22. Teman-Teman Terbaik
Seminggu setelah pertemuan mendadak dengan Darling di parkiran, aku masih belum menemukan bukti untuk menjebaknya. Sekarang aku sudah yakin bahwa Tyas memang mata-mata, jadi aku menjaga mulutku kalau sedang dirias olehnya. Berita-berita tentang Reza dan aku masih berseliweran, tetapi sudah nggak separah minggu lalu. Reza sudah tak pernah koar-koar lagi dan aku masih diam, sehingga para wartawan itu nggak punya informasi baru untuk digunjingkan. Tapi bukan berarti ini sudah selesai. Aku yakin ini tinggal masalah waktu saja. Kalau sampai aku dan Reza bikin sesuatu lagi, para wartawan itu pasti nggak akan segan-segan membantai kami.
Aku melewatkan peringatan empat puluh hari berpulangnya Om Jon karena masih syuting. Sebetulnya ini minggu terakhir syuting, tetapi setelah ini aku sudah dijadwalkan untuk pergi ke malam anugrah Starlight, disusul promosi Lovebirds 2 di puluhan media (episode satu sampai empat sudah selesai diedit). Artinya nggak ada liburan untukku sampai akhir tahun nanti.
Hari ini kami hanya syuting ulang beberapa adegan dan adegan tambahan, jadi jadwalnya tidak terlalu padat. Kai ada di lokasi, tetapi seperti pacarnya, dia juga menghindariku. Aku tahu percuma saja mencecar dia soal perkembangan tokoh Carissa–'sekali antagonis, tetap antagonis,' kurasa itu moto Kai dalam menulis.
Aku masih terlibat perang dingin dengan Reza. Kali ini asistennya juga sudah sadar, karena mereka kelihatan kaku saat mengulang-ulang alasan "menghafal dialog" di depanku. Dua hari lagi syuting akan selesai, dialog yang harus dihafal tinggal sedikit sekali. Aku ingin tahu sampai kapan Reza mau menghindariku dengan alasan konyol ini. Kalau kami dapat jadwal promo bareng-bareng, mau nggak mau dia harus buka suara, kan?
Sore itu selesai syuting, aku janjian bertemu dengan Dian di salah satu kafe. Sadar akan statusku sebagai public enemy nomor satu di kalangan pecinta serial TV, aku memakai penyamaran lengkap (rambut palsu pendek, kacamata, hoodie, dan tanpa makeup). Sudah sebulan berlalu sejak pertemuan kami waktu itu dan aku kanget melihatnya. Apalagi sekarang Dian sudah berganti status jadi calon artis baru.
Di dalam kafe, aku melihat Dian yang berdiri menyambutku. "Wow!"
"I know. Wow!" Dian mengangkat bahu. "Hai, Man–maksudku, Cindy..."
"Kamu..." Aku kehilangan kata-kata untuk menggambarkan Dian sekarang. "Berubah banget, Di!"
Dian tertunduk malu. "Aku di-makeover."
"Clearly!" Aku duduk di kursiku. "You're so... handsome!"
"Jadi sebelumnya aku jelek, nih?"
"Enggak sih. Sebelumnya kamu manis. Sekarang kamu... wow. Just wow!"
Penampilan Dian berubah drastis. Dulu kulit gelapnya bikin dia terkesan agak kucel, tapi sekarang dia tampak mirip penyanyi-penyanyi R&B luar negeri. Kulitnya kini glowing bak cokelat cair, rambutnya tertata rapi, dan busananya jadi sangat modis. Kuperhatikan juga tubuhnya jadi lebih padat, dadanya yang dulu sedikit cekung kini lebih berisi.
"Aku udah bilang ke manajerku bahwa aku nggak mau style-ku diubah, tapi dia bilang aku harus punya ciri khas," kata Dian. "Personal branding itu penting untuk penyanyi baru. Dia yang memilihkan style ini untuk aku. Aku nurut aja."
Dia yang memilihkan style ini untukku...
Aku teringat kata-kata Reza. Publik yang akan menentukan peran kita. Sebagai selebritis, kami nyaris tak punya kuasa apa-apa menentukan penampilan kami sendiri. Dan semakin kami tenar, kekuasaan yang cuma secuil itu akan kian menyusut. Dian baru saja mengalaminya. Untuk saat ini aku belum akan berkomentar apa-apa. Aku masih sedikit waswas karena Dian nggak gabung di GIFTED dan harus menghadapi semua "hingar bingar" ini sendirian (agensi Tante Irma hanya nge-handle talents untuk akting). Aku nggak mau Dian jadi ilfeel, padahal dia baru dapat kesempatan emas untuk menunjukkan bakatnya.
Kami mengecek buku menu dan memesan. Aku cuma pesan jus.
Dian menahan tanganku saat mau mengembalikan buku menu. "Kayaknya setiap kali kita pergi makan, kamu nggak pernah pesan makanan."
"Si Tante minta aku diet buat malam anugrah nanti, Di."
"Diet?" Dian terbelalak. "Kamu nggak gemuk, lho."
Dian benar. Dengan tinggi seratus tujuh puluh tiga senti (tanpa high-heels) dan berat lima puluh lima kilogram, aku sama sekali nggak gemuk "Pilihan gaun-gaun untuk malam itu body fit semua, dan para brand nggak terima vermak."
"Do you really want to go to that event?"
"I have to. Aku masuk nominasi, ingat?"
"Tapi nominator nggak diwajibkan datang, kan? Aku sering lihat di Oscar, ada aktor yang nggak bisa datang dan diwakili aktor lain pas terima pialanya."
"Aku nggak dibolehin. Ini nominasi perdana aku. Aku harus datang."
Dian mencebik. Dia merangkum pesanan kami dan mengembalikan buku-buku menu pada pelayan. Si pelayan mencatat pesanan kami lalu pergi.
"Ngomong-ngomong, aku ditawarin untuk isi acara di malam anugrah," kata Dian. Sebelum sampai ke sini, kamu sudah sepakat untuk tidak menyebut-nyebut kata 'Starlight'. "Belum pasti jadi, karena aku artis baru..."
Semangatku melambung. "Terima aja, Di!"
"Aku cuma mengisi jeda pas lagi off air aja sih," kata Dian merendah. "Jadi nggak bakal kelihatan juga. Tapi kata manajerku, itu peluang yang bagus."
"Manajer kamu benar. Itu memang peluang bagus."
"Acaranya betulan empat jam, ya? Tapi kalau dilihat di televisi kok cuma satu setengah jam aja?"
"Kata si Tante, sengaja dipotong-potong karena kalau mau disiarin semua dari awal, bakal kepanjangan. Kita cuma ngumpul pas pengumuman pemenang atau penampilan selingan, sisanya bebas ngobrol atau makan."
Dian membuang udara lewat mulut. "Kedengarannya menegangkan."
Itu sudah pasti. Bayangkan berkumpul di suatu aula besar bersama ratusan aktor dan aktris terkenal sepanjang malam. Alonzo bilang dia heran aula itu nggak meledak setiap malam anugrah Starlight melihat banyaknya ego raksasa yang berkumpul di sana.
"Apa aku bisa gabung di meja kamu nanti?" tanya Dian penuh harap.
"Kayaknya aku bakal duduk bareng cast yang lain, deh."
Dian mengembus lagi.
"Tapi nanti pas off-air, kita bisa bareng-bareng..." tambahku buru-buru.
Dian tersenyum lega. Aku bisa memahami perasaannya. Meski dari luar kami tampak begitu glamor saat ini, tetapi di dalamnya kami cuma dua anak kampung yang kebetulan mencari nafkah di dunia kemilau bernama "dunia entertainment". Aku memang sudah duluan "nyemplung", tetapi tetap saja, malam anugrah Starligh ini akan jadi pengalaman baru untuk kami berdua.
Kuberanikan diri meraih tangannya. "We'll be fine."
Dian balas menggenggam jari-jariku. "Aku harap begitu."
Pesanan kami diantarkan. Si pelayan sengaja berlama-lama dan melirikku berkali-kali, seperti curiga pada rambut palsuku. Aku terpaksa menyingkirkannya dengan pura-pura minta tisu dan tusuk gigi.
Kami mulai makan. Aku bertanya ke Dian kapan video klipnya akan dirilis, dan dia bilang besok lusa. Itu di hari yang sama dengan syuting terakhir Lovebirds. Aku memberitahunya soal jadwal promo super padat meliputi tur ke acara-acara talkshow di TV, radio serta acara-acara offline yang menantiku setelah Starlight. Ternyata Dian juga dijadwalkan untuk promo single perdananya. Aku sampai lupa bahwa di awal kariernya, penyanyi baru sama sibuknya dengan aktris baru.
"Si diva masih nggak ngomong sama kamu?" tanya Dian lagi.
Maksudnya Reza. Aku menggeleng dan menyeruput jusku.
"Dia marah sama kamu, ya?"
"I have no idea..." Kami sering curhat lewat WhatsApp, jadi cukup update dengan kehidupan masing-masing. "Yang berhak marah itu harusnya aku, kan?"
"Mungkin dia cuma nggak mau keceplosan lagi," kata Dian adil.
"Dia belum sempat bilang apa-apa, kok. Dia cuma bilang dia diharuskan oleh seseorang. Persisnya apa dan siapa, aku sama sekali nggak tahu."
"Apa si diva ditekan sama manajernya? Dia kan udah beda kelas sama kita."
Aku sudah pernah memikirkan ini sebelumnya. Reza bisa saja ditekan oleh manajernya untuk menutup-nutupi hubungannya dengan Kai. Dan dia memilih untuk pura-pura memacariku.
"Tetap aja, aku nggak suka caranya. Nggak elegan banget..." Kuhabiskan jus itu. Terlalu manis. "Aku lebih curiga dia diancam sama si... si... Aneh."
"Maksud kamu, Darling?"
"Sssh!" Terpaksa kuinjak kaki Dian di kolong meja. "Jangan keras-keras! Dia punya banyak mata-mata!"
Dian merendahkan kepalanya. Aku membuat isyarat minta maaf karena sudah menginjaknya "Tapi di chat kamu bilang, si Aneh ngotot dia nggak... ehm, playing dirty? Apa jangan-jangan dia memang nggak melakukannya?"
"Nggak playing dirty apanya!" dengusku. "Kalau si Aneh nggak macam-macam, Om Irfan masih hidup sampai hari ini kan?"
"Betul juga." Dian mencomoti emping di bubur ayamnya dengan tangan. "Aku bisa paham kalau si Aneh mengacam si Diva. Tapi kenapa si Aneh sampai mewanti-wanti kamu juga? Kamu bilang kalian sering berpapasan, kan? Dan terakhir kali, si Aneh terang-terangan bilang dia mau ngecek keadaan kamu."
"Tante Irma bilang si Aneh mau merekrut aku di agensi dia."
"Terus nggak bisa karena kamu lebih dulu diambil Tante Irma, kan?" selidik Dian. "Tapi kenapa si Aneh mau merekrut kamu? Jangan tersinggung, maksudku... kamu masih baru. Kenapa si Aneh nggak mengambil talents GIFTED yang lebih senior?"
Kecurigaan Dian sudah terpancing sehingga dia lupa memakai istilah-istilah samaran yang sudah kami sepakati.
"Aku rasa karena Darling udah tahu soal serial itu sebelum audisi," jawabku, melontarkan alasan yang tiba-tiba terpikirkan. "Dia mau masukkin talents dari agensinya dia untuk balas dendam ke GIFTED, makanya dia merekrut sebanyak mungkin orang yang dirasa potensial. Mungkin pas ngelihat aku hari itu, Darling kepincut."
"Sama tampang kamu?" tanya Dian.
"Sama tampang ini..." Aku terkekeh getir. "Aku kan udah cerita, Di. Aku menerima tawaran Tante Irma karena kepepet duit. Aku nggak pilih-pilih agensi–malahan aku buta sama sekali soal talent management. Tante Irma adalah satu-satunya yang menawariku, jadi aku terima aja. Aku sama sekali nggak menyangka kalau Lovebirds bakal meledak seperti sekarang."
Dian bersandar ke punggung kursinya dan meregangkan jari-jarinya. Dari gerak-geriknya, kurasa Dian ikut resah dengan segala trik-trik di belakang layar ini. Kami berdua terdiam. Sepertinya Dian baru menyadari bahwa dia sudah bergabung di dunia yang sekilas tampak begitu sempurna, tetapi nyatanya kotor dan penuh orang-orang licik seperti dunia mafia.
"Ngomong-ngomong soal Lovebirds," lanjut Dian. "Aku sempat lihat di Instagram, katanya akan lanjut ke season tiga."
Wah. Ini baru berita. "Oh, ya? Akun gosip? Si Mak Lambe, bukan?"
"Bukan. Salah satu akun berita. Antara Kompas atau Detik, aku lupa. Salah satu produser kamu yang bilang. Kalau nggak salah namanya Rando..."
"Ridho," koreksiku. "Ridho belum bilang apa-apa ke kita."
"Mungkin dia sengaja mau kasih surprise?" usul Dian polos. "Kamu bilang episode final season dua ini open ending, kan?"
Aku hanya mengangguk.
Lovebirds 3. Aku nggak bisa membayangkan akan jadi apa Carissa nanti. Di season 2 ini saja dia sudah menusuk dan mencelakai tokoh lain. Berani taruhan, Kai pasti akan bikin karakterku itu naik "level" antagonisnya. Setelah pelakor dan penganiaya, mungkin berikutnya Carissa akan jadi pembunuh.
Dian mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Kamu kenapa? Kok kayak nggak senang? Kalau ini benar, bukannya itu berita bagus?"
Berita bagus untuk Ridho, tapi jelas bukan untukku.
Kuputuskan untuk memberitahu Dian semua kegalauanku soal Carissa. Selama ini aku hanya curhat ke Mama. Aku belum bilang ke Dian tentang serangan telur busuk itu, bagaimana perasaaanku dijadikan bulan-bulanan gosip Mak Lambe, dan kekhawatiran Mama akan nasibku jika terus-terusan memerankan Carissa. Semua kebencian ini berasal dari penampilan Carissan di season satu saja. Para penonton itu belum tahu kegilaan apa yang dilakukan Carissa di season dua ini. Aku yakin sekali yang dilempar berikutnya akan lebih parah dari telur busuk. Setelah season dua resmi naik di Netflix nanti, aku harus minta bodyguard tambahan.
"Aku lelah jadi tokoh antagonis, Di..."
Dian meremas tanganku erat-erat dan menggoyangkannya. Ekspresi ingin tahunya berubah jadi iba. "Kamu bisa menolak tampil di season tiga, Nis..."
"Apa aku betulan bisa menolak?"
"Kamu dikontrak per season, kan?"
Secara teknis, Dian benar. Manis Maramis belum akan jadi Carissa lagi sampai aku menandatangani kontrak berikutnya.
"Tapi kalau aku menolak, gimana dengan season berikutnya, Di? Siapa yang bakal jadi Carissa? Anwar, Ridho dan tim produksi yang lain pasti kecewa."
"Ini bukan tentang mereka, Nis..." Dian meraih pipiku dengan kuat sampai kacamata palsuku miring. "Tapi tentang kamu. Ketika kamu diserang haters, kamu menghadapinya seorang diri, kan? Paling banter mereka cuma bisa sewain bodyguard sama mobil untuk kamu. Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu, apa mereka akan tanggung jawab?"
Aku memikirkan kata-kata Dian. Aku setuju dengannya. Ini bukan lagi soal Lovebirds, tapi tentang aku. Aku nggak bisa mengendalikan kebencian dari para haters itu. Dan mereka sudah terbukti sanggup berbuat nekat.
"Aku akan selalu dukung kamu, Nis," kata Dian mantap. "Kamu lebih dari sekedar tampang antagonis. Kamu tahu itu."
...
Kata-kata Dian terngiang-ngiang di benakku dalam perjalanan ke apartemen.
'Kamu lebih dari sekedar tampang antagonis.'
Aku senang karena seperti Mama, Dian juga mendukungku. Perlahan-lahan, keputusan itu semakin bulat. Aku lebih dari sekedar tampang antagonis. Aku yakin Bulma juga bisa memahami ini kalau aku membeberkan semuanya ke dia.
Cuma ada satu masalah: Tante Irma.
Selama ini Tante Irma selalu mendukung keputusanku. Alonzo dan mobil itu adalah responnya atas insiden penyiraman kopi di bandara. Tapi apakah Tante Irma akan mendukung keputusanku yang ini?
Menurut Dian, sebagai manajerku Tante Irma pasti akan memprioritaskan keselamatanku. Bagaimanapun juga, kalau aku jadi korban serangan haters, si Tante yang bakal repot.
Semoga saja begitu.
Aku naik ke apartemen dan mengambil kunci. Rasa lelah akibat syuting dan harus menghadapi segala drama dunia hiburan ini membuat tubuhku penat. Sayang sekali aku nggak bisa pesan tukang pijat online ke apartemen ini karena dilarang Tante Irma. Lokasi tempat tinggal para talents memang sengaja dirahasiakan agensi untuk mencegah serangan haters.
Begitu aku masuk ke dalam, kulihat lampu-lampu sudah dinyalakan. Pasti Bulma sudah pulang dari pekerjaan rahasianya.
"Bul? Bikin smoothies, yuk! Gue beli apel, nih!"
Ada suara langkah kaki dari kamar Bulma. Cuma kali ini suaranya lebih ringan, nggak berat seperti langkah Bulma.
"Bulma udah nggak tinggal di sini lagi."
Aku berbalik dan menemukan Tante Irma. Manajerku itu sedang berdiri bersedekap sambil bersandar di tembok. Dia membanting sebundel berkas di atas meja makan dan mendorongnya ke arahku.
Kuambil berkas itu. Di halaman sampulnya tertulis sebaris judul, sepertinya itu naskah film. Nama Bulma ada di bawahnya, bersama para pemain lainnya. Di baris terakhir, tertulis: "Casting by: Angels Talent Management."
Jantungku seperti diremas.
"Bulma berkhianat," kata Tante Irma. Dadanya naik turun menahan amarah. "Alonzo yang kasih tahu Tante tadi pagi."
Apa?
Bulma berkhianat?
No way!
"Tante yakin? Bulma nggak mungkin melakukan itu, Tan..."
"Tante juga nggak percaya, Nis..." Tante Irma melepas kacamata mata kucingnya dan menghapus setitik airmata. Dia mengeluarkan ponselnya dan menyalakan layarnya. "Tapi Alonzo merekam Bulma selagi dia menunggu kamu turun. Bulma dijemput sama Darling."
Tante Irma menunjukkan kiriman video dari Alonzo itu. Aku menontonnya dengan jantung berdebar-debar. Apa yang direkam video itu memang persis seperti yang diceritakan Tante Irma. Bulma bahkan tampak akrab dengan Darling, mereka berdua tertawa-tawa seperti sobat karib sebelum masuk ke mobil.
"Tante udah coba telepon Bulma buat klarifikasi..." Lebih banyak airmata Tante Irma yang bercucuran, sampai eyeliner-nya luntur. "Tapi nggak diangkat. Kirim WA juga nggak dibalas. Seminggu ini Bulma memang jarang kontak Tante. Padahal biasanya dia rutin minta proyek. Akhirnya tadi sore Tante nekat mampir ke sini. Bulma nggak ada, tapi Tante ketemu naskah itu di kamarnya. Barang-barangnya udah diangkut semua."
Bulma...
Aku memejamkan mata, belum siap mencerna ini.
Ternyata ini proyek yang selama ini dirahasiakan Bulma.
Bulma mengkhianati GIFTED!
"Maaf, Tante... Aku betul-betul nggak tahu..."
"Masa kamu nggak curiga sama sekali, Nis?" desak Tante Irma. "Kalian berdua kan akrab banget. Apa sejak pulang dari Semarang, Bulma pernah bilang dia mau pindah ke agensi Darling?"
Ya Tuhan, ini betul-betul kejutan tak terduga. Bukan hanya Tante Irma yang sakit hati sekarang, tapi aku juga. Mati-matian aku berusaha melawan Darling, padahal beberapa hari ini aku tidur satu atap bersama sekutunya!
"Bulma cuma bilang dia punya proyek rahasia, tapi nggak bilang lebih jauh, Tante. Aku juga nggak enak mau ngorek-ngorek info, karena takut dikira kepo. Bulma kan suka sensi..."
"Terus yang dia pindahan ini, masa kamu nggak tahu juga?"
"Seminggu belakangan ini Bulma selalu berangkat lebih dulu dari aku. Pas aku bangun, tahu-tahunya Bulma udah ngilang. Dan aku di lokasi syuting seharian, Tante. Aku baru ketemu Bulma lagi sekitar jam delapan malam."
Tante Irma menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis. Bukan tangis kesal atau sedih, tapi tangisan marah. Kurangkul Tante Irma dan kuhibur dia, meski kepahitan juga menguasaiku. Apa yang Bulma pikirkan sampai dia nekat pindah ke agensi Darling? Padahal sejak kembali dari Semarang, Bulma sudah lebih ceria. Aku yakin sekali Bulma sudah optimis dengan kariernya. Tapi ternyata semua itu cuma sekedar kedok. Bulma nggak cuma menghancurkan hati Tante Irma, tetapi hatiku juga. Sebagai sahabat karib, setidaknya dia bisa bilang ke aku, kan?
I mean, for Godsake, I saved her life twice!
"Darling akan menghancurkan kariernya," isak Tante Irma pilu. "Sama seperti dia menghancurkan karier anak-anak GIFTED lain yang diambilnya. Bulma... kenapa dia bisa begitu naif?"
"Pasti Bulma dikasih iming-iming sama Darling, Tan."
"Ular licik!" hardik Tante Irma. "Kamu paham sekarang betapa jahatnya orang itu, Nis? Darling sanggup mengubah sahabat jadi musuh!"
Sekarang aku bingung harus bereaksi apa. Kejadian ini begitu tiba-tiba sehingga aku nggak siap untuk membenci Bulma. Kecewa padanya? Jelas. Marah? Itu sudah pasti. Tapi kalau membencinya? Mana mungkin bisa secepat ini? Kemarin malam kami masih minum smoothies pisang bareng-bareng!
"Mungkin Bulma cuma khilaf sesaat, Tan. Sama kayak waktu dia bulimia dan minum pil kurus itu."
"Ini keputusan besar, Nis. Menyangkut masa depan karier Bulma. Tante ragu Bulma cuma bertindak impulsif..." Tante Irma menangis lagi. "Padahal selama ini Tante udah berusaha mati-matian... kirim dia naskah hampir setiap hari... dia bahkan cabut tanpa pamit... nggak ada bilang terima kasih juga..."
Tante Irma tampak sangat terpukul. Kubimbing dia untuk duduk di sofa dan kubuatkan secangkir teh hangat. Aku belum pernah melihat Tante Irma hancur begini. Selama ini Tante Irma selalu tampak kuat dan bisa diandalkan. Tapi aku mengerti betul alasannya. Toh aku turut merasakannya juga. Bulma adalah talent GIFTED. Hengkangnya Bulma dari GIFTED dengan diam-diam seperti ini, ke agensi lawan pula, pasti merupakan pukulan berat bagi Tante Irma.
Setelah cangkir teh yang ketiga dan semangkuk oatmeal hangat, barulah Tante Irma tenang. Dia meminta sehelai kapas dan toner untuk menghapus makeup-nya yang udah nggak keruan.
"Tadi sore kamu WA Tante, Nis?" Tante Irma menyapukan kapas itu dalam gerakan-gerakan kasar di wajahnya. "Katanya mau bahas sesuatu yang penting?"
Ah. Tadi sore selesai bertemu dengan Dian, aku nge-WA Tante Irma untuk mengajaknya bicara empat mata. Tujuannya adalah untuk memberitahu rencanaku berhenti dari Lovebirds. Tapi melihat kondisi Tante Irma sekarang ini, sepertinya aku harus menahan diri untuk sementara. Tante Irma baru kehilangan Bulma. Mana mungkin aku tega menghancurkan hatinya lagi dengan menyatakan niatku ini.
"Mau ngomong soal apa, Nis?" Tante Irma menghadapku.
"Soal... gaun, Tante... Aku... cuma penasaran apa udah ada desainer—"
"Tex Saveria bilang iya," Tante Irma mengambil ponsel, langsung kembali ke sikapnya yang profesional. "Kamu bakal pakai gaun rancangan dia."
"Oke deh, Tante. Maaf, aku cuma khawatir aja."
Tante Irma mengangguk-angguk cepat. "No, no... it's okay. Tante malah senang kalau kamu terbuka begini. Pokoknya kalau ada masalah apa, selalu bilang ke Tante dulu, ya?"
Kuberikan senyum yang paling tulus pada manajerku itu. "Pasti, Tante."
Tante Irma tersenyum lega. "Selama kamu ada di GIFTED, Tante akan mengatur segalanya. Kamu tenang aja..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top