34. Reset
"Yailah, Manis! Jang ba dekat! Pigi jauh-jauh sana!"
"Astaga, galak skali, eh! Kita juga suka mo nonton, toh..."
"Selalu kwa kalo nonton deng ngana, ngana mo spoiler depe cerita!"
"Ih, siapa yang ba spoiler? Ngana sandiri yang tanya depe kelanjutan bagimana!"
"Ah, pokoknya pigi dulu ngana!"
Christy sepupuku, membalik penutup iPad-nya dan melepas headset-nya. Dia mendorongku menjauh. Aku pindah ke ruang keluarga. "Sebetulnya yang tusuk pa Tari itu orang bayaran Carissa, lho."
"MANIS!"
Aku tertawa. Belakangan aku menikmati membeberkan spoiler tentang kelanjutan cerita Lovebirds pada anggota keluargaku. Jahat, sih... tapi, sekali-kali jadi "antagonis" apa salahnya? Setelah kedua belas episode season dua resmi dirilis Netflix, semua orang keranjingan menontonnya. Christy termasuk salah satu yang nge-binge serial itu, dan dia paling sebal kalau aku mulai spoiler kayak tadi. Padahal bukan salahku juga. Lebih sering dia yang bertanya padaku apa yang terjadi selanjutnya. Nah, saat memberitahunya, aku suka pura-pura kebablasan...
Di ruang keluarga aku melihat Mama sedang menonton televisi sambil menyetrika. Di rumah ini, Mama satu-satunya orang yang nggak gandrung sama Lovebirds. Dia sudah mencoba nonton beberapa episode pertama season satu, tapi nggak suka melihat penampilanku sebagai pelakor. Bukannya Mama nggak mendukungku berakting, cuma dia merasa nggak sreg dengan Carissa, karena dia tahu persis aku bukan jenis wanita seperti itu. Jadi di tengah-tengah season satu Mama menyerah, dan nggak pernah lanjut lagi sampai sekarang. Dia cukup puas mengetahui anak semata wayangnya punya pekerjaan halal.
"Ma, sebentar lagi acara si Bulma mulai, lho!"
"Oh, iya!"
Mama mengambil remote dan mengganti saluran. Setelah beberapa saluran, akhirnya kami melihat bumper yang membuka acara Bulma.
"Pas!" kata Mama. Dia mematikan setrika dan pindah ke sofa.
Aku duduk di sebelahnya. Kami menonton bersama. Judulnya Super Bulma, dan sebetulnya ini serial untuk anak-anak. Acara ini cukup terkenal, karena bercerita tentang pahlawan super yang membasmi kejahatan ala-ala Captain Marvel. Selain itu, yang ini serial live action, sehingga terasa beda. Belakangan siaran untuk anak-anak rata-rata berbentuk animasi. Seingatku serial live action anak-anak terakhir tayang di TV sekitar awal tahun 2000-an, pas aku TK. Yang paling membekas di benakku adalah serial pensil ajaib dari India, judulnya Shaka Laka Boom Boom.
Mama tercengang menatap televisi. "Si Bulma bisa akrobat gitu, ya..."
"Iya, dia belajar bela diri buat serial ini."
"Diajarin sama... siapa tuh, manajer barunya yang aneh itu? Mama lupa namanya."
"Darling," jawabku. "Si Darling nggak aneh, Ma. Cuma agak beda aja."
"Maksud Mama nyentrik," koreksi Mama. "Mama suka kok sama Darling. Kan sempat ngobrol sama Mama pas premiere. Kayaknya orangnya baik dan blak-blakan. Pintar jahit juga. Mama takjub sama pita rambut dan kostumnya. Katanya dia bikin semuanya sendiri, lho..."
"Iya, Darling memang multi talented, makanya difitnah sama Tante Irma supaya bisa didepak dari GIFTED."
"Mm-hmm. Darling cerita ke Mama. Katanya si Irma takut tersaingi."
"Banyak orang insecure di dunia hiburan," kataku. "Untungnya sejak pindah ke agensi Darling, Bulma diperhatiin banget. Makanya Bulma bisa dapat proyek ini. Darling sampai bayarin Bulma kursus bela diri demi tampil sebagai Super Bulma."
Super Bulma sedang menghajar seorang penjahat bernama Tuan Tamak yang ceritanya menghipnotis anak-anak di sebuah sekolah dasar untuk mem-bully anak lain yang lebih lemah. Tidak ada adegan kekerasan yang eksplisit (karena bisa digrebek oleh KPI), tapi tetap terasa seru karena Bulma diperlihatkan seolah-olah "menonjok" dan "menendang" si Tuan Tamak sampai keok.
"Kalau rutin latihan bela diri, si Bulma bisa kurus tuh, Nis."
"Iya, tapi dia nggak dipaksa untuk kurus lagi, kok. Justru Bulma dapat peran ini karena gemuk. Buat melawan stereotype..."
Mama manggut-manggut. "Kamu ingat nggak waktu kamu ngajak Mama nonton Wonder Woman di bioskop? Banyak anak-anak yang ikut nonton juga, kan. Mama khawatir anak-anak perempuan bakal berpikir mereka harus jadi tinggi, langsing dan cantik dulu kayak si Wonder Woman supaya bisa jadi pahlawan."
Aku teringat kata-kata Reza tempo hari tentang para selebriti yang menjadi objek fantasi para fans. Aku lupa kalimat persisnya, tetapi kurang lebih Reza bilang bahwa para selebriti adalah kesempurnaan semu yang nggak akan pernah dicapai oleh para fans. Alias nggak realistis, seperti yang Mama bilang.
"Aku senang karena akhirnya Bulma bisa dapat proyek yang sesuai sama kemauan dia. Kalau dia nggak nekat keluar dari GIFTED, depresinya pasti bakal lebih parah lagi."
"Mama juga," kata Mama. "Menurut Mama, serial Super Bulma ini bagus. Anak-anak jadi belajar bahwa semua orang bisa jadi pahlawan, selama mereka punya niat tulus dan berani bertindak. Fisik nggak seharusnya jadi penghalang."
"Dan nggak perlu ada cowok tampan juga untuk menolong sang pahlawan cewek," sambungku sambil mengedik ke arah Mama.
"Yah, perempuan-perempuan tegar seperti kamu dan Mama nggak butuh-butuh amat sama laki-laki," kata Mama sambil tersenyum menggoda. "Apalagi yang kayak Papa kamu itu. Toh selama ini kita baik-baik aja, kan?"
Aku membalas senyum Mama dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Bahu Mama kecil, tidak setegar bahu Dian, tetapi aku tahu bahu ini cukup kuat untuk menyanggaku. Mama lebih kuat dari laki-laki mana pun yang kukenal.
Kami kembali ke menonton. Aku mengucapkan selamat pada Bulma dalam hati. Congratulations, Bul! You did it! You're amazing as a superhero! Aku sudah mengirimkan buket bunga dan hadiah kecil untuknya saat episode pertama Super Bulma tayang. Dari obrolan video call kami, Bulma berkali-kali bilang dia sangat menikmati proyek barunya ini.
"Dian masih show, ya?"
"Iya, dia ikut tur sama Agnez Mo, jadi opening act-nya."
"Teman-teman kamu semuanya hebat, ya..." kata Mama kagum. Mama belum tahu bahwa aku dan Dian sudah jadi lebih dari sekedar teman, tapi aku berencana memberitahu Mama saat Dian dan rombongan tur-nya mampir ke Manado dua minggu lagi. "Kamu nggak kepikiran untuk ambil proyek akting lagi, Nis?"
Hmm, soal itu, ya...
Sudah tiga bulan berlalu sejak terakhir kali aku berhadapan dengan kamera. Sebetulnya banyak yang menawariku proyek, mulai dari iklan, endorsement, jadi brand ambassador, main di serial, sampai film layar lebar. Darling sudah menawarkan diri jadi manajerku, dan aku tahu dia akan memperlakukanku dengan lebih pantas. Dian bilang pidato singkatku waktu konferensi pers itu "mengguncang dunia hiburan." Ditambah kemenangan Starlight serta skandal Tante Irma yang sudah terungkap, aku justru jadi lebih populer lagi. Dan kali ini populer dalam arti positif. Komentar-komentar negatif di akun Instagram official-ku berkurang, meski sudah tiga bulan nggak di-update. Banyak juga yang mengirim pesan lewat Inbox, menyatakan dukungan untukku. Kini semua tahu bahwa aku cuma diperalat oleh Tante Irma. Aku nggak kepingin playing victim, tapi memang itulah yang terjadi. Kuputuskan untuk membiarkan publik yang menilai. Toh bagaimanapun juga, haters dan fans akan selalu ada.
"Aku masih kepingin istirahat, Ma."
"Nggak apa-apa, Mama tahu kamu lelah," Mama meraih tanganku dan memindahkannya ke atas perutnya. "Jangan salah paham, ya. Mama nggak maksa kamu untuk cepat-cepat kerja kok, Nis."
Aku mengangguk. Tabungan yang awalnya kurencanakan untuk membeli rumah di Jakarta belum tersentuh, dan jumlahnya lebih dari cukup untuk menghidupi aku dan Mama. Dari segi finansial, nggak ada yang perlu kucemaskan. Bahkan jika aku nganggur selama tiga tahun ke depan.
"Cuma maksud Mama, kamu harus punya rencana, Nis..." lanjut Mama. "Kamu bilang kamu mau mengajar lagi?"
"Iya sih, Ma. Tapi..."
"Kamu takut dijauhi anak-anak kayak sebelumnya?"
Mama memang paling bisa mengerti aku. Dia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya dan memijat-mijatnya dengan lembut.
"Menurut Mama, kamu bisa kasih anak-anak itu kesempatan, Nis..."
Aku mengangkat kepalaku dari bahu Mama. "Maksud Mama?"
"Anak-anak itu kayak kertas kosong," Mama menunjuk layar televisi. Super Bulma sedang disoraki anak-anak karena berhasil mengalahkan Tuan Tamak. "Mereka nggak pernah menghakimi, kecuali pikiran mereka diracuni oleh orang dewasa. Ketika mereka melihat kamu, mereka mungkin menangis karena takut sama wajah kamu. Tapi bukan berarti mereka menganggap kamu jahat."
Mataku menonton Bulma, tapi telingaku menyimak setiap kata-kata Mama.
"Selama ini, setiap kali ketemu anak kecil yang menangis karena ketakutan sama kamu, kamu yang menjauh lebih dulu, Nis. Kamu nggak kasih kesempatan anak-anak itu untuk mengenal kamu lebih dekat. Padahal Mama pikir, kalau kamu mau kasih mereka kesempatan sedikit aja..." Mama mengedik ke televisi lagi. Super Bulma melambai pada anak-anak yang baru ditolongnya, sebelum terbang ke angkasa. "Mereka bakal tahu kalau kamu itu manis. Dan ketika mereka udah tahu bahwa kamu itu baik, mereka nggak akan ambil pusing lagi sama tampang kamu."
Kata-kata Mama membuatku tergugah.
Selama ini aku selalu melihat situasi di TK itu dari sudut pandangku. Mama benar, aku langsung panik dan menarik diri begitu anak-anak itu menangis. Aku tidak memberi mereka kesempatan untuk mengenalku lebih jauh.
"Dan yang paling penting, anak-anak itu nggak nonton Lovebirds," Mama melepas tanganku yang tadi digenggamnya. "Mereka nggak tahu apa-apa soal Carissa. Kamu bisa jadi Manis Maramis di depan mereka. Kalau pun ada orang dewasa yang kasih tahu anak-anak itu tentang Carissa, kamu bisa menjelaskan ke mereka bahwa itu semua cuma akting, kan? Anak-anak itu pasti akan mengerti."
Mama bangkit berdiri dan pindah kembali ke meja setrika. Dia melanjutkan pekerjaannya sambil sesekali melirik ke televisi.
"Mama tahu kamu suka anak-anak," kata Mama lagi. "Sekarang kamu udah bebas, Nis. Mama rasa kamu nggak punya alasan untuk nggak menuruti passion kamu lagi. Hidup ini penuh kesempatan. Mama nggak percaya kesempatan cuma berhenti di yang kedua aja. Kalau ada kesempatan ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, apa salahnya dicoba lagi selama masih bisa?"
Aku menghela napas panjang dan membiarkan kata-kata Mama meresap dalam pikiranku. Kalau aku betul-betul ingin mencoba lagi, bukankah sekarang saat yang tepat? Aku sudah bebas, seperti yang Mama bilang. Aku memang pernah ditolak di enam TK sebelumnya. Tapi kalau kesempatan ketujuh itu datang, apa aku akan melewatkannya begitu saja karena takut untuk mencoba lagi?
Kalau aku bisa mengumpulkan keberanian untuk menghadapi serigala-serigala keji di dunia hiburan, kenapa aku harus gentar di depan anak-anak TK?
Aku bangkit berdiri, menyisir rambutku dengan tangan dan mengikatnya. Rambutku terasa agak kasar dan sedikit mengembang, efek berbulan-bulan dibiarkan tanpa perawatan yang benar.
Kurasa aku sudah cukup beristirahat.
Sudah waktunya untuk mencoba lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top