dari dalam perutnya.
...
Keheningan yang janggal menggantung di udara. Yang terdengar hanyalah isakan pedih Bulma yang duduk di sebelahku.
"Bul, begini—"
"Sebelum lo menghakimi gue yang macam-macam..." Bulma menyerobot. "Lo harus tahu bahwa sebetulnya gue nggak berniat ngelakuin itu."
"Lo bulimia, Bul. Lo sengaja muntahin makanan dari dalam perut."
Bulma tertunduk. Tatapannya terpaku pada perutnya yang mencuat maju. Dengan tinggi seratus enam puluh sentimeter, Bulma berbobot sembilan puluh kilo. Gara-gara inilah dia mendapatkan nama julukannya itu.
"Bul..." Kuraih tangan sahabatku itu dan kubelai hati-hati. "Gue nggak tahu kalau ternyata selama ini elo bergumul dengan masalah berat badan. Soalnya lo selalu kelihatan hepi dan masa bodo dengan badan lo."
Tangis Bulma pecah. Dia terisak-isak merana. Aku jadi kasihan melihatnya. Kudekap dia erat-erat dan kuelus-elus pundaknya.
"Lo ingat... kapan terakhir..." Bicara Bulma jadi terputus-putus karena isak tangisnya. "Gue dapat job... Nis?"
Aku terkesiap. Kapan terakhir kali Bulma dapat job? Sepanjang ingatanku, Bulma selalu tinggal di apartemen. Dia bahkan berperan sebagai semi-asisten rumah tangga di sini, karena para penghuni lainnya sibuk dengan kegiatan masing-masing sehingga terlalu capek untuk bersih-bersih saat pulang. Pokoknya yang kami tahu, apartemen ini selalu rapi dan bersih.
"Lo bahkan nggak ingat kan, Nis?" tuntut Bulma. "Terakhir kali gue dapat job itu satu setengah tahun yang lalu, Nis. Lo bayangin, gue udah nganggur selama itu. Satu setengah tahun, Nis. Satu setengah tahun!"
Ternyata sudah selama itu. Aku merasa bersalah karena nggak menyadari hal ini. "Gue minta maaf, Bul. Gue pikir lo dapat side job atau apa..."
"Bukan salah elo," pekik Bulma pedih. "Tapi salah dunia entertainment ini! Orang gendut kayak gue nggak bakal bisa jadi apa-apa di industri ini!"
Ah.
Aku menelan ludah dengan getir. Bulma benar. Di industri ini, penampilan adalah segalanya. Dua hal yang paling mengerikan bagi seorang artis adalah jadi gemuk dan menua.
"Tapi lo kan rutin dapat naskah dari Tante Irma?" Kucoba mengingat-ingat. "Bukannya baru minggu lalu lo baca-baca naskah buat proyek film?"
"Naskah-naskah itu semuanya sama," keluh Bulma. "Dengan body kayak gini, mustahil gue jadi pemeran utama."
"Sekalipun jadi pemeran pembantu, tapi kan lo masih dapat job?" hiburku. "Lo masih bagian dari GIFTED, Bul. Nggak mungkin lo ditelantarin."
Bulma melepas pelukanku dan berjalan gontai menuju laci. Dia menarik setumpuk naskah yang ujung-ujung halamannya sudah melengkung.
"Film horor," Bulma mengangkat bundel pertama dan menyodorkannya di depan hidungku. "Di sini gue ditawarin jadi salah satu pemeran. Lo tahu screen time gue berapa lama?"
Screen time adalah durasi munculnya seorang aktor atau aktris dalam sebuah tayangan. Satu halaman naskah setara dengan satu menit adegan, jadi naskah satu film panjang berdurasi sekitar sembilan puluh menit kira-kira tebalnya sembilan puluh halaman.
"Tiga menit!" Bulma menjawab sendiri pertanyaannya. "Karakter yang ditawarin buat gue mati di scene kedua. Di setiap film horor, orang gendut selalu mati duluan karena nggak kuat dikejar-kejar setannya."
Saking tepatnya kata-kata Bulma, aku nggak bisa membantahnya.
"Naskah kedua: film drama," Bulma melempar bundel pertama dan menarik bundel berikutnya. "Gue ditawarin jadi Arini..." Bulma membaca keras-keras. "'Seorang janda paruh baya yang ditelantarkan oleh anak tunggalnya.' Umur gue dua puluh lima tahun, Nis. Kenapa gue ditawarin peran 'janda paruh baya'?"
Satu lagi fakta menyakitkan. Wanita gemuk cenderung memerankan tokoh yang (jauh) lebih tua dari usia aslinya.
"Yang ini film romance," Bulma mencabut bundelan lain dengan marah. "Di sini gue ditawarin jadi Lisa, si tokoh utama."
"Nah, kenapa nggak lo terima tawaran yang ini?"
"'Lisa naksir Devangga, CEO tampan di kantornya yang masih single...'" Bulma membaca sinopsis di halaman depan. "'Tapi sayangnya Lisa bertubuh bongsor. Demi mendapatkan Devangga, Lisa melakukan diet ketat dan berhasil kurus dalam dua minggu.' Lagi-lagi gue cuma muncul di tiga scence awal pas si Lisa masih gemuk, setelah itu digantikan sama aktris lain yang lebih langsing sampai akhir film. Screen time gue cuma lima menit!"
Ah. Film tranformasi fisik yang sekedar "memanfaatkan" orang gendut.
"Penawaran lainnya: film komedi," Bulma mencabut salah satu bundel secara acak. "Kenapa orang-orang berasumsi kalau orang gendut itu selalu lucu? Gue aktris profesional, bukan pelawak. Menurut lo apa yang bakal jadi bahan jokes di film ini kalau bukan body gue?"
Uh. Aku sekarang paham apa maksud Bulma. "Gue ngerti, Bul."
"Lo mau bukti lainnya, Nis?" Bulma menghambur-hamburkan naskah di tangannya satu demi satu. "Tawaran iklan: jadi model alat pelangsing badan sebelum si karakter pakai alat itu, after-nya diganti model yang lebih langsing. Iklan sandal terapi lutut, obat diabetes, bumbu nasi goreng, sarung buat shalat, baja ringan..."
"Baja ringan?"
"Gue disuruh dudukin kerangka bajanya buat membuktikan baja itu kuat, tahan beban berat." Bulma melemparkan bundel terakhir sekuat tenaga. Naskah itu terbang ke seberang ruangan. "Semua penawaran yang gue terima berhubungan dengan body gue, Nis. Nggak ada satu pun yang tertarik sama bakat akting gue! Setiap kali gue minta karakter yang serius, gue malah diketawain!"
Awalnya kupikir protes Bulma sedikit mengada-ada, tapi setelah dijelaskan panjang lebar begini, aku paham perasaannya. Bulma punya hak untuk marah. "Dan karena itu lo kepingin kurus?"
Bulma menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis keras. Ya ampun. Pasti Bulma down banget.
"Awalnya gue mencoba nggak ambil pusing, Nis..." Bulma mengaku. "Gue masuk ke industri ini karena Tante Irma bilang gue punya potensi besar. Dia bilang gue bisa jadi superstar."
Potensi besar. Jadi superstar. Tante Irma juga mengatakan kedua hal itu padaku setahun lalu di KFC. Apa ini artinya Tante Irma cuma mengumbar janji manis?
"Tapi ternyata yang dia maksud potensi besar itu body yang besar," lanjut Bulma. "Sejak gue gabung di GIFTED, gue sama sekali nggak pernah dapat peran serius. Dan dapat peran-peran stereotip orang gemuk kayak begitu bikin gue gerah, Nis! Makanya gue kepingin kurus, supaya bisa dianggap serius!"
"Gue tahu lo tertekan, Bul... Dan gue ngedukung niat elo buat kurus. Tapi tolong jangan pakai cara yang menyakiti diri sendiri kayak tadi."
Bulma meremas rambutnya dengan putus asa. "Gue galau, Nis! Gue merasa terjebak di lingkaran setan! Gimana kalau pas gue kurus, gue justru jadi nggak laku karena orang-orang udah terlanjur ngecap gue dengan trademark orang gendut?"
"Gue..." Trademark. Mendadak baru kusadari bahwa posisiku sama dengan Bulma. Yang jadi trademark-ku adalah wajah jutekku ini. Bedanya, aku nggak bisa mengubah wajahku, sementara Bulma masih punya peluang.
"Lo kenapa, Nis?" Bulma menatapku. "Kesambet, lo?"
"Nggak. Gue cuma sedikit capek," kilahku beralasan. Pikiran-pikiran buruk menghantamku. Aku harus segera menghadangnya. "Lo positive thinking aja, Bul. Gue nggak percaya lo bakal kehilangan job pas jadi kurus nanti. Gue bakal bantu elo. Gimana kalau mulai minggu depan, kita pergi nge-gym bareng-bareng?"
Bulma hanya memandangiku selama beberapa saat. Matanya yang bulat bergerak-gerak. Lalu tangisnya pecah lagi.
"Terima kasih, Nis. Lo mau ngertiin gue. Untung elo yang tersisa di apartemen ini. Gue nggak kebayang gimana kalau gue ditinggal sama Nonik, Amel, dan cewek-cewek lain yang sekurus sapu itu. Bisa-bisa gue tambah depresi."
"Lo harus tetap semangat, Bul. Jangan putus asa, ya?"
Bulma menghambur ke arahku. Balas kupeluk dia. Kami berdua berpelukan dan menangis tersedu-sedu, seperti dalam salah satu adegan film tragis.
Bulma membersit di atas selembar tisu. "Gue mau minta tolong satu lagi sama elo, Nis..."
"Apa, Bul?"
"Tolong jangan cerita soal kejadian ini ke Tante Irma, ya?"
Aku mengangguk meski dalam hati tidak mengiyakan. Kalau kondisi Bulma memburuk, mana mungkin aku merahasiakannya dari Tante Irma?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top