33. Lovebirds 2

"Senyum semuanya, ya! Manis, ayo senyum!"

Kutarik bibirku semakin lebar. Aku sudah tersenyum. Kenapa mereka belum sadar juga bahwa tampangku memang sudah galak dari sononya?

Puluhan lampu blitz bekerja sekaligus, seperti disuruh untuk membutakan mata kami dalam sekejap. Aku berusaha keras untuk tidak berkedip. Di sebelahku, pipi Valen bergetar, dia juga sedang berkutat mempertahankan senyumnya.

Para wartawan itu meminta kami berganti pose. Anwar menyarankan pose saranghaeyo, dan kami semua membuat membuat hati dengan jari. Serangan blitz lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Bunyi puluhan shutter yang menjepret bergema. Setelah mataku melihat titik-titik biru di mana-mana, barulah para wartawan itu berhenti.

Kami kembali ke tempat duduk masing-masing. Entah disengaja atau tidak, seseorang mengatur kursiku agar pas berada di depan foto wajahku yang terpajang di backdrop. Kuperhatikan Valen, Reza dan Kak Ussy juga duduk di depan foto masing-masing. Tante Ida minta tukar kursi dengan Kai, karena kursinya terletak di paling ujung. Kai menuruti dengan enggan.

Di barisan penonton, di belakang para wartawan yang berjongkok untuk meliput kami, kulihat Mama duduk bersama Dian, Bulma dan Darling. Dian dan Mama tersenyum lebar padaku, tapi Bulma kentara sekali risih dengan perhatian orang-orang pada Darling. Hari ini direktur Angels Talent Management itu memakai wig model bob berwarna pink terang dengan pita polkadot raksasa sebesar payung, dan body suit dari lateks seperti baju astronot. Melihatnya mengingatkanku pada jamur. Kulihat Alonzo berada di antara para petugas keamanan lain, mereka membentuk semacam pagar manusia yang memisahkan para pengunjung mal yang datang menonton dengan kami. Sopir merangkap bodyguard itu beradu pandang denganku, dan dia mengacungkan jempol. Rencananya acara ini akan dilakukan di gedung bioskop, tetapi dua jam sebelum dimulai, jumlah orang yang ingin ikut terus membengkak sehingga lobi bioskop penuh sesak. Pihak panitia langsung gercep meminjam teras food hall dan mengubahnya menjadi arena baru.

"Baiklah kalau begitu..." Monique yang hari ini bertugas menjadi MC, berbicara lewat mik-nya. "Kita mulai sekarang, ya!"

Konferensi pers itu dimulai.

Seperti ada yang menghipnotis, hari ini para wartawan itu sangat beradab. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan nyeleneh, atau yang menyerang pribadi. Sebagian besar tentang season baru Lovebirds. Pasti mereka jadi alim begini karena sudah tahu kebenarannya.

Seperti yang sudah kuduga, kami kebagian pertanyaan mengenai peran kami masing-masing. Karena ini adalah hari premiere, kami diperbolehkan bercerita lebih tentang plot Lovebirds, tetapi aku nggak tertarik membahas Carissa panjang lebar. Toh penonton akan tahu sendiri tentang sepak terjang pelakor terfavorit se-Indonesia itu saat mereka menonton nanti.

Kami semua bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan lancar. Suasana terasa santai, dan aku juga bisa rileks karena hari ini nggak harus pakai kostum aneh-aneh. Kami semua memakai kaos hitam dengan logo Lovebirds 2. Untuk bawahannya dibebaskan, jadi aku memilih jins pensil. Satu-satunya yang terlihat "resmi" adalah Ridho, dia memakai blazer di luar kaosnya. Priscilla Lee si orang Netflix nggak pakai kaos seragam itu, tapi dia bos-nya di sini dan nggak ada yang berani memprotesnya.

Di tengah-tengah sesi tanya jawab, salah seorang perempuan berkacamata melambaikan tangan. Monique mengangguk padanya, dan salah satu anggota panitia menyerahkan mik pada wanita itu.

"Lovebirds menang besar di Starlight Awards kemarin. Apa teman-teman punya ekspektasi yang sama untuk season ini?"

Kami semua saling pandang, bertukar kode lewat lirikan untuk menentukan siapa yang akan menjawab. Tante Ida berdeham – dia sudah geregetan ingin bicara dari tadi, cuma selalu diserobot oleh yang lain. Di lokasi syuting, Tante Ida adalah aktris paling senior. Tapi bagi seorang aktris, senioritas usia punya arti yang berbeda: jadi kurang dianggap.

"Kami berharap yang terbaik untuk season ini," jawab Tante Ida. "Apalagi Valen sama Ussy belum menang, kan. Mudah-mudahan Starlight berikutnya bisa menang."

"Apa Manis juga berharap dapat Starlight yang kedua?" lanjut si wartawan.

"Terima kasih," langsung kuserobot sebelum ada yang menjawab. "Tapi saya rasa yang lain juga udah gebet mau menang. Jadi untuk Starlight berikutnya, saya harap yang lain bisa dapat kesempatan."

Lalu aku sengaja tersenyum pada Kak Ussy. Wanita itu membalas, meski matanya mendelik kecut. Haha, aku justru senang melihatnya kesal. Aku sudah mendapat hikmah dari insiden malam anugarah itu. Kak Ussy memang berhasil bikin aku malu, tetapi dengan bodohnya dia justru menyabotase peluangnya sendiri untuk menang, kan? Boleh-boleh saja aku jadi meme dan bahan olok-olok nasional, tetapi seperti yang Tante Irma bilang waktu itu, lama-lama orang akan melupakannya. Maksudku, ada artis seperti Anastasya yang video porno-nya sudah ditonton seluruh negeri, tetapi masih bisa dapat job. Dibandingkan Anya, rasanya kejadian wardrobe malfunction-ku serta muntah itu nggak parah-parah amat.

Ada lagi tangan yang terangkat. "Dengar-dengar syuting untuk season tiga bakal dimulai awal tahun depan?"

Giliran Ridho yang menjawab. "Betul."

"Apa casting yang sama akan kembali lagi, atau akan ada tambahan aktor dan aktris baru?"

Para aktor dan kru Lovebirds terdiam. Aku sengaja menunggu.

"Tidak semua casting akan kembali," sahut Ridho, suaranya gamang. "Manis Maramis sudah memutuskan untuk tidak memerankan Carissa lagi."

Para wartawan itu langsung heboh. Selusin tangan terangkat bersamaan, mereka semua serempak mengajukan pertanyaan sampai Monique kebingungan memberi kesempatan. Lensa-lensa kamera dimiringkan ke arahku. Ridho menjauhkan mik-nya dan duduk bersandar dengan tampang kalah. Kak Ussy masih tetap tersenyum, tetapi aku tahu kalau dia sedang berakting. Valen menepuk pundakku, dan tertunduk.

Di kursinya, Mama mengangguk dalam-dalam.

Kutarik mik-ku lebih dekat, supaya suaraku terdengar jelas. "Ini adalah season terakhir saya bergabung dengan Lovebirds."

"Kenapa, Manis? Apa ini gara-gara penangkapan Irma Primadona?"

"Apa kamu akan bermain di proyek baru, Manis?"

"Tapi kamu menang Starlight gara-gara memerankan Carissa, Manis!"

Monique susah payah meminta para wartawan itu untuk tenang. Mereka tidak peduli lagi. Hanya ada satu mik yang disediakan panitia untuk penanya, jadi para wartawan itu adu keras meneriakkan pertanyaan mereka. Beberapa bahkan sudah maju ke arahku, tetapi Alonzo dan rekan-rekannya mendorong mereka kembali ke garis batas.

"Selama satu setengah tahun ini saya sudah mendapat kesempatan yang luar biasa untuk bekerja bersama orang-orang terbaik di bidang ini," jawabku dengan mantap. "Dan saya sangat bersyukur karenanya. Memerankan Carissa mengajarkan saya banyak hal..."

"Apa kamu akan comeback, Manis? Toni Ekanila sempat hiatus selama dua puluh lima tahun sebelum terjun kembali di akting..."

"Saya belum tahu, tetapi untuk saat ini saya sudah memutuskan untuk mengejar passion saya yang lain, dan itu bukan berakting."

Mata Mama berkaca-kaca. Dian merangkul pundak Mama dan mengusap-usap lengannya.

"Satu setengah tahun yang lalu, Irma Primadona bertemu dengan saya di KFC," lanjutku. "Waktu itu saya nggak punya uang, gagal melamar pekerjaan dan terancam kehilangan tempat tinggal. Tante Irma menawari saya untuk ikut audisi sebagai Carissa, karena menurutnya tampang saya cocok untuk tokoh ini. Well, seperti yang kita semua tahu, rupanya tampang saya sangat cocok untuk karakter pelakor seperti Carissa. Saya bahkan dapat Starlight untuk peran itu, meski adegan penerimaan pialanya nggak sesuai bayangan saya..."

Orang-orang tertawa kecil. Beberapa tersenyum maklum.

"Saya punya resting bitch face – buat teman-teman yang berpikir saya lagi marah atau bad mood, sayang sekali... kalian salah. It's just my face."

Lebih banyak yang tertawa.

"Saya dulu menyebut tampang saya ini sebagai wajah pembawa masalah. Gara-gara memerankan Carissa, saya disadarkan bahwa tampang ini juga bisa membawa berkah. Namun banyak orang yang keliru dan hanya menilai saya berdasarkan wajah saya ini. Saya tidak menyalahkan siapa pun. Di industri hiburan, look adalah segalanya. Carissa adalah tokoh antagonis fiktif yang saya perankan. Berakting sebagai Carissa sangat menantang, tetapi saya khawatir jika terus memerankan Caissa, akan ada lebih banyak kesalahpahaman. Saya lebih dari sekedar bitch face ini. Saya Manis Maramis, bukan Carissa. Orang-orang terdekat saya tahu betul bahwa saya adalah kebalikan dari Carissa. Saya tidak ingin kehilangan jati diri saya karena peran ini, dan saya juga ingin dinilai sebagai diri saya sendiri, bukan sebagai karakter fiktif yang cuma muncul di layar kaca..."

Bulma menyeka air matanya. Mata Darling bergerak-gerak, tetapi aku tidak bisa melihatnya karena terhalang timbunan bulu mata palsu.

"Oleh karena itu saya menyerahkan tokoh Carissa kembali kepada Netflix. Sebentar lagi tim produksi akan melakukan open casting untuk mencari pengganti saya. Dari lubuk hati terdalam, saya mengucapkan selamat berjuang kepada aktris mana pun yang akan terpilih. Saya juga minta dukungan teman-teman sekalian untuk aktris tersebut. Saya percaya dia bisa memerankan Carissa dengan baik. Terima kasih."

Darling bangkit dan bertepuk tangan. Para wartawan berebutan mengajukan pertanyaan, tetapi sudah tak ada lagi yang bisa kukatakan. Monique berteriak untuk mengatasi kegaduhan itu, dia mengingatkan bahwa waktu konferensi pers sudah selesai. Anwar dan Ridho mengambil alih menjawab beberapa pertanyaan dengan terburu-buru.

Akhirnya kami terpaksa harus menyudahi acara itu karena waktu screening sudah hampir dimulai. Kami diminta panitia untuk naik ke gedung bioskop. Aku dan para aktor serta kru digiring lebih dulu oleh para petugas keamanan. Mama terpaksa harus ditinggal di belakang, tetapi Dian ada bersamanya. Di studio nanti, aku sudah request ke panitia supaya bisa duduk dekat Mama dan Dian.

Saat naik ke eskalator, Kak Ussy melangkah ke sebelahku.

"So you decided to quit, huh?"

Dia tidak menatapku dan tetap memamerkan senyumnya, karena dia tahu kami masih diliput kamera.

"Betul," jawabku.

"Yakin? Kamu akan jadi apa setelah ini?" Wanita itu melempar lirikan merendahkan padaku. "Mengejar passion kamu itu? Jadi guru TK?"

"Nggak ada yang salah dengan menjadi guru TK."

"Kamu akan kehilangan uang, popularitas dan karier kamu."

"Bukan masalah," jawabku yakin. "Mengajar juga menghasilkan uang, kok. Memang nggak banyak, tapi itu cukup buat aku. Nggak seperti Kak Ussy, aku nggak perlu uang segunung atau popularitas seabrek untuk merasa nyaman dengan diri aku sendiri. Aku baik-baik aja sebelum semua ini, dan aku yakin bakal tetap baik-baik aja sesudah ini."

Wajah Kak Ussy menegang. Dari jarak dekat begini, aku bisa melihat ada kerutan samar di sudut matanya, tanda-tanda penuaan yang menjadi aib bagi para wanita di dunia hiburan. 

"Kamu sedang menghancurkan diri kamu sendiri, kamu tahu? Without all of these, you'll be nothing!"

"You're wrong. I'll still be me," balasku. "Aku akan tetap jadi diriku sendiri, karena aku nggak pernah menilai diri aku berdasarkan uang atau popularitas. Aku nggak sempurna, tetapi aku udah belajar mencintai kekurangan aku. Dan sekalipun orang lain nggak suka dengan kekurangan aku atau merasa terusik karenanya, it doesn't matter. Orang-orang yang sungguh-sungguh peduli sama aku, mencintai aku dengan kelebihan dan kekurangan aku. I just have to be the best version of myself. Aku nggak lagi insecure, dari kecil aku tahu aku berbeda dan aku berhenti membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Dan yang terpenting, aku nggak perlu menghancurkan orang lain cuma untuk merasa nyaman dengan diri aku sendiri. Suatu hari aku pasti akan menua. Apa pun pekerjaannya, pasti akan ada orang-orang baru yang lebih muda yang akan menggantikan aku. Aku nggak akan merasa tersaingi oleh mereka. When that day comes, I've decided to age with grace and wisdom, not with hatred and anger..."

Kak Ussy menoleh padaku dan memelototiku. Segala ketenangan palsu yang dipertahankannya dengan susah payah dari tadi, luruh dalam sekejap. Dia tampak murka.

"Kamu nggak punya bukti apa-apa! Kejadian malam itu—"

"Aku juga nggak berniat membuktikan apa-apa," potongku, merasa jijik dan muak dengan kepura-puraan yang ditampilkan seorang Ursula van Oostman. "Aku nggak mau hidup di masa lalu. Aku udah memaafkan dan melupakan apa yang terjadi malam itu. Cuma satu hal, Kak... aku mau Kak Ussy tahu aku bukan dan nggak pernah menjadi saingan Kak Ussy. When will you realise that you are the Ursula van Oostman, a superstar? Menurutku, bintang nggak seharusnya merasa tersaingi oleh satu lampu kecil. Keduanya bisa bersinar dengan caranya sendiri-sendiri."

Kami tiba di gedung bioskop. Aku melangkah duluan, meninggalkan Kak Ussy di belakangku. Wanita itu berhenti dan merapat ke dinding sambil menutup mulutnya dengan tangan. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi padaku. Aku bisa merasakan dia sangat terpukul. Herannya aku malah lega. Aku sudah mengatakan semua yang ingin kukatakan.

Di pintu masuk studio, aku berpapasan dengan Reza Laparpujian. Dia tampak sangat tampan malam ini. Kai berdiri di sebelahnya, sedang berceloteh dengan seorang teman, tetapi pundaknya menempel hangat di lengan Reza. Setelah kupikir-pikir, rasanya mereka memang cocok. Kai yang pendiam serta pemalu sanggup meredam Reza yang glamor dan diva. 

Apa justru karena itu mereka berdua pacaran? Ya ampun, kenapa aku baru sadar sekarang?

Reza mengulurkan tangannya padaku. Kusambut uluran tangannya, dan kami bersalaman. Lalu Reza menarik tangan Kai, dan mereka berdua mendahuluiku ke dalam studio.

"Udah siap?" Dian datang bersama Mama.

Aku mengangguk. "Siap."

Kami bertiga bergandengan dan masuk ke dalam studio, siap menonton penampilan terakhirku sebagai Carissa, si tokoh antagonis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top