23. Kecewa


"Mending kita ketemu, biar gue jelasin semuanya..."

Wajah bulat Bulma memenuhi layar ponsel. Sepertinya dia sedang di jalan. Pesan WA-ku sudah dibacanya tadi pagi, tapi Bulma baru merespon sekarang.

"Kenapa lo nggak cerita ke gue sebelumnya, Bul?"

Bulma mendesah. "Karena ini nggak bisa cuma dijelasin begitu aja, Nis. Ini lebih complicated dari dugaan elo."

"Try me. Se-complicated apa, sih?"

"Oke, begini ya..." Bulma mengibas-ngibaskan tangan. "Gue nggak mau nuduh siapa pun. Gue cuma dengar cerita-cerita. Dan gue memilih percaya sama versi yang lebih meyakinkan."

"Maksud lo cerita versi Darling?" Astaga, aku gemas sekali dengan sikap Bulma. "Bisa-bisanya lo percaya sama dia! Selama ini kita semua tahu kayak apa si Darling itu. Dia sama sekali nggak berniat baik!"

"Every story has two sides, Nis," kata Bulma bijak. "Dengar, gue ngerti ini membingungkan dan jahat buat elo. Tapi gue yakin ini yang terbaik buat karier gue. Lagian di GIFTED kerjaan gue cuma nyampah doang, Nis."

"Nggak ada yang menganggap lo nyampah, Bul."

"Udah deh, blak-blakan aja di depan gue," telunjuk Bulma teracung, untuk memperingatkanku. "Tante Irma memang berniat mendepak gue, kan?"

Aku terdiam. Dari mana Bulma tahu soal itu? Seingatku aku belum pernah memberitahunya. Dan Tante Irma baru berencana untuk bilang ke Bulma.

"Nggak usah kaget gitu, Nis. Gue udah sadar gue cuma jadi beban buat GIFTED kalau nggak kerja," lanjut Bulma tenang. "Jadi gue memutuskan untuk cabut sebelum didepak."

"Tapi kenapa harus mendadak kayak gini, Bul?"

Bulma mendengus kesal. "Lo nggak bisa memahami ini karena lo lagi di puncak karier, Nis. Kalau lo ada di posisi gue, di bawah, di kasta paling rendah... baru lo bisa paham."

Bulma terus-terusan mengatakan itu. Dia salah. Aku mengerti perasaannya. "Kalau maksud lo masalah fisik, gue juga jadi bulan-bulanan gara-gara tampang gue dan peran Carissa ini..." Seketika amarahku tersulut. "Lo nggak usah playing victim begini, Bul."

"Gue nggak playing victim, tapi gue memang jadi victim," bantah Bulma keras kepala. "Gini, Nis. Gue nggak mau ngomong panjang lebar lewat video call kayak gini. Kalau lo mau dengar penjelasan rinci dari gue, lebih baik kita ketemu di kantor Darling."

Apa katanya?

"Gue nggak akan pernah mampir ke tempat itu, Bul!"

Bulma mendesah dan geleng-geleng kepala. Dia tertunduk sejenak, dan saat kembali menghadap kamera depan ponselnya, tampangnya jadi lebih serius.

"Jangan pergi ke malam anugrah Starlight, Nis."

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan. Lo bakal nyesal," tukas Bulma tajam. "Gue nggak bisa nuduh siapa-siapa, tapi—"

"Bul, kalau lo tahu ada yang bakal bikin gue celaka—"

"Bukan. Gue belum bisa ngomong banyak saat ini..." Bulma menatapku lurus-lurus. "Cuma sebagai teman lo, please gue mohon... jangan pergi."

"Gue nggak bisa mangkir, Bul. Gue salah satu nominatornya."

"Kalau begitu, lo harus secepatnya hengkang dari Lovebirds," tandas Bulma tanpa tedeng aling-aling. "Ambil proyek baru, apa pun itu. Pokoknya jangan jadi Carissa lagi."

"Lo udah tahu kalau Lovebirds bakal jadi tiga season?"

Bulma mendelik. Dia mengetuk-ngetuk bibirnya, seperti ingin bilang bahwa dia nggak bisa membeberkan lebih banyak lagi informasi. Kupelototi dia. Akhirnya Bulma memberiku satu kedipan. Kuanggap itu sebagai ya.

"Bulma, sebenarnya ini ada apa, sih? Sumpah, gue bingung!"

"Untuk kali ini, gue mohon Nis... percaya sama gue," pinta Bulma tulus. "Semuanya bakal terungkap di waktu yang tepat."

"Kalau gue nggak mau, kira-kira apa yang bakal terjadi?"

"Kerja keras lo selama ini bakal mubazir. Karier lo bakal tamat. Persis kayak si Reza."

"Reza? Jadi Reza juga terlibat dengan semua ini?"

Bulma menggigit bibir dan mendelik. Dia memejamkan matanya rapat-rapat lalu melirikku.

"Bulma! Jawab dong!"

"Ada rencana untuk memboikot malam anugrah Starlight," bisik Bulma lirih. "Bukan di malam film, tapi di serial TV. Lo yang bakal jadi tumbalnya, Nis!"

Lalu sekonyong-konyong Bulma memutuskan video call itu.

What the hell...

Aku membuka pintu depan dan bersandar sebentar di tembok. Pemboikotan Starlight? Apa maksud Bulma? Apa ada orang yang akan menggagalkan malam anugrah Starlight? Dan kenapa aku yang akan dijadikan tumbal?

Aku bergidik ngeri. Bulma tahu sesuatu yang penting, tetapi dia tidak bisa menceritakan semuanya padaku. Sesuatu yang melibatkan aku dan Reza. Apa Bulma sedang diawasi? Tapi siapa yang mengawasinya? Bukankah saat ini Bulma sedang berada di kubu lawan?

Berbagai pertanyaan besar berpusar di benakku. Kalau bukan Darling yang ingin menghancurkan karier Reza sebagai wujud balas dendam, lantas siapa? Dan apa hubungannya denganku? Apa ada pihak ketiga dalam permainan ini? Apa yang akan terjadi saat malam anugrah Starlight?

Ya Tuhan...

Aku mendongak untuk mengambil napas, karena dadaku terasa sesak. Terlihat kaki langit berwarna jingga pekat, ternoda sisa-sisa sinar matahari yang sedang tenggelam. Bagian langit yang lebih tinggi sudah berubah ungu gelap. Beberapa bintang yang paling terang sudah menampakkan wujudnya.

Cahaya bintang. Starlight.

Tidak seperti namanya, urusan Starlight ini justru membuatku merasa ditinggal dalam antah berantah gelap alih-alih mendapat jawaban terang. Terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Sekedar membayangkan mencari jawabannya saja sudah menciutkan semangatku. Rasa lelah yang sudah menumpuk di tubuhku ini serasa berlipat ganda. Dibandingkan season satu, proses produksi kali ini terasa sangat berat karena bumbu-bumbu drama ini. Untung syuting-nya sudah selesai.

Mendadak kakiku lemas. Sambil terhuyung-huyung, aku bergegas masuk ke mobil dan mengambil sebotol air mineral.

"Kita pulang sekarang, Mbak?" tanya Alonzo sopan.

"Iya, Alonzo..." Kunyalakan mesin pijat di kursi mobil. "Tolong tutup tirainya, ya."

"Siap, Mbak."

Alonzo menekan tombol, dan tirai-tirai di setiap jendela otomatis bergeser menutup. Dengan derum halus, mobil kami meninggalkan lokasi syuting. Kami mobil pertama yang keluar. Kru dan pemeran yang lain masih sibuk cipika-cipiki sambil salam-salaman, mengingat ini hari terakhir syuting. Season lalu, kami sempat bikin acara perpisahan yang cukup oke. Tapi karena jadwal kali ini mepet, acara perpisahan itu diundur sampai promosi tuntas. Tadi aku keluar lebih dulu karena Bulma mengajak video call.

Saat mobil melewati gerbang, sekilas terlihat siluet orang-orang yang setia menunggu. Entah mereka fans atau haters. Mau melempari aku macam-macam? Silakan. Aku tidak peduli lagi.

Aku lelah sekali.

Seandainya Lovebirds nggak meledak seperti sekarang...

Ah, sudahlah.

Nasi sudah menjadi bubur. Saat ini, menyesal hanya akan bikin aku tambah nelangsa. Menangisi nasib tidak akan mendatangkan apa-apa. Hal terbaik yang bisa kulakukan adalah bertindak.

Kuambil ponselku dan kuhubungi nomor Reza. Mungkin dengan tambahan informasi dari Bulma ini, Reza mau cerita padaku.

'Nomor yang Anda tuju salah...'

Sial. Rupanya pria itu sudah memutuskan kontak. Segitu bencinya dia padaku. Apa aku harus mencoba mengontaknya lewat Tante Irma?

Tante Irma!

Kalau ternyata ada orang selain Darling yang ingin menjatuhkan GIFTED, Tante Irma harus diberitahu. Cepat-cepat kutelepon manajerku itu. 

Setelah tiga nada tunggu, Tante Irma menjawab. "Nis?"

"Tante! Aku baru aja video call sama Bulma!"

"Oh, anak nggak tahu terima kasih itu?" sahut Tante Irma sinis. "Dia bilang apa?"

Kuceritakan semua yang sudah dibocorkan Bulma padaku, termasuk kisikan soal pemboikotan malam anugrah Starlight. Tante Irma bergumam-gumam sambil mendengarkan. Alisnya berkerut, pertanda dia juga terusik.

"Tante harus kasih tahu dewan juri Starlight," desakku. "Ada yang berniat mencurangi kompetisinya!"

"Tante perlu bukti, Nis," sahut Tante Irma kalut. "Tante nggak bisa begitu aja melapor ke dewan juri Starlight. Ini di luar kuasa Tante!"

"Kalau begitu kita harus mencari tahu siapa dalangnya, Tan!"

Tante Irma tidak langsung menyahut. Selama beberapa detik, aku hanya mendengar suara musik jazz di latar belakang. Mungkin Tante Irma sedang makan malam di sebuah restoran.

"Tante rasa... ini cuma hoax," jawab Tante Irma. "Bisa aja Darling yang menyuruh Bulma bilang begitu ke kamu. Kamu tadi bilang, Bulma nggak bisa ngomong terus terang karena dia mungkin lagi diawasi, kan?"

"Dari gelagatnya sih begitu, Tan. Aku yakin banget."

"Nah, Tante rasa Bulma lagi diawasi Darling," sambung Tante Irma. "Nggak cuma dendam sama GIFTED, Darling juga benci sama Starlight Awards. Darling menuduh dewan juri Starlight memihak karya plagiat lima tahun lalu, saat 18.30 dinyatakan menang. Tante yakin Darling kepingin mengacaukan Starlight besok lusa."

Itu alasan yang masuk akal. "Tapi apa hubungannya sama aku, Tan? Kenapa Bulma bilang aku yang bakal dijadikan tumbal?"

Tante Irma terdiam lagi. Ketika menjawab, suaranya terdengar yakin. "Apa kamu udah lihat hasil sementara voting?"

"Voting?"

"Ya. Pemenang Starlight kan ditentukan lewat keputusan juri dan voting. Voting untuk film udah ditutup karena malam anugrahnya besok, tetapi untuk serial TV masih dibuka karena buat lusa. Ini, Tante kirimin link-nya..."

Ah, aku lupa soal itu. Masuk pesan WA dari Tante Irma, berisikan sebaris link. Kunyalakan mode speaker phone, lalu kuketuk link itu.

"Lihat di kategori kamu, Nis..." instruksi Tante Irma.

Diagram-diagram batang bermunculan di setiap kategori, menggambarkan perolehan suara sementara. Aku meng-scroll layar hingga ke kategoriku.


Aktris pendukung terbaik (Best Supporting Actress in Television Series)

Ria Picis (Teman Kos dari Neraka) – 3.451 suara

Gia Sefira (The New Girl: Illusion) – 6.719 suara

Soraya Notonegoro (X: Enigma) – 9.867 suara

Ursula van Oostman (Lovebirds) – 15.289 suara

Manis Maramis (Lovebirds) – 15.280 suara


Jantungku seperti tergelincir ke dasar perut.

"Kamu kejar-kejaran sama Ussy," kata Tante Irma, menyimpulkan hasi voting yang di luar dugaan itu. "Saat ini kamu cuma ketinggalan sembilan suara."

This can't be true! "Aku nggak mau ngalahin Kak Ussy, Tan."

"Bukan kamu atau Ussy yang menentukan ini, Nis," kata Tante Irma adil. "Kamu sangat mungkin menang. Siapa pun yang menang nanti, dia adalah pilihan juri sekaligus penonton. Ussy juga paham kok soal ini, Nis."

Aku tak habis pikir. Kenapa bisa aku jadi runner-up? Alasan aku bisa masuk nominasi saja masih jadi misteri besar, dan sekarang aku sangat mungkin mengalahkan Kak Ussy?

Unbelievable. Mukjizat memang bisa terjadi kapan aja, tapi ya nggak gini-gini amat, kan?

"Tante yakin voting ini nggak dimanipulasi?"

"Kenapa kamu ngomong begitu, Nis?"

"Soalnya orang-orang benci sama aku, Tan. Tante Irma tahu sendiri aku udah beberapa kali diserang haters. Mustahil fans Lovebirds kasih voting ke aku. Mereka seharusnya lebih memilih Kak Ussy!"

Panggilan telepon itu diputus. Kupikir ada gangguan jaringan, tetapi rupanya Tante Irma yang memutuskan. Beberapa detik kemudian, masuk panggilan video call dari manajerku itu.

"Semua artis punya fans sekaligus haters," Tante Irma mengernyit saat wajahnya muncul di layarku. Rupanya dia memang sedang makan di restoran. "Nggak ada yang thok punya haters aja. Memang betul kamu beberapa kali mengalami kejadian kurang mengenakkan, tetapi bukan berarti kamu dibenci orang-orang, Manis. Voting itu buktinya."

"Tapi Tan—"

"Kamu jangan insecure begitu," tegur Tante Irma sedikit keras.

Aku berhenti membantah. Benarkah begitu?

Benarkah bahwa semua ini hanya pikiran negatifku saja? Bahwa aku cuma insecure gara-gara beberapa kali diserang haters?

"Tante... sebetulnya aku udah kepikiran untuk cabut dari Lovebirds. Aku udah dengar desas-desus tentang season tiga."

Ekspresi keras Tante Irma jadi sedikit lembut. "Kamu salah satu talent terbaik GIFTED saat ini..." katanya keibuan. "Kalau Tante rasa kamu nggak punya bakat, mana mungkin Tante merekrut kamu waktu di KFC itu? Kamu justru salah kalau ngebiarin para haters itu menjatuhkan kamu. Kalau kamu keluar dari Lovebirds, kamu cuma bikin orang-orang yang benci sama kamu itu menang. Tante mengerti bahwa nggak mudah memerankan Carissa. Kamu masih artis baru, wajar kamu merasa tertekan. But you know what, let me tell you a secret..."

Tanpa terasa, airmataku sudah bercucuran. "Apa, Tan?"

"Talent can brings you fame. But only the strong one survives fame," jawab Tante Irma mantap. "Kamu bisa tanya soal ini ke Ussy, Reza dan artis-artis senior lainnya. Popularitas itu bisa menyanjung sekaligus menghancurkan, Manis. Kalau cuma urusan haters begini aja kamu udah down, kamu justru akan dihancurkan oleh popularitas itu. Tante tanya sama kamu, kamu mau jadi tipe aktris seperti apa?"

Seperti Ursula van Oostman, idolaku. Ursula van Oostman yang selalu elegan dalam setiap suasana dan bersikap tenang.

Tapi aku tidak mengatakannya. Aku hanya mengangguk-angguk. Alonzo melirikku lewat spion tengah, dan menggeser kotak tisu ke arahku.

"You can do this," dukung Tante Irma berapi-api. "Cuma kamu yang bisa memerankan Carissa. Nggak ada yang lain."

Aku sudah tahu soal itu.

Baiklah, mungkin aku memang bersikap berlebihan. Mungkin aku sedikit cengeng. Kuingatkan diriku sendiri tentang pilihan karier yang kubuat. Aku selalu ditolak sebagai guru TK—pilihan itu sudah tak lagi tersedia untukku. Sewaktu menerima tawaran Tante Irma, aku sudah bertekad ingin jadi aktris profesional.

Sepertinya... ini adalah salah satu ujian menuju profesionalisme itu.

"Soal tumbal apalah yang disebut-sebut Bulma itu, sebaiknya kamu cuekin aja," lanjut Tante Irma. "Starlight Awards ini acara besar. Darling nggak akan berani macam-macam, dia cuma menggertak supaya nyali kamu ciut. Ingat, para nominator itu diundang khusus untuk hadir. Kalau kamu nggak datang, kamu justru bisa di-blacklist sama pihak Starlight karena dianggap meremehkan penghargaan itu. Starlight Awards dikelola sama orang-orang penting di industri kita, jadi jangan sampai mereka punya kesan buruk sama kamu, lho. Dan kalau kamu di-blacklist terus gagal dapat tawaran-tawaran lain, siapa yang senang, coba?"

Aku tak bisa memikirkan jawabannya.

Tante Irma tersenyum penuh pengertian dan mengangguk kecil. "Darling. Dia penjahatnya, Manis. Jangan pernah lupakan itu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top