26. Tak Seindah Angan
Seringkali ketika kita menginginkan sesuatu dengan begitu sungguh-sungguh, dan sudah berusaha sebaik mungkin untuk mewujudkannya, hal tersebut tak jadi kenyataan. Malah hal yang tak kita inginkan lah yang terwujud.
"Manis?" ulang Rudy, napasnya yang keras digemakan oleh mik. Masih belum ada yang bersuara. "Pemenangnya adalah Manis Maramis, Lovebirds."
Kak Ussy membetulkan bagian belakang mantelku yang terlipat dan menepuk pundakku. Ada tangan-tangan yang mendorongku ke depan. Aku maju ke panggung sambil memikirkan apa yang salah dari doaku. Aku sudah mengucapkannya dengan sangat jelas: 'Tuhan, jangan biarkan aku menang.' Apa mungkin ini terjadi karena aku kurang tawakal?
Seandainya bukan Kak Ussy yang menang, aku tidak keberatan piala itu jatuh ke tangan aktris lain. Pokoknya jangan aku. Firasatku mengatakan piala ini akan bikin masalah.
Sebentar. Apa aku jadi parno gara-gara peringatan Bulma?
"Manis!" Valen berteriak, suaranya mengguncang kesunyian aula. Lawan mainku itu bertepuk tangan dengan semangat. "Lovebirds!"
Barulah para hadiri yang lain bertepuk tangan. Bukan tepuk tangan yang meriah, tetapi biasa-biasa saja, untuk alasan formalitas semata. Tidak ada suit-suitan atau sorakan bangga seperti pemenang-pemenang yang sebelumnya. Aku bisa merasakan kebingungan dan (mungkin) kemarahan dari para tamu itu: pekat dan tajam, terpusat untukku. Seharusnya yang dipanggil oleh Rudy adalah Ursula van Oostman, bukan Manis Maramis.
Tepuk tangannya sudah berhenti begitu aku tiba di atas panggung. Rudy menyerahkan piala Starlight itu padaku tanpa rasa hormat sedikit pun, seakan benda itu hanyalah botol air mineral. Ugh, ternyata piala ini berat juga. Rudy menjabat tanganku dengan singkat dan tanpa mengatakan apa-apa. Lalu aktor senior itu menyilakanku untuk berdiri di depan mik.
Waktunya pidato kemenangan.
Aku mencoba tersenyum, meski tidak merasakan setitik pun rasa bangga atau senang. Di bawah panggung, para aktor dan aktris dalam balutan busana ala galaksi itu kelihatan seperti sekumpulan makhluk asing. Di belakang tribun, di bagian yang agak tersembunyi di belakang kamera, sebuah timer menyala. Angka-angka digital berwarna merah mulai menghitung mundur. Aku diberi tiga menit untuk berpidato.
"Saya... ehm..."
Kuluruskan kertas kusut yang dijejalkan Kak Ussy di tanganku tadi. Aku bahkan tidak tahu harus mengatakan apa.
"Pertama-tama, saya mengucap syukur, limpah terima kasih pada Tuhan untuk anugrah ini..." Tulisan tangan Kak Ussy kecil-kecil dan berdempetan, tapi persetan, ini satu-satunya pidato yang bisa kupakai. "Dan terima kasih juga untuk orang-orang yang sudah mendukung saya. Terima kasih untuk Mama, Papa, dan pasangan saya yang malam ini tidak sempat hadir..."
Aku mendongak ke arah penonton untuk memberi jeda. Orang-orang menatapku, tampang mereka geger. Tante Ida dan suaminya bertukar pandang lalu berbisik-bisik. Kak Ussy menggeleng pelan, matanya melotot.
Kenapa ini?
"Terima kasih juga untuk adik yang selalu mendukung saya. Dan untuk buah hati saya yang sedang menonton..."
Eh...
Aku terpaksa berhenti.
Oh, astaga! Aku lupa, pidato ini ditulis oleh Kak Ussy dan seharusnya dibacakan olehnya, bukan orang lain! Pantas saja orang-orang ini gempar!
Mataku bergerak cepat menyunting isi pidato itu, membuang bagian-bagian yang tidak relevan. Kak Ussy menulis dua paragraf panjang untuk keluarganya. Jelas aku harus memodifikasi bagian ini.
"Mak-maksud saya... terima kasih untuk keluarga saya..."
Aula kembali hening. Kulirik angka di timer itu. Baru sepuluh detik? Rasanya aku sudah lama sekali berdiri di panggung ini.
"Dan untuk, ehm... tim Lovebirds, dan Ne-Netflix Indonesia..."
"KEBERATAN!"
Seseorang berteriak dari sudut kiri aula. Aku refleks mendongak ke asal teriakan. Di meja nominator lain, seorang pria berdiri sambil mengangkat tangannya.
Ada apa ini? Apa pria itu baru saja memprotesku? Apa yang harus kulakukan?
"Dilanjutkan saja," bisik Rudy dari belakangku.
Baiklah. "Terima kasih juga kepada rekan-rekan di GIFTED—"
"KEBERATAN!" Pria yang berteriak itu, maju ke tepi panggung. Perhatian semua orang kini sudah beralih dariku ke orang itu. Dia melompat naik ke panggung dan menunjukku. "Saya keberatan!"
"Satria," Rudy menahan pria itu sebelum mendekatiku. "Jangan!"
Pria bernama Satria mengelak dan menyambar mikrofonku. Aku refleks mundur, kupikir dia akan memukulku. Dia menjulurkan tangan ke arahku, tetapi kutepis sehingga cengkeramannya mendarat di mantelku.
"Pemenang seharusnya adalah Ursula van Oostman!" Satria berseru lewat mik. "Saya keberatan dengan keputusan ini!"
Seruan-seruan dukungan menggema di seluruh aula. Semakin banyak orang yang meneriakkan keberatan. Mereka berdiri dan berseru-seru, memintaku untuk turun. Satu-satunya yang tetap diam adalah anak-anak Lovebirds.
Disemangati seperti ini, Satria bertambah berani. Dengan kasar dia merampas piala Starlight dari tanganku. Kaget karena serangan mendadak ini, aku terhuyung mundur. Campuran emosi dan hawa dingin membuat kedua kakiku tak berfungsi dengan baik. Sesuatu patah dengan bunyi krak pelan, dan sekonyong-konyong, pijakanku goyah. Hak sepatu kiriku patah. Aku terjengkang ke belakang dan ada bunyi lain yang menyusul, kali ini suaranya lebih mengerikan, seperti kain robek. Aku mendarat di lantai dengan bunyi berdebum, bagian belakang mini-dress ini ternganga sampai ke punggungku, nyaris terbelah dua.
Aku mencoba berdiri tapi tak mampu. Pergelangan kedua kakiku sakitnya bukan main, sementara bagian belakangku tersingkap lebar-lebar, mempertontonkan tubuhku pada ratusan pasang mata di aula. Hiasan konyol di kepalaku ikutan terjatuh.
Oh, Tuhan!
Aku hanya bisa terkapar di lantai. Aku tak tahu lagi mana yang lebih sakit, tubuhku atau hatiku. Seberapa keras aku mencoba tegar, air mataku tak bisa dibendung lagi.
Tante Ida menjerit-jerit dan menuding kamera yang sedang menyorotku. "Wardrobe malfunction! Cut ke iklan! BERHENTI LIVE SEKARANG!"
Satria tidak peduli. Bukannya membantuku berdiri, dia malah mengangkat tinggi-tinggi piala hasil jarahan itu. "Ussy, ini piala kamu!"
Kak Ussy bangkit dan mengatakan sesuatu, tetapi suaranya teredam oleh teriakan-teriakan protes. Rudy kebingungan antara ingin membantuku atau merebut kembali piala itu, wajahnya merah melihat pakaian dalamku yang tersingkap.
Monique dan Norman berlari tergopoh-gopoh dari backstage dan membantuku berdiri. Norman melepas jasnya untuk menutupiku. Monique melipat mantelku dan melilitkannya di sekeliling pinggangku seperti sarung. Belum pernah aku dipermalukan seperti ini seumur hidupku. Rasanya aku ingin terbenam ke dalam lantai ini dan menangis sejadi-jadinya.
"Sori ya, Manis..." Satria menoleh padaku sambil lalu dan berteriak lagi di mik. "Tapi penampilan Ussy di Lovebirds jauh lebih bagus daripada kamu. Kenapa Ussy nggak masuk ke nominasi Pemeran Utama aja udah jadi tanda tanya besar, dan sekarang dia kalah? Kita semua menonton Lovebirds. Saya berani bilang Tari adalah penampilan terbaik Ussy sebagai aktris! Ussy pemenang sesungguhnya!"
"SATRIA!" Kak Ussy meraung dari bawah panggung dan menunjuk si tukang rusuh. "BALIKIN-PIALA-ITU-KE-MANIS-SEKARANG!"
"Semuanya harap tenang dulu!" Rudy berusaha mengendalikan situasi. "Pak Satria, tolong turun dari panggung sekarang!"
"Pasti terjadi kecurangan!" pekik Satria tanpa memedulikan Rudy. "Aktris Pendukung Terbaik adalah Ursula van Oostman!"
Semakin banyak orang yang naik ke panggung. Norman dan Rudy berbicara cepat dengan dua orang laki-laki bertampang serius. Kak Ussy sudah sampai di tepi panggung. Sambil mengangkat ujung roknya, dia mendebat Satria yang mencoba mengoper piala Starlight itu padanya. Claire, Valen, Anwar dan Tante Ida berjibaku menahan Kak Ussy yang sudah terbakar emosi, supaya dia nggak naik ke panggung.
Ini sungguh-sungguh bencana. Persetan dengan piala itu! Satu Indonesia baru saja melihatku terjatuh sampai dress-ku robek! Pakaian dalamku terpampang di TV nasional! Aku ingin turun dari panggung sialan ini dan pulang ke rumah!
"Hadirin sekalian, harap kembali ke tempat duduk masing-masing!" hardik Norman dengan keras sampai pengeras suara berdenging. "Ketua tim juri Starlight akan menjelaskan keputusan mereka."
Salah satu dari laki-laki bertampang serius itu mengambil mik. Sepertinya dia adalah ketua tim juri. "Pemenang untuk kategori ini adalah Manis Maramis. Keputusan itu sudah mutlak."
"Itu bukan alasan!" gelegar Satria. Tiga orang petugas ber-headset sudah menyeretnya ke pinggir panggung, tetapi pria itu ngotot melepaskan diri. "Jelaskan ke kita tentang hasil voting dan pembagian suara tim juri!"
Si ketua tim juri berdiskusi dengan rekannya. Mereka berbicara ke salah satu petugas ber-headset dan menunjuk-nunjuk layar plasma di belakang kami. Tak berapa lama, diagram batang seperti yang kemarin kulihat di website Starlight, ditampilkan di layar.
"Dari dua puluh lima anggota tim juri Starlight tahun ini..." kata si ketua. Suaranya datar tanpa emosi. "Sebelas juri memilih Ursula van Oostman. Hanya lima juri yang memilih Manis Maramis. Namun Manis Maramis mendapat voting terbanyak dari publik, selisihnya empat ribu suara lebih banyak dari Ursula..."
Bagian otakku yang belum dikuasai rasa malu dan keinginan untuk menghilang, berusaha mencerna informasi itu.
Apa katanya? Selisih empat ribu suara?
Bagaimana bisa? Bukankah kemarin dulu aku dan Kak Ussy hanya selisih sembilan suara saja?
"Maka dengan ini, kami mengumumkan bahwa Aktris Pendukung Terbaik untuk Starlight Serial Televisi tahun ini adalah Manis Maramis. Sekian."
Satria menggerung marah. Petugas keamanan merebut piala Starlight darinya dan mengopernya pada Monique. Orang-orang di aula sudah terbagi menjadi dua kubu. Tiga perempat mendukung Satria, sementara yang lain memilih diam.
Monique mengumpulkan high-heels dan piala celaka itu, menumpahkannya di pelukanku, dan membantuku berdiri. "Kita lewat backstage aja ya, Manis. Nanti malah tambah rusuh."
"Tapi tas aku masih ada di meja."
"Nanti ada petugas yang ngambilin."
Suasana di atas panggung bertambah kacau. Ada lagi yang mencoba naik untuk berdebat dengan si ketua juri, tetapi dicegah oleh petugas keamanan. Monique menyeretku pergi. Sebelum didorong ke backstage, aku melirik Kak Ussy. Wanita itu menutupi wajahnya dengan tangan sambil menangis.
"Kenapa ini? Aku dengar ada ribut-ribut..."
Dian muncul di backstage, kemejanya baru dikancing setengah, sepertinya belum selesai dirias. Dia melihatku memegang piala Starlight, tidak bersepatu, setengah telanjang, dan bersimbah air mata.
"Kenapa..." Cuma itu yang bisa dikatakannya.
Monique menjelaskan apa yang terjadi dalam beberapa kalimat singkat. Seseorang memberikanku sandal karet. Lalu Monique menepuk pundakku memberi semangat, dan bergegas kembali lagi ke panggung.
"Aku mau pulang, Di."
"Oke. Kamu mau telepon Alonzo?"
"Hape-ku di dalam tas. Tasku ada di atas meja."
"Tinggalin aja. Aku anterin kamu pulang sekarang."
Dian merangkulku dan membimbingku pergi. Aku pasrah saja mengikuti dia. Aku tak sanggup mengangkat kepala. Beberapa orang menghampiri kami dan bilang kami belum boleh pergi, tetapi Dian tidak menggubris mereka. Memangnya mereka pikir dengan penampilan acak-acakan seperti ini, aku masih kepingin tinggal di aula bencana ini?
Aku tidak tahu ke mana Dian membawaku, tetapi setelah perjalanan yang seakan tanpa berujung, akhirnya kami sampai di luar. Dian menelepon seseorang dan memintanya segera menjemput kami.
"MANIS! MANIS!"
Cahaya blitz yang membutakan menari-nari. Lima puluh wartawan muncul entah dari mana, semuanya mengangkat kamera dan mikrofon. Mereka segera mengepungku dan Dian dalam lingkaran kecil yang rapat sehingga kami terjebak.
Perutku langsung mual.
"Apa kamu merasa Ursula van Oostman memang lebih baik dari kamu?"
"Di pidato tadi, kamu menyebut soal pasangan. Maksud kamu Reza Laparpujian? Kenapa dia nggak datang bareng kamu malam ini?"
"Dan soal buah hati juga. Apa kamu sebetulnya sudah menikah dengan Reza? Tolong kasih statement-nya, Manis!"
"Kamu juga berterima kasih sama papa kamu. Apa artinya hubungan kamu dengan papa kamu sudah baikan? Apa diam-diam kalian sudah reuni?"
"Apa komentar kamu terhadap busana karya Tex Saveria?"
"Siapa laki-laki ini, Manis? Kenapa kalian berduaan malam ini?"
Dian mencoba melindungiku tetapi dia tidak berdaya menghadapi lima puluh makhluk brutal bersenjatakan mik dan kamera yang tidak punya perasaan ini. Tubuhku seperti ingin meledak. Sesuatu yang asam dan pekat menjalar naik dari lambungku dan menggelegak sebentar di tenggorokan sebelum membuncah keluar. Para wartawan itu memekik kaget dan melompat menyingkir. Ada yang memaki-maki dan berjengit jijik.
Aku ingin mati saja.
"And they say...
She's so lucky, she's a star...
But she cry, cry, cries in her lonely heart, thinking
If there's nothing missing in my life
Then why do these tears come at night?"
—Lucky, Britney Spears
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top