4. Rumah
Iring-iringan pelayat yang datang ke rumah akhirnya pulang. Ruang depan tampak lengang. Sebelumnya ada peti jenazah Om Jon dan kumpulan sanak keluarga kami di sana.
Anggota keluargaku yang tersisa sudah tepar di sofa yang digeser sementara ke ruang makan. Mereka duduk dengan lesu sambil mengipas-ngipas, berusaha mengusir hawa panas. Peristiwa duka memang nggak hanya menguras perasaan, tetapi fisik juga. Saat melihatku, mereka hanya mengangguk prihatin. Kubalas dengan senyuman, lalu kubiarkan mereka beristirahat.
Ibadah pemakaman Om Jon telah selesai, tetapi prosesinya sendiri masih berlanjut. Sesuai adat istiadat di Manado, setelah ini masih ada Malam Penghiburan. Secara konsep, acara itu bertujuan mulia: untuk menghibur anggota keluarga yang berduka. Namun kenyataannya acara itu adalah ajang para penyanyi-penyanyi di kampung kami untuk unjuk gigi. Keluarga yang berduka justru tambah repot lagi karena para tamu itu harus dihidangkan sesuatu, kan? Bukannya aku protes. Aku senang karena di sini kami semua sangat rukun dan menjunjung tinggi budaya tolong-menolong (istilah bahasa Manado-nya adalah "mapalus").
But sometimes you need time to be alone, right? Just you and yourself. Misalnya di saat-saat sedih seperti ini. Aku berharap kepulanganku kali ini bisa kumanfaatkan sebagai jeda dari kesibukanku yang padat di Jakarta, tetapi rupanya aku keliru.
Aku masuk ke kamar, mencoba menemukan "me time" sebelum persiapan Malam Penghiburan dimulai. Di dalam, kulihat Mama sedang duduk di depan meja rias. Rambutnya tergerai dan dia kelihatan muram. Rupanya Mama juga sedang "me time."
"Nis..." Mama menoleh begitu aku masuk. "Udah makan?"
Mama sudah tinggal selama dua puluh dua tahun di Manado, tetapi masih berbicara dengan logat Jakarta karena dia memang asli Jakarta. Logat Manado-nya yang kaku baru akan dipakai kalau dia mengobrol dengan saudara-saudara kami yang lain atau belanja ke pasar.
"Udah, Ma." Aku duduk di tepi tempat tidur. "Mama baru nangis, ya?"
Mama mengambil saputangan dan menyeka pipinya yang basah. "Cuma keringatan."
"Enam bulan belakangan, Om Jon udah rutin cuci darah, Ma. Aku nggak tega melihatnya."
"Mama tahu. Mama yakin ini yang terbaik buat Om Jon."
Hatiku terenyuh. Om Jon adalah adik Papa–ayahku yang berdarah Manado. Papa bertemu Mama dan menghamilinya saat lagi merantau di Jakarta. Karena malu, Mama diusir oleh keluarganya, sehingga ayahku memboyong Mama ke Manado. Setelah aku lahir, mereka menikah dan hidup cukup bahagia di sini. Tapi waktu usiaku lima tahun, Papa meninggalkan kami dan nggak pernah muncul lagi. Ada yang bilang dia selingkuh dengan wanita lain. Sampai hari ini kami nggak tahu di mana keberadaannya. Mama nggak ambil pusing dan memilih melanjutkan hidup. Karena sudah dibuang oleh keluarganya di Jakarta, dia jadi lebih dekat dengan kakak adik iparnya di sini, apalagi rumah kami berdekatan. Kakak adik ayahku termasuk Om Jon, nggak setuju dengan sikapnya yang lepas tanggung jawab itu. Meski punya keluarga sendiri, Om Jon tetap mengurusi Mama dan aku karena nggak tega. Bagiku, Om Jon sudah seperti ayah.
"Tadi pas landing, Tante Irma telepon," aku mengganti topik, untuk mengalihkan kesedihan Mama. "Katanya proposal untuk season dua udah gol sama Netflix."
"Tuh kan! Apa Mama bilang!" pekik Mama bangga. Ekspresinya yang tadi muram kini berubah cerah. "Nggak mungkin Netflix menahan proposalnya lama-lama. Lovebirds memang terkenal di mana-mana! Setiap kali mau ke pasar, pasti ada aja ibu-ibu yang tanya ke Mama tentang kamu!"
"Nanyain yang baik-baik, kan?"
"Iya, dong." Mama tersenyum cerah. "Semua bangga sama kamu, Nis!"
Aku nggak secepat itu percaya. Dari nada bicaranya, aku curiga Mama menyembunyikan sesuatu. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan anak bahwa para ibu cenderung cuma ngasih tahu berita-berita bagus saja ke anak-anak mereka, dan menyimpan berita buruk di dalam hati. "Aku udah dapat kontrak untuk season dua. Honorku naik tiga kali lipat."
Mama pindah dari meja rias ke sebelahku. "Terus udah kamu teken?"
"Belum..."
"Kenapa? Ada yang mengganggu pikiran kamu, ya?"
Rahasia umum kedua: para ibu selalu tahu. Mereka nggak bisa dibohongi. Insting mereka yang setajam silet itu nggak pernah gagal menyingkap kebohongan anaknya, meski seringkali mereka pura-pura nggak tahu. "Tadi pas aku nunggu di bandara Soetta, aku disiram kopi."
Mama terperangah. Kuceritakan insiden penyiraman kopi yang dramatis tadi. Mama mendengarkan dengan tekun. Di akhir cerita, kebanggaan di wajahnya menyurut sedikit.
"Itu namanya penganiayaan, Nis. Apa sebaiknya kamu laporin ke polisi?"
"Nggak perlu, Ma. Aku rasa ibu-ibu itu cuma lagi kesal karena suaminya juga main gila. Pas ketemu aku, dia cuma menyalurkan kekesalannya aja."
"Tapi kamu disiram kopi!" pekik Mama. "Untung aja itu es kopi, bukan kopi panas. Bisa aja kamu bisa terluka. Kok bisa ibu-ibu itu sampai lupa kamu bukan Carissa, tapi aktris yang memerankan Carissa?"
Kubalik-balik perasaanku, mencoba mencari hikmah dari kejadian itu. "Bukannya itu berarti aktingku benar-benar bagus, Ma? Aku berhasil menyatu dengan karakterku sampai orang-orang berpikir aku betulan Carissa."
Mama mengernyit. Dia kelihatan tidak setuju, tetapi menahan lidahnya. Setelah hening beberapa detik, barulah Mama buka suara. "Carissa itu pelakor, Nis. Bukan wanita baik-baik."
Kuremas tangan Mama. "Aku tahu, Ma."
Mama menatapku berlama-lama. "Dan kamu bukan Carissa. Kamu Manis."
"Aku rasa sekarang setiap kali Carissa Lovebirds disebut, orang-orang pasti langsung kebayang sama tampang judes aku ini, deh."
"Ah, kata siapa? Tampang kamu nggak judes, kok."
"Ma, please..." Mama selalu ngotot mengatakan yang sebaliknya tentang tampangku. Sebagai orang yang melahirkanku, Mama nggak pernah merasa ada yang salah dengan mukaku ini (atau bisa aja sebetulnya Mama merasa bersalah, cuma nggak mengungkapkannya. Who knows?) "Dari kecil aku selalu dijauhi orang-orang karena tampangku ini. Aku udah coba senyum, menyapa duluan, sampai kasih mereka hadiah, tetapi tetap aja mereka semua menjauh."
"Itu salah mereka karena udah nge-judge kamu duluan," kata Mama bijaksana. "Tanpa mengenal kamu, mereka udah ngecap kamu itu judes, galak, pemarah. Padahal kamu nggak seperti itu, kan?"
Hmm... benar juga, sih. "Tapi orang-orang memang begitu kan, Ma? 'Jangan menilai buku dari sampulnya' itu cuma nasihat yang gampang diucapin, tapi nggak pernah dipraktikkin!"
Mama mencebik pasrah. Dia merapikan rambutku yang lepek karena belum keramas dan mencabut seutas benang yang mencuat dari kerah blusku. "Mama cuma khawatir kamu diserang fans lagi, Nis. Hari ini kopi, bisa aja besok air keras."
"Nggak perlu takut, Ma. Insiden tadi cuma kebetulan, kok..." Saat ini pikiran Mama sudah terbebani dengan kepergian Om Jon. Aku nggak mau Mama tambah khawatir lagi gara-gara aku. "Aku yakin kejadian kayak gitu nggak bakal terjadi lagi. Aku udah cerita ke Tante Irma. Dia bilang itu risiko jadi tenar, pasti ada fans dan ada juga haters. Aku udah maklum kok soal itu."
Mama mendesah. "Mama nggak ngerti sama orang-orang yang nge-judge kamu duluan kayak gitu. Mereka salah besar kalau mengira kamu itu jahat."
Aku tertawa getir. "Justru karena tampangku ini aku dapat peran Carissa. Tante Irma selalu bilang dia nggak bisa membayangkan seandainya Carissa itu diperankan aktris lain. Seakan-akan Carissa itu ditulis Sissy khusus buat aku."
Mama diam lagi. Diremas-remasnya saputangan itu. "Kalau begitu, apa yang bikin kamu ragu untuk menandatangani kontrak baru itu, Nis?"
"Aku... mau tanya pendapat Mama dulu."
Mama menaruh kedua tangannya di pundakku dan memutar tubuhku sehingga kami berhadapan. "Mama cuma mau yang terbaik buat kamu. Kalau kamu nggak nyaman jadi Carissa, kamu bisa cari pekerjaan lain, kan? Cuma karena tampang kamu cocok dengan karakter itu, bukan berarti kamu harus selalu jadi tokoh antagonis, kan?"
Kata-kata Mama membuatku tertohok. Harus kuakui, disiram es kopi oleh hater sukses bikin aku galau untuk terus memerankan Carissa di season dua. Bagaimana kalau haters-ku bertambah banyak? Bagaimana kalau aku betulan dicap sebagai pelakor di kehidupan nyata, seperti yang dituduhkan ibu-ibu itu di bandara? Bagaimana kalau orang-orang justru menganggap Manis Maramis-lah yang fiktif, dan Carissa si pelakor yang nyata?
Bisa runyam nih kayaknya.
"Tapi honor di kontrak baruku itu gede banget lho, Ma..." File kontrak yang belum kutandatangani di ponselku bikin aku sadar. "Nyaris tiga kali lipat honor season satu. Kalau tawaran itu kuterima, aku cuma perlu sedikit lagi untuk beli rumah. Aku kan kepingin ngajak Mama balik lagi ke Jakarta, dan tinggal bareng aku. Apalagi sekarang Om Jon udah nggak ada."
"Kalau kamu memang mau ngumpulin uang, kenapa nggak mencoba lagi jadi guru?" usul Mama hati-hati. "Penghasilannya memang beda jauh dengan jadi artis, tapi lama-lama kan kamu bisa dapat promosi. Dan Mama percaya kamu bisa mengatur keuangan untuk ditabung."
"Sekalipun aku kerja sebagai guru di TK internasional paling elit, masih perlu sepuluh tahun untuk mencapai angka yang tercantum dalam kontrak itu, Ma. Mustahil aktris pendatang baru kayak aku bisa dibayar seperti ini di proyek lain. Lagipula aku nggak enak sama Tante Irma."
"Ini bukan soal kontrak, rumah, Tante Irma atau Mama. Ini menyangkut masa depan kamu, Manis..." kata Mama sambil menerawang, menatap seisi kamar. "Mama nggak nuntut kamu beli rumah di Jakarta. Mama tahu rumah di Jakarta mahal-mahal. Kalau memang uangnya belum cukup, toh di sini kita masih punya rumah dan kamu masih bisa tinggal di apartemen GIFTED, kan? Mama nggak apa-apa tinggal di sini. Mama nggak kesepian, kok. Saudara-saudara kita banyak. Mereka peduli sama Mama dan bisa diandalkan."
Tapi sebagai anak, justru aku yang nggak bersedia meninggalkan Mama sendirian lebih lama lagi. Aku ingin mengurus Mama. Sebagai single parent, Mama sudah bekerja keras membesarkanku. Aku ingin membahagiakan Mama dengan jerih payahku.
Kumantapkan tekadku. Memerankan Carissa adalah berkah. Wajahku yang jutek ini akhirnya bisa bermanfaat juga. Bego banget kalau sampai aku menolak tawaran itu. Dan menyangkut masa depan, aku yakin Lovebirds bisa jadi batu loncatan ke proyek lain yang lebih bergengsi. Sekarang saja, namaku sudah melambung begini. Aku ogah selamanya dicap sebagai artis pendatang baru. Aku ingin membangun reputasi sebagai aktris profesional!
"Aku bahagia kok Ma, jadi aktris..." Kupasang senyumku yang paling lebar untuk menenangkan Mama. "Aku akan tetap teken kontrak itu. Aku janji aku bakal baik-baik aja. Tante Irma bilang, agensi bisa nyiapin bodyguard buat jagain aku."
Mama tidak tersenyum. Mendengar kata-kataku barusan, rasa cemas dalam sinar matanya justru bertambah kuat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top