5. Yang Nggak Takut Padaku


Menurut tradisi di sini, peringatan Maso Itam dilaksanakan hari Minggu pertama setelah pemakaman. Karena Om Jon dimakamkan pada hari Senin, jadi aku tinggal selama seminggu lagi di Manado dan baru akan kembali setelah Maso Itam.

Dalam seminggu ini, Tante Irma sudah tiga kali menelepon. Manajerku itu menanyakan kapan aku akan balik ke Jakarta. Kontrak baruku sudah diteken, dan persiapan syuting season dua Lovebirds nyaris rampung. Berbeda dengan season satu yang awalnya direncanakan untuk Youtube, kali ini kami dikejar deadline: Netflix mengharuskan kedua belas episode season dua sudah harus tersedia di platform mereka paling lambat awal Desember. Alasannya supaya penonton nggak kehilangan hype kalau dijeda terlalu lama. Sekarang pertengahan Mei. Kami punya waktu sekitar dua bulan untuk syuting, karena hasil syuting masih akan masuk ke tahap pascaproduksi untuk editing, colour grading, audio-mixing, scoring, dan lain-lain. Tahap pascaproduksi inilah yang paling makan waktu.

Biasanya proses produksi sebuah serial dua belas episode makan waktu setahun. Bulan November hanya dihitung dua minggu, karena dua minggu sisanya dipakai untuk promosi. Ini berarti kami harus menyelesaikan Lovebirds season dua hanya dalam lima bulan saja!

Melihat timeline season dua yang super mepet bak celana legging kekecilan ini, aku tahu kami semua akan dituntut bekerja lebih keras lagi. Tapi aku kan aktris profesional. Aku harus menuntaskan tanggung jawabku.

Peringatan Maso Itam itu dimulai dari ibadah di gereja. Keluarga yang berduka diberi tempat khusus di baris depan dekat altar. Aku, Mama dan saudara-saudaraku yang lain duduk berdempetan di tiga baris bangku yang sudah disediakan. Udara terasa pengap karena cuaca panas dan gereja yang penuh. Ditambah lagi aku memakai busana serba hitam. Untunglah ibadahnya singkat. Selesai ibadah, kami berjalan kaki pulang ke rumah, karena akan ada ibadah lagi: yaitu ibadah Maso Itam-nya sendiri.

Kulihat Mama sudah berjalan duluan, ditemani serombongan ibu-ibu lain. Aku tertahan di belakang, karena diajak mengobrol oleh beberapa kenalan di gereja. Mereka antusias menyalamiku dan menanyakan kabarku.

"Edodoeee, Manis! Artis ibukota pulang kampuuung! So lebe cantik ngana, sayang!" sapa Ria, teman sekelasku waktu SMP. "Sini kwa. Ba dekat deng kita. Coba selfie dulu torang dua, supaya kita mo kase maso di IG. Boleh tag pa ngana?"

Seingatku Ria nggak pernah mengajakku ngobrol waktu di SMP. Aku ingat dialah yang menyebarkan gosip Papa meninggalkanku karena tampangku yang galak. Kalau diingat-ingat, aku sakit hati banget padanya. Tapi sekarang dia nempel di sebelahku seakan kami ini sahabat karib.

Aku hanya tersenyum.

"Atau torang dua goyang TikTok jo?" usul Ria penuh harap. "Ngana ada TikTok, kah? Kita pe followers TikTok masih sedikit skali kwa, cuma dua puluh orang kasiang..."

Oh, jadi Ria mendekatiku cuma untuk pansos. Kutolak ajakan goyang TikTok-nya, tapi kuturuti permintaan selfie-nya. Ria langsung mem-posting foto tersebut sambil nge-tag akun @manismaramis di Instagram. Dia nggak tahu kalau semua akun media sosialku dikelola orang-orang agensi. Awal tahun saat Lovebirds booming, media sosialku mendapat seribu notifikasi per hari. Notifikasi yang datang bertubi-tubi itu bikin ponselku hang. Sejak saat itu, Tante Irma mengambil alih pengelolaan akun media sosial para aktor Lovebirds, supaya kami nggak repot. Aku nggak bisa posting sesuatu, atau membalas komentar tanpa persetujuan dari agensi. Netflix amat berhati-hati supaya kami nggak salah ngomong, menyinggung, kasar, dan sejenisnya. Begitu juga dengan tagging dan inbox. Kalau ada yang mengirim pesan ke inbox, maka akan dibalas pesan auto-reply. Aku bersyukur dengan pengaturan ini. Siapa juga yang punya waktu untuk ngecek ribuan notifikasi tiap hari?

Selesai meladeni Ria, aku buru-buru menyusul Mama.

"Manis?"

Seorang laki-laki menghampiriku. Perawakannya tinggi ramping–jenis postur ala model yang bikin pakaian apa saja pas kalau dipakai. Rambutnya sedikit ikal, dan berbeda dengan kebanyakan cowok Manado lainnya yang berkulit putih, kulitnya sawo matang eksotis (karena keluarganya ada keturunan Ambon). Tulang pipinya bagus sekali seperti dipahat, dan senyumnya begitu lebar sampai bikin ikut tersenyum juga.

"Dian!"

Aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman, tetapi Dian meraihnya dan memelukku. Balas kupeluk dia. Aroma parfum cowok yang manis menguar dari kemejanya. Nama laki-laki ini adalah Budianto, dan panggilan aslinya Budi. Tapi waktu kelas satu SD dia sering diejek pas pelajaran membaca: "Ini Ibu Budi. Ini Bapak Budi," makanya dia menggantinya jadi Dian. Rumah Dian hanya terpisah dua rumah dari rumahku. Kami bersahabat karib sejak baru belajar bicara sampai SMA, tapi terpisah pas kuliah. Aku dapat tawaran beasiswa dari kampusku di Jakarta, sementara Dian melanjutkan ke Universitas Sam Ratulangi di Manado, jurusan Akuntansi. Waktu kuliah kami masih sesekali bertukar kabar. Tapi semenjak lulus, kami sudah jarang berkomunikasi.

"Aku turut berduka ya, untuk Om Jon," bisik Dian di telingaku.

"Terima kasih." Aku ingat obrolan terakhirku dengan Dian. Laki-laki ini punya jiwa petualang. Cita-citanya dari kecil adalah keliling dunia, dan dia sudah bikin rencana untuk mewujudkannya. "Aku pikir kamu kerja di kapal pesiar?"

"Nggak jadi," Dian terkekeh. "Sekarang aku kerja di bank."

"Wow," aku tercengang. "Kok bisa?"

Dian melepas pelukannya dan mengangkat bahu. "Efek umur?"

Kami berdua tertawa.

Sebetulnya aku dan Dian mengobrol dengan bahasa Manado. Tapi karena aku yakin banyak dari kalian yang bakal pusing dengan bahasa itu, obrolan ini otomatis diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Dian mundur sedikit dan mengamatiku. Kemudian dia menarik napas dalam-dalam sampai dadanya membusung, lalu mengembuskannya sambil geleng-geleng kecil.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu..." Dia menunjukku dengan kedua tangannya. "Cantik."

Oke.

Kalau cerita ini berhenti di sini, kalian nggak marah, kan? Karena segini aja udah cukup bagiku. I mean, this is a HAPPY ENDING!

DIAN BILANG AKU CANTIIIK! DIA NGGAK TAKUT PADAKU!

Tapi... tunggu dulu. Dian kan memang kenal aku sejak kecil. Dia sudah terbiasa dengan resting bitch face-ku ini. Wajar kalau dia nggak takut. Dan pujian cantik itu... bisa aja dia cuma berbasa-basi, kan?

Nope. Itu pikiran negatif, Manis! Positive thinking. POSITIVE THINKING!

Dian masih mengamatiku, sekarang dia senyam-senyum malu. Aku sampai lupa bahwa laki-laki ini pemalu banget. Pipiku panas. Berani taruhan, Dian berkata jujur. Bagi seorang laki-laki se-pemalu Dian, butuh keberanian besar untuk memuji orang lain seperti ini.

"T-thank you," balasku dengan kurang elegan, karena tergagap-gagap.

Dian menunjuk jalan yang mengarah ke rumahku, mengisyaratkanku untuk jalan sama-sama. Kuturuti ajakannya. Kami berjalan berdampingan, di Minggu pagi yang cerah ini. Jemaat-jemaat dari gereja lain juga memadati jalan-jalan, saling memberi salam lewat lambaian tangan, atau bertukar kabar sejenak. Suasananya begitu kontras dengan Jakarta. Di ibukota, orang-orang cenderung individualistis dan kurang suka berbaur. Meskipun sepuluh tahun belakangan ini Manado pelan-pelan berubah jadi kota modern, aku bangga penduduknya masih mempertahankan sifat ramah, bersahabat dan guyub.

"Kapan kamu balik ke Jakarta, Nis?" tanya Dian.

"Besok," jawabku.

"Cepat banget." Secercah rasa kecewa berkelebat di wajah Dian. "Kenapa nggak tunggu sedikit lagi? Kamu nggak kangen sama kampung halaman?"

"Aku masih kepingin tinggal, tapi harus lanjut syuting."

"Oh, iya." Dian meringis dan menggosok-gosok dagunya. "Aku lupa kalau sekarang kamu udah jadi artis terkenal."

Wah! Apa kata-kataku tadi kedengaran sok pamer? "I'm still me, kok. Teman kamu dari kecil. Manis Maramis."

"Kamu memang..." Dian melirikku. "Manis."

Suhu kedua pipiku meroket. Apa Dian baru saja memujiku lagi? 

Aku baru ingat, waktu SMA ada desas-desus (yang disebarkan Ria), bahwa Dian naksir aku. Dia sempat jadi bulan-bulanan para cowok lain karena jatuh hati pada cewek bertampang kasar sepertiku. Aku nggak pernah menanggapi gosip itu dengan serius–kami kan berteman baik sejak kecil, jadi mana mungkin Dian jadi punya rasa untukku? Waktu itu kupikir otak Dian jadi agak kacau gara-gara pengaruh puber. Lalu gosip itu terus berlanjut dan lama-lama aku jadi penasaran juga. Tapi sampai kami berpisah, Dian nggak pernah mengungkapkan apa-apa, jadi kupikir dia memang nggak serius.

Dan sekarang dia baru saja memujiku dua kali dengan malu-malu begini.

Di novel-novel percintaan, tipe cowok bad boy yang ketus, dingin dan tukang berantem sering banget jadi idola. Tapi aku nggak setuju. Bad boys are simply bad. Jenis cowok-cowok kayak gini nggak perlu disanjung berlebihan. Justru cowok pemalu lah yang lebih ngegemesin. Shy boys are the best!

But Dian is no longer a boy. He's a man now. And quite a handsome one.

"Kenapa kamu nggak main ke Jakarta sesekali?" Pertanyaan itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutku. "Seumur hidup, kamu tinggal di sini, Dian. Kalau memang kamu belum bisa mewujudkan mimpi keliling dunia, setidaknya boleh dong jalan-jalan ke ibukota?"

"Jakarta itu..." Dian mendongak ke langit biru. "Ramai, ya?"

"Banget." Wajahnya dilihat dari samping begini betul-betul sempurna. "Kenapa, kamu takut diculik?"

Dian tertawa renyah. Meski begitu, wajahnya merah padam. "Enggak, sih. Siapa juga yang mau nyulik cowok kucel macam kain lap begini?"

"Kayak kain lap?" Aku ikut tertawa. "Mungkin dulu iya—"

"Ugh," Dian pura-pura tertohok. "Manis jahat."

"Tapi sekarang udah enggak," sambungku. "Makanya kalau orang belum selesai ngomong, jangan dipotong."

"Kalau Manis sih tetap manis dari dulu sampai sekarang, ya..."

Kami berdua tertawa. Kenangan hari-hari di masa lampau menyerbuku. Entah sudah berapa ribu kali aku dan Dian melewati jalan ini bersama-sama, setiap pagi saat pergi ke sekolah, dan waktu sore saat pulang sekolah. Dan sekarang kami melakukannya lagi. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, tapi seolah-olah tidak ada yang berubah dalam momen ini.

Kami melewati rumah Dian. Kuamati ada yang berubah dari garasinya. "Motor kamu ke mana, Di? Kok nggak ada?"

"Tahun lalu kena banjir," jawab Dian. "Udah bolak-balik ke bengkel, tapi nggak benar-benar juga. Jadi aku jual murah aja."

"Wah, sayang banget..."

"Nggak apa-apa. Memang motor tua, kok. Gajiku nggak banyak, makanya masih perlu nabung beberapa bulan lagi untuk beli penggantinya."

Rupanya uang memang masalah semua orang. "Kenapa kamu nggak coba cari pekerjaan di Jakarta?"

"Kenapa sih kamu ngotot banget supaya aku ke Jakarta?" Dian menatapku, ekspresinya berubah tengil. "Jangan-jangan kamu nggak punya teman ya di Jakarta, kayak waktu kita masih sekolah dulu? Makanya kamu kepingin ngajak aku."

"Lho, memangnya salah?" Aku berkilah. "It's nice to have a friend."

"A friend who knows you well..." sahut Dian. "Too well, bahkan."

Ohoho. Sepertinya aku paham maksudnya. "Ngomongin pantai, ya?"

Senyum tipis Dian berubah jadi seringai jahil. Kusodok bahunya, tapi dia malah tertawa. Saat aku TK, Om Jon mengajak kami sekeluarga ke pantai. Dian juga diajak. Begitu melihat air, kami berdua langsung melepas pakaian dan lari telanjang bulat menuju laut. Waktu itu orang-orang menganggap kelakuan kami yang rada barbar itu menggemaskan, tapi sekarang kalau diingat-ingat, memalukan banget. Jadi bisa dibilang aku dan Dian sudah melihat tubuh masing-masing tanpa sehelai benang pun, tapi hei... waktu itu usia kami lima tahun (positive thinking, oke?)

Akhirnya kami sampai di rumah.

"Manis..." Dian berbalik menghadapku. "Aku... boleh minta kontak kamu? Suatu saat kalau aku ke Jakarta, aku mau ketemu dengan sahabat lama yang udah aku kenal dengan too well itu..."

"Tentu," kuambil ponselku dari saku. "Dan aku bakal menyambut kamu di Jakarta dengan tangan terbuka!"

Dian tersenyum. Melihat senyumnya, ada yang bergetar di dalam dadaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top