30. Money Talks
Penonton bertepuk tangan, dan Keke mengatakan sesuatu, tetapi tak ada setitik bunyi pun yang masuk ke telingaku. Seakan ada yang menyedotku dan pria asing ini ke dalam ruang kedap suara dan mengurung kami berdua di sana.
Dia begitu asing, sampai-sampai terasa tidak nyata. Tak terhitung berapa banyak kata yang terucap dari mulutku dan mulut Mama karena membicarakan orang ini. Dan saat orang tersebut muncul, melenggang begitu saja dari backstage, dan duduk di sebelahku.
Aku tak bisa mempercayai ini.
Aku sama sekali tak mengingat wajahnya. Maka kuturuti insting pertamaku: mempelajarinya. Mencari kemiripan fisik, sekecil apa pun itu, bahwa aku dan pria di sampingku ini berhubungan darah. Bahwa dia adalah ayahku, dan aku anaknya. Kupikir dia lebih tinggi dariku, tetapi kuperhatikan puncak kepala kami sejajar. Tubuhnya biasa-biasa saja; tidak kurus, dan tidak gemuk juga. Wajahnya bersiku, tetapi kelihatan lemah. Rambut klimis ala era delapan puluhan, dengan beberapa garis uban yang tidak ditutupi. Alis tebal dan menukik, mata lebar, cuping hidung yang tipis, serta bibir yang penuh.
Dia lebih mirip Om Jon daripada aku. Satu-satunya kemiripan di antara kami berdua adalah warna kulitnya yang putih kemerahan, seperti kulitku. Hidung kami juga agak mirip, tetapi selebihnya aku menyerupai Mama.
"Nah, Manis..." Suara Keke merambat perlahan-lahan ke telingaku, seperti diucapkan dari dalam air. "Gimana perasaan kamu?"
Pria itu memutar tubuh hingga menghadapku, dan lurus-lurus menatapku. Sorot matanya tajam, seperti orang yang berkemauan keras. Kupikir setidaknya dia tampak menyesal, setelah menghilang selama tujuh belas tahun.
"Manis?" panggil Keke lagi.
Aku betul-betul tidak tahu harus merespon apa. Tak ada getaran haru atau sensasi tertentu saat menatap pria ini. Tahun-tahun panjang yang kulalui sebagai anak tanpa ayah telah memutuskan ikatan batin di antara kami.
Tiba-tiba pria itu membuka tangannya dan menghambur memelukku. Aku kaget mendadak dipeluk seperti ini. Penonton ber-oooh tegang. Band memainkan musik melankolis. Diam-diam Keke mengeluarkan kotak tisu dari laci mejanya.
"Manis..." Suranya serak, seperti seorang perokok berat. "Maafin Papa..."
Aku tahu semua orang yang sedang menonton berharap aku menangis atau setidaknya mengatakan sesuatu, tetapi aku tak sanggup melakukannya. Bahkan sekedar membalas pelukan orang ini pun aku tak bisa.
"Papa betul-betul menyesal, udah ninggalin kamu sama Mama selama ini."
"Iya..." Hanya itu yang bisa kukatakan.
"Selama ini Papa ingin ketemu kalian..." Papa mulai sesengukan. "Tapi Papa terlalu malu. Lalu saat melihat kamu di televisi, Papa sadar, Papa udah terlalu lama menahan diri. Papa mengumpulkan keberanian. Papa ingin memperbaiki kesalahan selama ini..."
Pelukan ini membuatku tidak nyaman. Kulirik Keke. Dia sedang menonton dengan mata berkaca-kaca, ikut terbius reuni yang "mengharukan" ini. Padahal aku berharap sang host melakukan sesuatu supaya aku terbebas dari pelukan Papa.
"Iya, Pa..." Kupegangi pundak Papa dan kudorong dia sedikit, supaya melepaskanku. "Manis... mengerti."
Papa betul-betul menangis. Kata-kata tercurah dari mulutnya, menceritakan apa yang dia lakukan selama tujuh belas tahun ini. Sebagian besar ucapannya berubah menjadi gumaman tak jelas karena bercampur isakan tangis. Gelombang emosi menghantamnya dengan begitu dahsyat sampai dia terbungkuk-bungkuk.
Salah satu kamera mendekat, ingin mengambil close-up wajahku. Dari bidikan lensa, aku bisa merasakan harapan besar dari semua orang yang sedang menonton: mereka ingin aku menangis juga. Aku pura-pura mengusap mata dan memakai poniku untuk menutupi pipi. Aku tidak bisa menangis. Sedikit pun aku tidak tersentuh. Apa ini yang disebut mati rasa?
"Manis..." Setelah dua menit membiarkan suasana mengharu-biru, barulah Keke angkat bicara. "Kamu mau bilang apa sama Papa kamu?"
"Aku... senang karena Papa sehat..."
Mata Keke yang memandangiku melebar, meminta lebih.
"Selama ini aku juga... ingin tahu tentang keberadaan Papa... Tapi ternyata..." Aku terhenti. Ternyata apa? Aku tak menyimak kata-kata Papa.
"Ternyata selama ini Papa kamu ikut kapal asing, ya," sambung Keke. Papa manggut-manggut setuju. "Makanya kalian terpisah..."
"Betul," jawabku, tambah bingung harus menjawab apa.
"Om Johan sendiri, apa yang dirasakan setelah melihat Manis sekarang udah jadi artis sukses?" tanya Keke sambil menyeka matanya dengan tisu.
"Saya bangga sekali," kata Papa, butir air mata besar-besar bercucuran di pipinya. "Dan menyesal karena telah menelantarkan Manis. Sangat menyesal."
"Sayang sekali hari ini ibunda Manis nggak bisa datang ke studio," Keke memberitahu para penonton. "Tapi Mama pasti nonton dari rumah kan, ya?"
Aku mengangguk membenarkan. Papa menjulurkan tangannya untuk menggenggam tanganku. Kamera masih menyorot kami, jadi kulakukan saja.
"Nah, tim Cuap-cuap sekarang sudah terhubung lewat telepon dengan ibu dari Manis Maramis..." lanjut Keke, dan sekonyong-konyong aku merasa disambar petir. "Ada Mama Anita di Manado. Halo, Mama?"
Keke tidak bilang soal ini saat briefing tadi. Tapi sudah terlambat untuk bereaksi sekarang. Biarlah, toh Mama tahu tentang reuni ini. Aku ingin mendengar reaksi Mama.
"Ya, halo?" Suara Mama yang dikeraskan lewat speaker di atas meja Keke, terdengar di studio.
"Mama sehat-sehat di Manado, Ma?" tanya Keke.
"Iya," jawab Mama, sama sepertiku tadi.
Keke mulai mewawancarai Mama. Tapi sama sepertiku, Mama tidak bereaksi berlebihan. Suaranya tetap tenang, dan tak ada isak tangis. Reuni ini tidak membawa efek apa-apa pada kami berdua karena aku dan Mama sudah mati rasa.
Keke kembali bertanya padaku, rupanya belum menyerah memancing tangisku. Aku menjawab sekedarnya. Justru Papa yang makin emosional. Dia menangis terus sepanjang waktu dan berkali-kali bilang dia menyesal. Untuk mengulur waktu, aku terpaksa menceritakan perjalanan karierku yang masih seumur jagung ini. Kesannya aku sedang memberi "update" pada Papa tentang kehidupanku yang dengan sengaja dilewatinya itu. Papa meremas tanganku dan memelukku lagi berkali-kali. Kuladeni saja dia. Di seberang sana, Mama lebih banyak diam. Aku tahu persis apa yang dirasakannya.
Keke tidak menyinggung soal perselingkuhan Papa. Sepertinya alasan yang tadi diucapkan Papa yaitu ikut kapal asing, sudah dianggap sebagai alasan yang kuat bagi seorang ayah untuk menelantarkan keluarganya selama tujuh belas tahun. Seharusnya Keke memuji ketabahan dan kegigihan Mama yang membesarkanku sebagai single parent, dan keteguhannya memegang janji pernikahan dengan tidak menikah lagi. Tapi itu tidak terjadi. Yang terus mendapat sorotan hanyalah Papa, sosok asing yang menghilang sekian lama ini dan sekarang muncul di depanku sambil sesengukan meminta maaf.
Di segmen terakhir, aku sudah tidak tahan lagi.
Kuputuskan untuk merangkul Papa dan mengatakan dengan suara yang sengaja disedih-sedihkan, bahwa aku sudah memaafkannya. Tangisan Papa pecah lagi. Keke dan para penonton bertepuk tangan, ikut terharu pada reuni yang begitu menyentuh ini. Kami berpegangan tangan lagi dan berangkulan seperti ayah dan anak perempuan yang saling menyayangi, lalu tersenyum ke arah kamera. Akhirnya acara usai, dan seseorang berteriak "OFF!"
"Maaf," aku bangkit berdiri. "Mau ke toilet."
Lalu aku segera kembali ke backstage. Satu lagi drama sudah selesai.
...
Aku terus ke ruang rias. Tyas masih duduk di depan televisi, tetapi Tante Irma dan Ambar nggak kelihatan.
"Si Tante ke mana, Yas?"
"Tadi ada terima telepon, Nis." Tyas bangkit dan meregangkan bahunya. "Gimana? Udah lega?"
"Lumayan."
Tyas memicing. "Kok lo kelihatan biasa aja gitu?"
"Lo berharap gue nangis bombay kayak bokap?"
"Yah..." Tyas memindah-memindahkan bobotnya di antara kedua kaki. "Maksud gue, bokap lo kan kelihatannya nyesal banget, Nis."
Percuma kalau kujelaskan pada Tyas apa yang kurasakan. Tyas nggak akan paham. Aku hanya melakukan ini demi terbebas dari gosip-gosip receh Mak Lambe. Bagiku dan Mama, sosok "Papa" sudah mati bertahun-tahun silam. Aku diam saja.
Pintu ruang rias diketuk. Tyas yang membukakannya.
"Mbak Manis, apa masih mau ketemu Om Johan?"
Perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari bahwa 'Om Johan' yang dimaksud adalah ayahku. "Ehm, sebentar lagi, ya? Soalnya ini... kontak lens aku bergeser, gara-gara nangis tadi."
Tyas menatapku dengan alis terangkat, tetapi diam saja. Sang juru rias tahu aku nggak pakai kontak lens. Kru itu pergi. Aku minta Tyas untuk menggerai rambutku yang hari ini disanggul supaya memberi kesan cewek rapuh yang gampang menangis. Sebetulnya aku cuma mengulur waktu saja. Aku betul-betul kepingin pulang.
"Si Tante ke mana, nih? Gue mau telepon Alonzo," kataku.
"Lo udah mau balik?" tanya Tyas. "Nggak mau ketemu bokap lo lagi?"
Pinginnya sih begitu. Tapi drama penuh air mata di stage tadi sebaiknya tetap kulanjutkan. Setidaknya sampai kami semua meninggalkan gedung ini.
"Kalau begitu gue mau ngecek bokap dulu," kataku beralasan. "Gue lupa tukar nomor hape. Supaya kita bisa, ehm... saling ngasih kabar."
Aku keluar dari ruang riasku dan mencari Papa. Seorang kru memberitahu bahwa Papa ada di ruangan lain di ujung koridor. Aku pergi ke ruangan itu.
Sepertinya ini tempat di mana Keke menyembunyikan "tamu-tamu kejutan" untuk acara talkshow-nya. Pintunya terbuka sedikit. Aku mengetuk pelan dan mengucapkan permisi, lalu menyelinap masuk. Ruangan itu kosong.
"Umm... Pa?"
Ada suara toilet yang diguyur, lalu Papa keluar dari bilik kamar mandi. Dia terbelalak melihatku, dan sesuatu yang dipegangnya meluncur turun.
"Manis?"
Mataku bergulir pada benda yang terjatuh itu. Puluhan uang kertas seratus ribuan berceceran di lantai. Jumlahnya banyak sekali, mungkin sekitar sepuluh juta Rupiah.
Papa cepat-cepat berjongkok dan memunguti uang itu. "Papa nggak tahu kamu bakal mampir."
"Aku... cuma mau ngecek. Soalnya tadi Papa kayaknya terpukul banget."
"Oh, iya. Papa... udah mendingan, kok."
Secara ajaib, kuperhatikan Papa sudah kembali seperti semula. Terlalu cepat. Melihat ledakan emosinya tadi, seharusnya dia tidak pulih secepat ini.
Dan ada uang ini...
Entah kenapa, melihat uang ini firasatku menjadi nggak enak. Aku ikut membungkuk untuk memunguti uang itu, tetapi Papa menepisku. Dia meraup lembaran-lembaran itu dan menjejalkannya dalam kantong plastik.
"Ini... uang apa, Pa?"
"Ini?" Papa mendelik dan tersenyum gugup. Dia tidak mengizinkanku menyentuh uang itu selembar pun. "Ini... honor dari televisi."
"Honor?" Para tamu memang diberi honor, tetapi jumlahnya tak sebanyak ini. Tamu yang bukan artis biasanya hanya mendapat beberapa ratus ribu saja. "Tapi uangnya banyak banget."
"Iya," Papa mulai berkeringat. Dia bergerak semakin cepat, memasukkan uang itu dengan terburu-buru seperti perampok. "Ini dikasih bonus."
Aku tidak mempercayainya. "Bonus apa?"
Papa menjejalkan kantong plastik penuh uang itu ke dalam tas kulit di atas meja dan menyampirkannya di pundak. "Kamu mau apa ke sini, Manis?"
Caranya mengucapkan namaku begitu kaku, seakan kami hanya rekan bisnis. Sikapnya yang berubah seratus delapan puluh derajat dibandingkan saat kami di stage tadi membuatku curiga. Papa yang ini lebih waspada dan menjaga jarak.
"Papa ada janji sama seseorang." Dia ingin melewatiku menuju pintu, tetapi aku menghalanginya. "Maaf, nggak bisa lama-lama."
Wow. Tunggu sebentar. Apa Papa sedang mengelak dariku?
Kubanting pintu itu hingga tertutup dan kuselot dari dalam supaya tidak bisa dibuka. "Jawab dulu pertanyaannya. Itu uang apa, Pa?"
"Udah Papa bilang, itu uang bonus!"
Papa ingin melewatiku lagi, tetapi kusambar sebuah gunting kain di dekat meja yang biasanya dipakai untuk memperbaiki kostum di saat-saat darurat.
"Jawab dulu pertanyaannya," kuacungkan gunting itu.
Papa menatapku lambat-lambat dan mendesah. "Papa perlu makan, Manis."
"Maksud Papa, semua yang tadi itu cuma setting-an?"
"Kamu salah paham. Papa betul-betul menyesal untuk... semuanya..." Mata pria ini berkilat licik dan seketika aku tahu semua yang diucapkannya tadi hanyalah omong kosong. "Tapi kalau sampai harus mengaku di TV kayak tadi... Papa nggak mungkin menolak kalau ada yang mau kasih Papa uang, kan?"
Kekecewaan dan kemarahan melebur di dalam dadaku. Aku sampai harus bersandar di pintu supaya bisa tetap berdiri. Mama harus mendengar ini.
"Jadi semua yang tadi itu... cuma pura-pura?"
"Bukan, bukan! Papa tulus minta maaf ke kamu."
"KALAU BEGITU UANGNYA BUAT APA?"
Papa mendengus. "Oke... kalau kamu memang memaksa... mau bagaimana lagi..." Dia mengangkat tangannya dengan lagak menyerah. "Kamu udah jadi artis sekarang. Kamu nggak tahu selama ini Papa hidup luntang-lantung—"
"Sebelum aku jadi artis, aku sama Mama juga hidup susah!" Aku tak peduli lagi kalau orang-orang di luar mendengar teriakanku. "Papa ninggalin aku sama Mama selama tujuh belas tahun dan minta maaf karena dibayar?"
"Papa udah bilang, ini bukan bayaran. Ini cuma bonus. Lagipula sekarang kita udah baikan, kan? Itu yang paling penting. Kamu—"
"Siapa yang menyuruh Papa buat ngelakuin ini?" Ya Tuhan, kalau sampai ini juga rencana keji Ursula van Oostman untuk menjatuhkanku, aku bersumpah akan membalasnya! "Siapa yang kasih uang itu untuk Papa?"
Tiba-tiba Papa menarik tanganku dengan kuat. Aku terjatuh, kepalaku membentur tepi meja. Papa merampas gunting yang terlepas dari peganganku, membuka selot pintu ruang rias dan kabur ke koridor.
Dia tidak menyesal. Pria ini baru saja menipuku.
Aku bergegas bangkit dan mengejar Papa, tetapi laki-laki itu sudah masuk ke dalam lift dan turun ke bawah. Kususul dia dengan lift lain. Kami tiba di lobi stasiun televisi. Kulihat Papa sudah berjalan cepat menuju pintu keluar, tas kulit penuh uang itu bergoyang-goyang di pinggulnya. Kucopot sepatuku dan kukejar dia. Si satpam menegurku dan bertanya kenapa aku berlari, tetapi tidak kuacuhkan.
"BERHENTI! JANGAN PERGI!"
Papa sekarang sedang diperiksa metal detector di dekat pintu. Kutambah kecepatan lariku. Kemudian Papa menghilang di balik pintu keluar
Sialan!
Aku mengikutinya ke pintu keluar. Namun sesuatu yang lain rupanya sudah menungguku di luar sana. Kilau blitz, mikrofon-mikrofon dan moncong-moncong kamera yang tak kenal perikemanusiaan itu langsung mengerubungiku.
"Mbak Manis, Mak Lambe baru saja diringkus polisi atas kasus pencemaran nama baik!" kata mereka semua nyaris berbarengan. "Apa komentarnya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top