32. Bukti
Beberapa hari setelah pertemuan di rumah Darling, aku masih belum memberitahu siapa-siapa. Cuma Tyas dan Bulma yang sudah tahu apa yang sudah terjadi. Dian juga, aku langsung meneleponnya sepulang dari rumah Darling dan membeberkan semuanya. Dian geger. Dia juga tidak menyangka bahwa Tante Irma tega berbuat begitu padaku.
Besok promo Lovebirds season dua akan resmi dimulai. Para pemain akan "diutus" ke berbagai talk show, dan acara-acara on-air serta off-air lainnya untuk mempromosikan serial itu. Karena banyak yang menanti-nantikan season dua ini, Netflix jor-joran mengucurkan dana untuk promo secara besar-besaran. Mereka menargetkan kenaikan penonton dua kali lipat dibanding season sebelumnya. Berbagai banner digital Lovebirds sudah tayang di media sosial dan situs-situs pilihan. Banner fisik juga ikut dipasang di spot-spot yang strategis.
Aku diminta mampir ke kantor Tante Irma untuk mengambil jadwalku. Sekitar enam puluh event sudah dijadwalkan untuk disambangi para pemain. Rangkaian promosi ini akan dibuka lewat konferensi pers di salah satu mal, disusul nonton bareng episode pertama. Episode pertama ini amat spesial karena durasinya satu setengah jam – mirip seperti film panjang.
Aku nggak yakin mampu mengikuti semua acara promosi ini. Aku nggak ingin bertemu dengan Kak Ussy, Reza, apalagi Tante Irma. Valen pengecualian. Semoga aku kebagian jatah promo bareng dia.
Hari ini Dian mengajakku untuk dinner bersama. Aku bilang padanya bahwa aku lagi malas keluar rumah. Dian mengusulkan untuk memasak bareng di apartemenku. Itu ide bagus, jadi aku langsung mengiyakan. Karena sibuk syuting, sudah lama sekali aku nggak memasak – selama ini aku memang nggak punya alasan untuk masak. Tante Irma menyiapkan katering menu sehat untukku, ditambah pula aku dilarang makan makanan berat selain buah dan salad. Aku nyaris lupa rasa makanan yang sesungguhnya.
Tapi bodo amat dengan diet itu. Aku teringat bayanganku sewaktu fitting di butik Tex Saveria. Aku bukan lagi langsing, tapi kurus. Dan bukan jenis kurus yang sehat pula. Kalau Mama melihatku tubuhku yang sekarang, aku pasti akan diomeli habis-habisan.
Sekitar jam empat sore, Dian muncul. Kupikir kami akan pergi belanja bahan makanan dulu, tetapi dia menenteng empat kantong plastik berisi makanan.
"Aku pikir kita perlu sedikit sentuhan rumah..." Dian meletakkan kantong-kantong itu di atas meja dapur dan mengeluarkan isinya. "Jadi gimana kalau kita bikin Tinutuan?"
Oooh. Bubur Manado! "Perfect! Pas banget, nggak bikin maag-ku kambuh!"
Dian tersenyum lebar. Sebagai anak-anak asli Manado, kami berdua tahu persis caranya bikin Tinutuan. Makanan yang cocok untuk menu sarapan, makan siang atau makan malam ini gampang sekali dibuat, selama bahan-bahannya komplit.
Kami mulai bekerja. Aku sedikit kagok karena harus menyentuh kompor setelah sekian lama, tapi ternyata Dian sangat cekatan di dapur. Aku terpukau dengan kesigapannya.
"Ngomong-ngomong, Nis... Aku bakal mulai show minggu depan," kata Dian sambil mencincang bawang putih. "Kamu juga udah mulai promo, kan? Tadi aku lihat billboard Lovebirds lho, pas mampir di supermarket."
"Mm-hmm. Sejujurnya aku udah nggak mood lagi soal Lovebirds, Di."
"Itu wajar, Nis." Dian berhenti sebentar. "Kamu udah kasih tahu Mama?"
"Belum. Aku belum berani."
"Kalau Tante Irma?"
"I don't know, Di... Kalau bisa, aku cuma pingin berhenti aja. Aku nggak sanggup menghadapi Tante Irma. Setelah Kak Ussy... This is just too much."
"Aku ngerti perasaan kamu..." Dian menyisihkan bawang putih yang sudah dicincangnya ke sebuah mangkuk dan mengambil batang bawang untuk dicuci. "Tapi apa kamu bisa langsung berhenti sekarang? Bukannya kamu harus ikut semua acara promosi itu?"
"Iya, sih. Aku harus ikut semua kegiatan promo-nya. Di kontrakku tertulis begitu."
Aku memotong tahu menjadi segitiga dan memanaskan minyak untuk menggorengnya. Tinutuan nggak lengkap tanpa tahu goreng.
"Aku cuma nggak menyangka mereka semua... tega berbuat begitu."
"Jangan menyalahkan diri kamu sendiri, Nis."
Kucemplungkan tahu yang sudah dipotong-potong itu ke dalam minyak panas. Minyaknya berdesis dan menggelegak, persis seperti perasaanku saat ini. "Apa menurut kamu aku ini naif, Di? Karena nggak menyadari sepak terjang Kak Ussy sama Tante Irma sejak awal?"
Bunyi pisau Dian yang sedang bekerja di atas talenan terhenti. "Manis, aku kenal kamu dari kita masih bocah." Dia meletakkan pisau itu dan menghadapku. "Aku tahu persis kamu nggak seperti itu."
"Kalau aku bukan naif, terus apa namanya?" Aku balas menghadap Dian. "Bukannya aku ini tolol sekali sampai bisa sebegitu gampangnya ditipu sama Kak Ussy dan Tante Irma?"
"You have a good heart," tukas Dian. Dia meremas bahuku dan menarikku sedikit ke arahnya. "Kamu nggak pernah berpikiran negatif sama orang lain. Menurutku kamu nggak bodoh atau naif, Nis. Kamu cuma melihat sisi terbaik dari seseorang."
Melihat sisi terbaik dari seseorang.
Positive thinking.
Selama ini aku selalu dijauhi orang-orang karena tampang judesku. Setiap kali orang melihatku, aku tahu mereka akan menganggapku jutek. Dan aku selalu berusaha membantah pikiran negatif itu dengan berpikir positif. Selalu kutanamkan kata-kata penyemangat dalam diriku sendiri: 'Mereka nggak bakal menjauhi kamu karena tampang kamu. Mereka nggak bakal takut sama kamu. Mereka bakal menyukai kamu...'
Meski hasilnya selalu nggak sesuai dengan kenyataan, aku terus melatih cara berpikir seperti itu. Aku yakin suatu hari orang-orang nggak akan nge-judge aku dari wajahku ini. Setelah bertahun-tahun berharap dengan optimis, sifat itu akhirnya menyatu dalam diriku. Aku hanya bisa memikirkan sisi terbaik dari seseorang.
"Mungkin aku harus lebih curigaan," kataku, mendadak merasa sangat bersalah. "Supaya aku nggak cepat terhasut atau terlena kayak begini."
"Bukan salah kamu kalau Ursula dan Tante Irma menipu kamu seperti ini," kata Dian dengan tegas. "Mereka yang jahat, bukan kamu."
"Tapi nggak semua manusia itu baik kan, Di? Memang naif namanya kalau cuma melihat sisi baik dari seseorang. Aku mulai merasa positive thinking itu cuma bagus secara teori, tapi nggak bisa diterapkan di kehidupan nyata."
"Semua orang dasarnya baik," balas Dian. Matanya yang jernih itu melebar. "Sesuatu membuat mereka menjadi nggak baik. Apa pun alasannya, kita nggak tahu. Tapi apa salahnya melihat sisi baik dari seseorang? Justru sekarang ini aku merasa terlalu banyak orang yang negative thinking sama orang lain. Terlalu curigaan. Terlalu parno. Saking negatifnya, ketika ada orang yang berbuat baik, kita jadi pesimis dan mulai nuduh yang enggak-enggak. Bukannya justru sikap begitu yang salah?"
Aku terhenyak.
Aku teringat alasanku menyukai Dian. Hubungan kami awet bertahun-tahun karena dia berbeda dengan orang lain. Ketika cowok-cowok lain terlanjur kagok untuk berkenalan denganku, Dian malah mendekatiku. Dia tidak menghakimiku berdasarkan tampangku. Dia tahu bahwa tampangku memang judes, tetapi Dian melihat jauh di balik itu. Dian melihat diriku yang sebenarnya. Dia mengabaikan kekuranganku – wajahku ini, dan hanya melihat kelebihanku.
Dia sama sepertiku. Melihat sisi terbaik dari seseorang.
Kami berdua mirip sekali.
"Kalau dunia hiburan ini betul-betul penuh trik busuk seperti yang Darling bilang ke kamu," lanjut Dian. Dia sudah begitu dekat sehingga aku bisa melihat diriku terpantul di iris matanya. "Aku mohon sama kamu, jangan biarin dunia hiburan itu mengubah kamu. Jangan biarin kejahatan dan kelicikannya bikin kamu jadi jahat dan licik juga. Tetap jadi Manis yang seperti ini. Manis yang selalu berpikir positif dan nggak judging. Karena kalau kamu berubah, aku nggak akan mengenali kamu lagi..."
Dian menarik napas dalam-dalam dan mulai bernyanyi.
"And I hope you'll stay the same...
'Cause there's nothing about you I would change..."
Suaranya yang merdu bergema di dapur. Lagu "Stay The Same" dari Joey McIntyre yang selalu kami nyanyikan waktu SD, saat sedang belajar bahasa Inggris.
Itu salah satu lagu favoritku. Dian masih mengingatnya.
Dian membuka tangannya dan tanpa sedikit pun keraguan, aku menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Sekali lagi aku diingatkan bahwa dia tidak takut padaku.
Dan aku menyukainya.
Amat sangat menyukainya.
...
Keesokan harinya, aku sengaja datang pagi-pagi ke kantor Tante Irma untuk meminta jadwal promosiku supaya nggak ketemu dengan Kak Ussy atau Reza. Tapi aku terhenti di lobi, karena di sana Tante Irma sedang berdebat dengan tiga orang polisi.
Manajerku itu sedang mencak-mencak. "Saya nggak melakukan itu!"
"Kami hanya mengantarkan surat panggilan penyidikan," jawab salah satu polisi sambil melambaikan selembar dokumen. "Ibu Irma Primadona diminta ke kantor kami di waktu yang ditetapkan di surat ini, untuk penyelidikan."
"Penyelidikan apa? Omong kosong!" Suara Tante Irma melengking nyaring. "Saya nggak ngapa-ngapain, kok! Manis itu artis saya! Saya manajernya!"
Gavin si sekretaris, melihatku di dekat pintu masuk dan cepat-cepat mendatangiku. "Kak Manis, tunggu di kantor atas aja, ya."
Para polisi itu berbalik dan melihatku juga. Mereka memberi hormat dengan sopan, sepertinya sudah tahu siapa aku. "Selamat pagi, Mbak Manis Maramis."
Aku mengangguk pada mereka. "Selamat pagi juga, bapak-bapak."
"Manis!" Tante Irma menghambur ke arahku. "Coba kamu jelasin ke para polisi ini! Masa mereka nuduh Tante mau menyabotase karier kamu? Itu semua bohong, kan? Kamu tahu Tante nggak akan pernah ngelakuin hal seperti itu!"
"Kami hanya menindaklanjuti keterangan dari saudara ML alias Mak Lambe," kata si polisi yang membawa surat. "ML mengaku menyebarkan hoax karena menerima uang dari Ibu Irma. Oleh karena itu, kami mengundang Ibu Irma untuk memberikan keterangan di kantor. Nanti akan kita lakukan penyelidikan lanjutan."
"Itu bohong!" jerit Tante Irma berang. "Mak Lambe memfitnah saya!"
"Akan kita putuskan mana yang fakta dan mana yang bohong setelah semua pihak terkait sudah memberi keterangan," lanjut si polisi. "Pihak Reza Laparpujian juga mengaku bahwa selama bekerja untuk proyek Lovebirds ini, beliau mendapat tekanan dari Ibu Irma sebagai casting director, untuk ikut mendukung hoax yang disebarkan Mak Lambe soal hubungannya dengan Manis Maramis. Reza mengaku Ibu Irma akan mengancam akan menyebarkan gosip yang bisa menghancurkan kariernya kalau dia tidak bersedia untuk bekerja sama."
Sekonyong-konyong aku merasa amat bangga pada Reza.
"Reza Laparpujian!" dengus Tante Irma dengan nada jijik. "Si banci itu! Dia cuma kesal karena hubungan sesama jenisnya—"
"Kami juga menerima informasi bahwa acara reuni Manis Maramis dan ayahnya di televisi tempo hari adalah setting-an," lanjut si polisi, tanpa menggubris Tante Irma. "Makanya kami ingin minta keterangan Bu Irma soal itu juga. Kalau terbukti benar, hal tersebut bisa dianggap sebagai pembohongan publik."
"Setting-an?" Tante Irma mulai histeris. "Siapa yang kasih informasi ini ke bapak-bapak sekalian? Pasti yang namanya Darling, kan? Dia memang benci sama saya! Selama ini—"
"Kebetulan Mbak Manis ada di sini," potong polisi yang lain sambil mengedik sopan padaku. "Karena ini menyangkut Mbak Manis, apa Mbak tidak keberatan untuk ikut memberikan keterangan? Kami akan mengirimkan surat panggilan untuk Mbak Manis hari ini."
"Manis!" Tante Irma menyambar tanganku dan mengguncang-guncangku dengan keras. Wajahnya merah karena marah, dan urat-urat di matanya mencelat. "Kasih tahu ke para polisi ini bahwa semuanya cuma kerjaan Mak Lambe! Tante nggak bersalah!"
Kusentakkan tanganku hingga terlepas dari Tante Irma. Manajerku itu terkejut dan ingin menyerangku, tetapi Gavin menahannya.
"Tentu bapak-bapak." Kupasang senyum terbaikku pada para polisi itu. "Saya bersedia. Kebetulan saya tahu orang lain yang juga bisa memberi keterangan tambahan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top