31. Darling

Mak Lambe ditangkap?

Perasaanku bergejolak. Aku terperangkap antara ingin mengejar Papa yang kabur, atau bertanya kepada para wartawan itu tentang penangkapan si biang gosip.

"Selama ini Mak Lambe selalu menyerang kamu lewat gosip-gosipnya," desak wartawan yang lain, mik-nya teracung begitu dekat hingga nyaris menyodok daguku. "Apa dengan tertangkapnya orang ini, kamu merasa lega, Manis?"

"Saya..." Mataku mencari-cari sosok Papa. Dia sudah menyelinap di antara mobil-mobil yang sedang diparkir, dan menuju ke gerbang keluar. "Soal itu—"

"Apa kamu tahu bahwa Reza Laparpujian yang melaporkan Mak Lambe?" timpal wartawan di sebelah kiriku. "Apa Reza sempat bilang ke kamu bahwa dia ingin melaporkan Mak Lambe ke polisi, Manis?"

Apa katanya? Reza yang melaporkan Mak Lambe?

"Sebentar..." Papa berhenti di depan sebuah mobil. Aku kenal Mercedes Benz metalik itu. Itu mobil Kak Ussy! "Saya harus—"

"Manis ada janji penting."

Tiba-tiba ada yang memotongku. Dari belakang, Tyas muncul. Si penata rias itu memakai kotak peralatannya yang besar untuk menghalau para wartawan. Dia menggaet tanganku dan menarikku menjauh.

"Yas, kenapa?"

"Lo ikut gue sekarang, Nis. Penting!"

"Tapi bokap gue... Dia ternyata dibayar! Dia—"

"Ssst!" Tyas menyuruhku diam dan mengedik ke para wartawan yang masih menunggu kami. Tyas berpaling dan memasang senyum bersalah pada orang-orang itu. "Minta maaf ya, teman-teman. Kita permisi dulu, udah terlambat, nih."

Tyas menarikku ke arah yang berlawanan: Papa ada di gerbang depan, sementara kami bergerak menuju salah satu mobil di sudut dalam parkiran. Aku ingin melepaskan diri, tetapi para wartawan itu berbondong-bondong mengikutiku. "Yas! Lo mau bawa gue ke mana?" Aku ngotot menarik Tyas ke arah Papa. "Lihat, itu ada Kak Ussy! Dia lagi ngobrol—"

"Iya gue tahu! Jangan sampai Ussy lihat elo, Nis!"

"Kenapa? Tante Irma gimana?"

Tyas mengkertakan giginya. Dia pura-pura membetulkan rambutku sambil berbisik di telingaku. "Please, lo harus ikut gue sekarang! Lo mau tahu jawaban dari semua masalah ini, kan?"

Lho, kenapa Tyas bicara seperti itu? Apa jangan-jangan dia agen ganda seperti yang selama ini kucurigai? Tapi bukankah Kak Ussy yang menjebakku? Kak Ussy muncul di parkiran dan bertemu dengan Papa. Pasti Kak Ussy yang menyuap Papa dengan uang itu, kan? Tapi kenapa Kak Ussy melakukannya? Apa dia belum puas memperlakukanku di malam anugrah Starlight itu?

Kupikir drama tentang ayahku sudah selesai, tapi rupanya masih ada konspirasi lain yang belum terungkap.

"Manis?" Para wartawan itu memelas. "Jawab pertanyaan kita dong..."

Pilihanku adalah menghadapi para wartawan itu, atau mengikuti Tyas entah ke mana dia membawaku. Namun rupanya dia menuntunku ke arah mobilku. Alonzo sudah bersiaga. Dia membuka pintu kabin belakang dan mendorongku dengan Tyas ke dalam. Tirai-tirai ditutup, dan Alonzo melompat ke kusir sopir.

Tyas menepuk pundak Alonzo. "Kita ke sana sekarang! Keluar lewat pintu yang satunya lagi aja!"

Ke sana? Ke mana?

Herannya, Alonzo mengangguk paham. Aku penasaran setengah mati, tapi Tyas tidak menggubrisku. Dia sibuk merapatkan tirai-tirai supaya nggak ada kamera yang mengintip kami. Alonzo memutar mobil dengan mulus, kemudian kami keluar lewat gerbang yang satunya lagi. Aku tak bisa melihat Papa dan Kak Ussy, karena jendela-jendela sudah tertutup tirai.

Setelah cukup jauh meninggalkan stasiun TV, barulah Tyas mengembus lega. Dia menyeka wajahnya yang berkeringat dengan selembar tisu.

"Jadi..." tanyaku. "Lo menculik gue, Yas?"

"Bukan, Nis. Kita lagi berangkat ke tempatnya Darling."

"Darling?"

"Iya," kata Tyas. Dia duduk tegak lalu mengikat rambutnya yang terurai. "Darling bisa menjelaskan tentang semua yang menimpa elo selama ini."

...

"Saya memutuskan untuk melaporkan saudara ML ke polisi karena merasa nama baik saya dirusak oleh berita-berita miring yang disebarkan yang bersangkutan di media sosial..."

Wajah Reza Laparpujian memenuhi layar televisi. Jenggot halus kelihatan jelas di dagunya, sepertinya dia belum bercukur selama beberapa hari. Selain itu, lawan mainku itu kelihatan tenang meski dikerubungi sekitar lima puluh wartawan.

"Saya amat berterima kasih kepada kepolisian karena bergerak cepat dan berhasil menangkap ML ini," lanjut Reza dengan mantap.

Para wartawan berebutan ingin bertanya. Seorang gadis muda menyerobot duluan. "Jadi semua gosip yang diberitakan Mak Lambe itu bohong, Reza?"

"Betul," jawab Reza melalui mik. "Hubungan saya dan Kai Elian hanya sebatas pekerjaan, tidak lebih."

"Tapi foto-foto yang beredar waktu itu—"

"Seperti yang sudah saya jelaskan," tepis Reza dengan lihai. "Waktu itu Kai hanya mampir di mobil saya untuk beristirahat. Kami ketiduran dan AC mobil-nya rusak sehingga kami kegerahan di dalam."

"Bagaimana dengan Manis Maramis? Apa hubungan kalian yang selama ini diberitakan oleh Mak Lambe tidak benar?"

Reza tertegun. Beberapa wartawan yang wajahnya ikut muncul di televisi karena berdiri di belakang Reza, menahan napas dengan tegang.

"Saya dan Manis Maramis adalah rekan kerja. Kami berhubungan baik."

Para wartawan itu menjadi gaduh. Mereka mendesak Reza untuk memberi jawaban yang lebih spesifik, tetapi Reza hanya tersenyum simpul. Hotman Yaris, pengacara kondang yang ditunjuk Reza untuk mewakilinya, mengambil alih meladeni para wartawan itu.

"Kenapa Mak Lambe menyebarkan gosip-gosip seperti itu?" Seorang wartawan berambut keriting berteriak nyaring. "Apa dia disuruh seseorang?"

"Nanti kita tunggu penyelidikan dari polisi," sahut Hotman Yaris. "Intinya pihak Reza Laparpujian melaporkan saudara ML atas dugaan pencemaran nama baik sekaligus penyebaran berita bohong. Untuk sekarang, segitu dulu, ya. Makasih!"

Darling mengibaskan tangan. Tyas memencet tombol di remote, dan layar televisi itu mati.

Tadinya kupikir kami akan pergi ke kantor Angels Talent Management, agensi milik Darling. Tetapi Alonzo malah mengantar kami ke sebuah rumah di daerah Jakarta Timur. Tyas bilang terlalu berisiko pergi ke kantor Darling – dia khawatir ada wartawan yang mengikuti kami.

Rumah Darling terdiri dari dua lantai, dan seperti pemiliknya, rumah itu juga eksentrik. Dari luar, bangunannya terlihat seperti balok yang hanya dilapis semen kasar, dan bagian dalamnya mirip museum barang-barang aneh. Perabotannya nggak matching, seakan dibeli dengan buru-buru. Kalau Tante Irma memilih memenuhi kantornya dengan foto-foto dan piala, ruang tengah rumah Darling penuh peralatan menjahit. Bergulung-gulung kain, mulai dari sutra sampai kulit, tumpukan wig warna-warni, manik-manik, perhiasan, syal bulu panjang yang sepertinya dibuat dari ratusan ayam sampai sepatu berbagai model ada di sini. Rupanya ini tempat Darling bereksperimen membuat baju-bajunya yang out of the box itu. Rasanya seperti berada di ruang kerja penata kostum kabaret.

Si pemilik rumah sendiri sedang berdiri di sebelahku. Saat bertemu tadi, aku nyaris tak mengenalinya. Dia hanya memakai kaos oversize dan celana jogger. Tanpa tumpukan bulu mata palsu, wig, kostum mencolok, dan sepatu bot sepaha, Darling kelihatan begitu normal.

"So..." Darling menyalakan sebatang rokok. "Dia masih belum mengaku."

Tyas meringis. Aku tahu yang dimaksud Darling adalah Reza.

"Reza pernah bilang ke aku, dia nggak akan pernah bisa menjadi dirinya sendiri selama masih jadi artis."

"He's a coward," dengus Darling. "But with balls. Pengecut yang berani."

"Karena melaporkan si Mak Lambe?" timpal Tyas.

"Pasti karena dia udah had enough," Darling mulai mondar-mandir. "Muak sama semua gosip itu. Kasihan sama Kai juga."

Aku bergumam setuju. Reza sudah mengakuinya sewaktu di apartemenku.

"Jadi siapa Mak Lambe ini sebetulnya?" Aku sudah repot-repot ke sini dan nggak akan pulang sebelum mendapatkan 'jawaban' yang dijanjikan Tyas. "Apa dia orang yang mengendalikan Reza?"

"Bukan," kata Darling. "Mak Lambe ini juga dibayar."

"Sama Tante Irma," sambung Tyas.

"Tante Irma?" Apa lagi ini? "Kenapa Tante Irma membayar orang kayak Mak Lambe untuk nyebarin gosip macam-macam tentang aku sama Reza?"

"Publisitas," jawab Tyas. "Kalau kepingin terus tenar di negara ini, artis harus selalu bikin sensasi."

"Dan kamu kurang sensasional, Darling..." Darling memakai rokoknya untuk menunjukku dengan lagak menyerang. "Kurang drama. That's not good for publicity. For your branding."

"Sebentar..." Aku mencoba merangkaikan informasi-informasi baru ini. "Jadi selama ini Tyas bekerja untuk kamu, Darling? Kamu sengaja memasang Tyas di GIFTED untuk mengawasi aku?"

"Jangan ge-er duluan," tegur Darling sambil tertawa. "Well, how to say this?"

"Strategi bisnis?" saran Tyas. "Tindakan penyelamatan?"

"Strategi bisnis," sambar Darling puas. "Irma Primadona memanfaatkan para talents-nya, Manis. Bagi Irma, kalian itu cuma komoditas; alat penghasil uang. Suatu saat si talent akan sadar bahwa dia cuma dibikin kayak sapi perah. Nah, di saat itulah Tyas bergerak, menawarkan talent malang itu untuk pindah ke agensi yang lebih baik."

"Agensi kamu," kataku.

"Persis," Darling tersenyum tipis.

"Tapi itu cara yang jahat!"

"Really?" Alis Darling yang nyaris botak melengkung naik. "Apa kamu pikir ketika saya menawarkan pekerjaan ke Bulma, saya bersikap jahat? Let me ask you this: siapa yang jahat? Manajer yang membiarkan talent-nya nganggur selama delapan belas bulan karena sang talent mau dapat proyek yang serius, atau orang seperti saya, yang memberi pekerjaan seperti yang diinginkan talent itu?"

"Tante Irma nggak ngebiarin Bulma nganggur!" protesku. "Bulma rutin dikasih proposal untuk proyek. Bulma aja yang menolak, karena—"

"Karena semua proyek-proyek itu cuma memanfaatkan fisik gemuknya," potong Darling tak sabar. "Irma sudah membentuk brand Bulma sebagai artis gemuk. Body bongsor Bulma itu adalah nilai jualnya! Jadi ketika Bulma menolak pekerjaan yang mengeksploitasi tubuh besarnya itu, dia jadi nggak bernilai lagi di mata Irma. Nggak ada nilai jualnya! Do you get it, now?"

Tante Irma memang pernah menyebut Bulma sebagai artis tipe P – picky. Dia juga memintaku menasihati Bulma supaya lebih realistis soal tubuh gemuknya.

"Masih nggak percaya?" Darling menudingku lagi, kali ini dengan gemas. "Karena tampang kamu itu, Irma langsung memutuskan branding yang cocok buat kamu adalah sebagai tokoh antagonis. Makanya dia daftarin kamu untuk ikut audisi sebagai Carissa, si pelakor. Guess what? Kamu langsung keterima, kan? Padahal kamu bukan siapa-siapa, main iklan pun belum pernah. Tapi itu nggak masalah buat Irma. That face..." Darling memutar-mutar tangannya di depan wajahku, seperti mengelap kaca kasat mata. "Is a bitch face. Perempuan nggak benar. Lonte. Irma berharap kamu bisa bersikap sesuai brand yang dia ciptakan itu, tetapi kamu bikin dia kecewa. Hidup kamu terlalu lurus, Manis. And in this business, flat is boring. You have a bitch face, but you are not a bitch. That's why Irma membayar orang brengsek macam si Mak Lambe untuk bikin gosip-gosip tentang kamu. Supaya publik melihat kamu seperti brand yang dirancang Irma: seorang antagonis."

Aku kehilangan kata-kata. Tante Irma selalu bersikap baik padaku. Setiap kebutuhanku selalu dipenuhinya. Sementara tuduhan Darling ini...

"Tapi brand sebagai pelakor itu bikin kamu diserang haters, kan?" Darling terus nyerocos, menuding-nudingku seperti ibu guru yang galak. "You hate it. Kamu nggak nyaman dengan serangan-serangan itu. Kamu mulai berkeluh kesah ke Irma: bilang udah lelah jadi tokoh antagonis. Kepingin berhenti. Tyas cerita ke saya semua curhatan kamu di ruang rias. And you know what, Irma nggak suka. Dia menganggap kamu seperti Bulma, mencoba mengganti brand yang udah susah payah dia ciptakan. Irma paling benci kalau ada yang menentang dia..."

"Coba kamu ingat-ingat, Nis..." kata Tyas hati-hati. "Tante Irma selalu membujuk kamu supaya pikir-pikir lagi kalau mau keluar dari Lovebirds, kan? Itu udah cukup sebagai bukti. Simpel aja, si Tante nggak mau kamu berhenti sebagai Carissa. Lovebirds jadi pundi-pundi uang terbesar buat GIFTED saat ini. Kalau kamu keluar, si Tante bakal rugi besar..."

Ya ampun...

Kepalaku seperti mau pecah.

Jadi rupanya Tante Irma juga ikut "bermain" di belakangku. Sekarang aku tak tahu lagi harus mempercayai siapa. Tampaknya setiap orang yang kupercayai justru ingin menusukku diam-diam. What's wrong with these people?

"Jadi soal Papa aku itu..." Aku menarik napas, menghirup oksigen banyak-banyak untuk menjernihkan otakku yang ruwet. "Apa Tante Irma..."

"She did that too," kata Darling. Dia mematikan rokoknya yang baru terbakar setengah dan mulai memainkan kuku-kuku palsunya. "Irma membayar Papa kamu itu, sebagai salah satu 'drama' yang dirancangnya buat brand kamu. Seperti yang sekarang udah kamu sadari, Papa kamu itu aslinya nggak menyesali perbuatannya sedikit pun. Awalnya Irma kepingin bikin kamu terlihat seperti anak durhaka – satu lagi sifat yang pas untuk seorang tokoh antagonis – tapi kamu merasa gerah dan mulai menyebut-nyebut soal mau keluar. Rencana Irma terancam gagal, makanya dia membujuk kamu dengan bikin reuni setting-an itu. Dia pikir kalau drama yang ini selesai, kamu bakal tetap mau menjadi Carissa."

"Sayangnya rencana Tante Irma jadi kacau karena diam-diam Ussy juga punya niat untuk menjatuhkan kamu," lanjut Tyas. "Si Tante berharap karena kamu udah masuk nominasi Starlight, setidaknya kamu udah nggak insecure lagi dengan peran kamu sebagai tokoh antagonis. Kamu nggak kepingin menang, dan Tante Irma juga tahu kalau Ussy yang akan menang. Kemudian insiden di malam anugrah itu terjadi. Tante Irma kelabakan, dia tahu kamu malah makin ogah tetap memerankan Carissa setelah dipermalukan habis-habisan di acara Starlight itu. Tante Irma nggak menyangka bahwa Ussy ikutan 'main' karena merasa kurang diperhatikan sama si Tante..."

"She's always like that. Ursula van Oostman... that bitch..." tukas Darling, nada kebencian begitu kental dalam suaranya. "Selalu ingin jadi pusat perhatian dan bersedia melakukan segala cara untuk menghancurkan siapa saja yang berani menghalangi dia. You're not her first victim, Manis."

"Kak Darling juga pernah jadi korban Ussy," kata Tyas. Dia mengedik ke sebuah foto tengah tumpukan kain. Baru kusadari bahwa itu adalah satu-satunya foto di ruangan ini. Itu foto yang sama seperti yang terpajang di kantor Tante Irma. Tapi tidak seperti Tante Irma, Darling tidak memperlakukan foto itu dengan spesial. Malah foto itu nyaris tak kelihatan karena tertutup barang-barang.

"Apa ini soal... 18.30?" tanyaku. "Tentang Starlight Awards lima tahun lalu itu?"

Darling menelan ludah dengan pahit dan mengangguk. "Selama ini Irma pasti bilang ke kamu bahwa sayalah yang menyebabkan kematian Irfan. Saya iri karena Irfan lebih memilih Reza ketimbang saya, untuk memerankan Devan. Begitu, kan?"

Oh, tidak. Jangan yang ini juga. "Itu... bohong?"

"I wrote it, 18.30. It was my story!" Darling menunjuk dirinya sendiri, jari-jarinya yang kurus sampai bergetar karena emosinya meluap-luap. "Saya menulis naskahnya. Irfan bilang nama saya akan tercantum sebagai penulis naskah. Kami nggak menyangka 18.30 bisa menang besar di Starlight tahun itu. Tapi Irfan malah mengeklaim bahwa ide 18.30 semua berasal darinya – Irfan sama sekali nggak mengakui peran saya di proyek itu! Irma dan Ussy tahu soal ini, tapi mereka berdua berusaha menutup-nutupinya. Padahal saya dan Ussy berteman baik.

Waktu itu Ussy sedang berusaha main di film-film yang lebih berbobot – sebelumnya dia cuma aktris spesialis film horor. Irma berjanji Ussy bakal lolos audisi proyek film besar berikutnya, asal dia setuju menutup-nutupi perbuatan jahat Irfan. Demi mencapai tujuannya itu, Ussy mengkhianati persahabatan kami. Dia dan Irma mengarang cerita soal saya yang iri sama Reza Laparpujian, padahal saya nggak iri sama sekali. Saya hanya menuntut hak atas karya saya: yang seharusnya pantas mendapat piala Starlight itu adalah saya, bukan Irfan Primadana. Kamu bisa tanya ke anak-anak GIFTED yang pernah terlibat di 18.30. Mereka tahu kejadian yang sebenarnya, tetapi nggak berani buka mulut karena takut dipecat Irma."

"Kecuali gue," sahut Tyas. "Beberapa anak eks GIFTED lain yang tahu soal ini ikutan cabut, dan bareng Kak Darling kita bikin Angels Talent Management. Jadi bukan Kak Darling yang 'mencuri' mereka dari GIFTED, seperti yang dituduhkan Tante Irma. Gue tahu Kak Darling diperlakukan nggak adil, dan sejak saat itu gue setuju jadi mata-mata dia di GIFTED. Gue bertekad membantu artis-artis GIFTED yang dijadiin korban sama Tante Irma, termasuk elo, Nis..."

Darling mengibas-ngibaskan tangannya seperti orang yang kegerahan, lalu berkacak pinggang. Dia duduk di sebelahku, dan menyentuh lututku.

"That's the truth," katanya lembut. "Maaf kalau nggak semanis yang kamu pikirkan. Kamu udah tahu yang sebenarnya sekarang. So now I'm asking you, what are you gonna do, Manis?"

"Aku... belum tahu." Aku bersandar dalam-dalam ke kursi dan menutup mata karena mendadak pening. "Aku masih syok. Kenapa semua... orang-orang itu, begitu nekat?"

Darling terbahak-bahak sampai serak. Jakunnya yang hari ini tidak tertutupi syal bulu bergerak naik turun. Dia mengertakan giginya dan mencubit daguku.

"Money, Darling..." katanya. "Welcome to the showbiz, where it is all about money!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top