21. Public Enemy

Perlu tiga menit bagiku untuk bergerak kembali.

Sambil termangu, aku turun kembali ke lobi. Reza sudah tak tampak, tetapi para wartawan itu masih menunggu. Sepertinya mereka bertambah banyak. Alonzo sedang nongkrong di depan meja resepsionis. Tatapan mata kami berserobok. Sopir rangkap bodyguard itu mengetuk kacamata hitamnya, memintaku untuk pakai juga. Aku menyampirkan kacamata hitamku, lalu membiarkan diriku diapit Alonzo. Pria itu membimbingku menuju pintu keluar.

Para wartawan langsung mengejarku.

"Manis! Kok Reza-nya pergi duluan?"

"Apa kalian berantem? Apa ini ada hubungannya sama foto-foto Reza?"

"Kak Manis, hadiah anniversary-nya apa?"

Rasanya aku ingin berteriak dan mengusir para wartawan itu, tetapi mereka berbondong-bondong mengikutiku seperti serombongan anak bebek yang cerewet. Suara shutter kamera yang dipencet sambung menyambung terasa seperti desingan bor di telingaku.

"Manis! Lihat ke sini, dong!"

"Kak Manis, jawab satu pertanyaan aja, Kak!"

Kuputuskan untuk bungkam. Kalau saat ini aku punya Death Note, pasti sudah kutulis nama semua wartawan ini di dalamnya.

"Kasih satu statement aja, Manis!" Salah satu wartawan itu nekat meraih tanganku, tampangnya kesal. "Kita udah nunggu dari jam enam pagi, nih!"

Oh, no...

Para wartawan ini boleh merekamku dan mengambil fotoku sesuka mereka, tetapi kontak fisik telah melanggar peraturan tak tertulis dalam meliput selebritis.

Alonzo langsung bergerak. Dia mengayunkan tinju raksasanya untuk melindungiku. Pria yang tadi menyentuhku itu memekik memprotes dan cepat-cepat berkelit mundur. Dia menabrak rekan-rekan di sampingnya, dan bikin suasana tambah kacau. Salah satu moncong kamera yang besar menghantam keningku, disusul kamera lainnya. Sakit! Alonzo menjulurkan kedua tangannya yang sebesar batang pohon, membopongku keluar dari tengah-tengah kerumunan yang tak terkendali itu, dan memasukkanku ke dalam mobil.

Para wartawan itu berseru-seru memprotes. Mereka mengataiku macam-macam dan menuduhku ingin melukai mereka. Aku ingin meminta maaf, tetapi Alonzo menekan pedal gas dalam-dalam, dan mobil kami pun meluncur pergi diiringi teriakan-teriakan marah.

Kalau sudah begini, mustahil mood-ku diperbaiki.

...

Hari ini adalah sesi syuting paling nggak nyaman yang pernah kualami.

Aku mencoba menanyai Reza, tetapi dia terang-terangan menghindar. Sebelum kami take, dia mengurung diri di ruang gantinya dan hanya mengirim salah satu asistennya untuk meladeniku ("Reza lagi fokus menghafal dialog, Mbak Manis. Maaf, ya..."). Tentu saja alasan itu mengada-ada. Aku tahu persis Reza bisa menghafal dialog secepat kedipan mata dan jago berimprovisasi.

Saat take, dia hanya mengucapkan dialognya tanpa sedikit pun berbasa-basi. Tingkahnya yang berubah seratus delapan puluh derajat ini membuatku sebal sekaligus penasaran. Apa dia menyembunyikan sesuatu? Di apartemen dia sempat bilang tentang seseorang... Aku masih belum tahu siapa orang ini, tetapi sepertinya Reza terikat dengannya.

Nanti akan kucari tahu!

Tampaknya hanya aku yang menyadari "keheningan" Reza ini. Kak Ussy sedang syuting di lokasi yang berbeda bersama Valen (untuk adegan kampanye, di sebuah lapangan terbuka). Tyas dan tim kostum sibuk mengurusi sesuatu di sela-sela take, samar-samar aku menangkap mereka menyebut-nyebut "Starlight". Jadi hari ini aku betul-betul sendiri. Kru dan anak-anak yang lain tidak cukup akrab denganku, sebagian masih takut dekat-dekat denganku (padahal ini udah season dua, lho! Halooo! Tampang ini cuma casing luarnya aja!)

Syuting hari ini terasa panjaaaaaang banget!

Sisi baiknya, karena nggak ada yang bertingkah diva (baca: Reza), kami bisa selesai dua jam lebih cepat. Aku kembali ke kamar ganti dengan perasaan sedikit lebih baik, dan melihat Tante Irma di sana. Sejak mulai syuting, manajerku itu hanya sesekali mampir, dan biasanya cuma untuk urusan-urusan penting.

Si Tante sedang menatap iPad-nya ditemani Ambar, si penata kostum.

"Manis!" Tyas menyetopku dalam perjalanan menghampiri Tante Irma. Dia mengangkat ponselnya dan mengangsurkannya padaku. "Lihat!"

Saat melihat layar itu, mataku seperti ditusuk paku. Tebak siapa yang jadi bahan gunjingan terbaru Mak Lambe? Aku.

"Gercep banget si Mak!" komentar Tyas sinis. "Dia menuduh elo menciderai salah satu wartawan, nih!"

"Justru kepala gue yang ketabrak kamera," koreksiku. "Dan nggak ada yang terluka, kok. Alonzo cuma ngedorong mereka. Soalnya gue dipegang, Yas! Kan gue udah cerita tadi pagi!"

"Lo kayak nggak kenal media aja," kata Tyas. "Bahasa mereka kan begitu. Serba lebay. Apalagi para wartawan infotainment."

Aku kembali menatap layar ponsel. Kegelisahanku meroket saat menyadari ada dua gosip terbaru tentang aku di akun Mak Lambe. Pertama soal cidera fiktif itu, dan yang kedua menyoroti hubunganku dengan Reza. Tertulis besar-besar di caption-nya: 'ASMARA ADAM DAN CARISSA: CUMA SETTINGAN?"

Eh...

Kok bisa?

Aku yakin saat kabur dari apartemenku, Reza juga tidak bilang apa-apa ke para wartawan itu. Buktinya mereka mengejarku untuk minta statement. Kalau begitu, dari mana Mak Lambe tahu hubungan kami memang cuma halu-nya Reza?

"Gue rasa lo bakal jadi bulan-bulanan fans club Reza lagi," kata Tyas.

Itu sih sudah pasti. Seolah-olah haters-ku belum cukup banyak, sekarang aku juga harus bermusuhan dengan para wartawan. Padahal selama ini aku selalu meladeni mereka dengan sabar. Yang tadi pagi itu pengecualian, karena mood-ku sudah terlanjur dihancurkan Reza.

"Lo memang nggak ada hubungan apa-apa sama si Reza kan, Nis?" selidik Tyas. Dia mendekatiku dan berbisik di telingaku, seperti akan memberitahu lokasi peti harta karun. "Ini semua memang cuma kelakuan Reza aja, kan?"

Aku mendesah. "Iya sih..."

Tyas menyikutku. "Akhirnya dia ke-gep juga."

"Ke-gep?"

"Dia cuma memanfaatkan elo, kan? Si Reza?" kata Tyas. "Buat menutup-nutupi hubungan dia sama Kai?"

"Lo udah tahu soal itu?"

Tyas melempar tatapan yang-benar-saja padaku. "Mereka berdua itu udah kayak kucing kalau lagi birahi. Ke mana-mana berdua. Masa lo nggak sadar?"

"Gue memang baru sadar setelah kejadian—"

Wait a second.

Hari ini Tyas terlalu antusias. Biasanya dia hanya menjadi pendengar. Kenapa dia jadi begitu tertarik soal Reza?

Apa ini artinya...

Ada lampu besar yang menyala terang dalam kepalaku. Selama ini aku selalu cerita apa-apa ke Tyas karena dia pernah meyakinkanku bahwa dia bisa dipercaya. Tyas juga mengaku bahwa dia sudah mendengar banyak "rahasia" di ruang ganti ini—sebagai penata rias, dia bisa dekat-dekat kami dan menyimak semua obrolan tanpa perlu dicurigai. Dan Tyas pernah memperingatkanku soal dinding yang bertelinga.

Seketika semuanya menjadi sangat jelas.

Tyas adalah double agent yang bekerja untuk Darling!

"Lo kenapa, Nis?" Tyas memandangi wajahku. "Kok bengong?"

"Itu, umm... asam lambung naik."

"Lo mau gue ambilin antasida?"

"It's okay, Yas. Ehm, ngomong-ngomong soal Reza..."

"Manis..." Tangan Tante Irma mendarat di pundakku. Tyas tersenyum sopan pada manajerku itu dan segera mohon diri. Ah! Padahal aku mau menyelidikinya!

"Kenapa, Tan?"

"Keke Komika baru kasih kabar," kata Tante Irma sambil melepas kacamata mata kucingnya. "Slot tamunya penuh. Udah di-book sejak awal tahun untuk ads lip film-film dan serial nominator Starlight. Baru kosong setelah Starlight."

Oh. Tante Irma membicarakan soal reuniku dengan Papa.

"Kita ganti acara yang lain aja, Tan. Gimana kalau talkshow yang di YouTube?"

"No, no... nggak bisa! Harus Cuap-cuap Bareng Keke. Itu acara paling hits di TV sekarang," tolak Tante Irma tegas. "Tante udah telepon Keke lagi. Dia bisa selipin kamu seminggu setelah Starlight. Harinya belum fix, sih. Nggak apa-apa kan ke-delay sedikit?"

Uh, yang penting urusan Papa ini tuntas. "Terserah Tante aja."

"Tante," Ambar menyerobot. "Soal dressing Manis—"

"Ambar," sela Tante Irma galak. "Kamu nggak lihat saya lagi ngomong?"

"Bukan begitu, Tan," cicit Ambar ngeri. "Cuma Anwar titip pesan. Kalau misalnya sampai hari-H Manis belum dapat—"

"Saya manajer Manis. Saya yang urus dia," kata Tante Irma.

"Soal apa nih, Tan?" Dari gerakan-gerakan gusar Ambar, sepertinya ini urusan mendesak. "Dressing buat apa?"

"Buat malam penghargaan Starlight, Nis," jawab Tante Irma. "Begini, kamu nggak usah dipusingin sama urusan ini. Tenang aja, Tante bisa atur semua—"

"Nggak ada desainer yang mau nge-dressing Manis!" potong Ambar nekat. "Padahal malam anugrahnya tinggal dua minggu lagi!"

"Belum ada," koreksi Tante Irma sambil memelototi si penata kostum. "Ini bukan masalah besar kok, Nis. Masih ada selusin desainer yang belum Tante calling. Pasti ada yang mau nge-dressing kamu."

Aku betul-betul bingung apa yang sedang dibicarakan Tante Irma dan Ambar. Tante Irma menangkap raut kebingunganku. Dia membetulkan seutas rambutku yang jatuh ke wajah, lalu menutup iPad-nya.

"Malam anugrah Starlight Awards bukan cuma ajang bagi para selebritis, tetapi juga kesempatan emas untuk endorsement," kata Tante Irma. "Rata-rata selebritis yang datang dapat titipan promosi oleh berbagai brands, mulai dari sepatu, baju, hape, sampai perhiasan. Khusus untuk para nominator, biasanya brands akan minta kerja sama supaya kalian memakai hasil karya mereka. Kalian akan difoto di red carpet, dan foto-foto itu akan tersebar ke mana-mana. Bagi brands, itu adalah promosi. Sebagai gantinya, para brand itu akan mensponsori apa yang bakal kalian pakai. Tergantung jenis kerja samanya, semua yang kalian pakai bisa jadi hak milik atau cuma dipinjamin aja buat malam itu."

"Dari sebelum nominasi diumumin, Ivana Gunawan udah nge-booking Ussy. Untuk perhiasannya, Ussy udah dilantik jadi brand ambassador The Palace. Valen fixed sama Oscar Lawalawa. Tag Heuer sekalian minta Valen endorse jam tangan terbaru mereka," sambung Ambar, rupanya sama sekali belum kapok dihujani tatapan sinis dari Tante Irma. "Bahkan Tante Ida udah deal sama Anne Avanto untuk dress batiknya. Tinggal Manis aja yang belum dapat tawaran."

"Aku nggak harus pakai baju bermerk, kok," sahutku. "Aku bisa jahit gaun sendiri. Boleh kan, Tante?"

"Nggak boleh, Nis. Nanti kamu kebanting sama nominator yang lain," kata Tante Irma. "Barusan Tante udah ngomong sama orang Tex Saveria, mereka pasti setuju buat di-endorse kamu. Nggak usah khawatir!"

"Brands nggak mau di-endorse Manis karena takut produknya nggak laku," lanjut Ambar dengan berani. "Mereka takut produk mereka berkesan 'pelakor'."

Pelakor.

Begitu rupanya.

Tante Irma meledak. Dia meneriaki Ambar dan menyuruhnya pergi. Si penata kostum itu langsung melarikan diri. Tante Irma mencoba menghiburku tetapi kata-kata Ambar sudah terlanjur membekas di benakku.

"Manis, hei... dengarin Tante!" Tante Irma menjentik-jentikkan jarinya di depan hidungku. "Ini bukan soal kamu, tapi Carissa. Mereka berpikir—"

"Mereka berpikir aku betulan pelakor, seperti Carissa," sambungku mawas diri. Semua kepercayaan diri yang selama ini kubangun dengan hati-hati runtuh dalam sekejap. Ibu-ibu yang menyiramiku dengan kopi... Orang yang melempar telur busuk padaku... Reza yang menyamakanku dengan tokoh yang kuperankan... Mak Lambe dengan gosip-gosip jahatnya... Para wartawan yang langsung menghakimiku cuma gara-gara kesalahpahaman kecil... Dan sekarang para brands yang terang-terangan menolakku karena Carissa...

Mama benar. 

Orang-orang memang benci padaku.

"Maaf, Tante. Hujan..." Dorongan dalam diriku memaksaku untuk berbohong supaya bisa pergi. "Aku ninggalin jemuran di teras apartemen."

"Sebentar, Manis! Dengarin Tante dulu!"

Tanpa menggubris Tante Irma, aku segera pergi ke luar. Pemahaman ini begitu tegas dan tak terbantahkan, sehingga terasa dua kali lebih menyakitkan. Selama ini aku mencoba mengabaikan gunjingan-gunjingan tak sedap itu dengan berpikir positif: yang mereka benci adalah Carissa, bukan Manis. Tapi aku keliru. Seperti yang Reza bilang tadi pagi, aku sama sekali tidak punya kuasa untuk menentukan peran itu, tetapi publik. Mereka sudah mengecapku sebagai pelakor, dan peran itu akan terus melekat padaku.

Di mata mereka, Carissa adalah aku. Dan mereka membencinya. Mereka membenciku.

Tante Irma mengejarku, tetapi dia dicegat oleh Anwar dan Ridho di teras depan. Perasaanku tercabik-cabik. Aku ingin membenamkan diri di kasur dan menghilang. Aura kebencian seakan menguar dari semua orang, begitu pekat dan menyengat, menyerangku dari segala sisi, seolah-olah ingin mematikan sosok Manis Maramis dalam diriku, dan menggantinya sepenuhnya dengan Carissa.

Aku lari ke mobil. "Alonzo, tolong anterin ke apartemen sekarang!"

"Hello, Darling..."

Aku mengerem lariku dan tersandung kaki sendiri saking kagetnya. Sosok nyentrik pemilik Angels Talent Management sedang bersandar santai di pintu mobilku, dalam pakaian yang tampak seperti merupakan gabungan daster, jas dan overall kebesaran warna hijau stabilo terang. Aku nyaris tak bisa menemukan persamaan orang di hadapanku ini dengan laki-laki dalam foto di kantor Tante Irma.

Orang yang salah di waktu yang salah. "Darling! Ngapain kamu di sini?"

"Just want to say hello," kata Darling sok akrab. Asap rokoknya yang pekat langsung menyergapku. "Penasaran aja gimana kabar kamu..."

"Kamu kan yang memberitahu para wartawan itu soal Reza? Ngaku!"

"Reza?" Alis Darling yang ditato melambung naik. Dia mengeluarkan tawa horor ala orang tercekik yang bikin merinding itu. "He's just clumsy, that guy. Dia pikir bisa menyembunyikan rahasia itu selamanya. Kalau kamu ketemu dia lagi, tolong kasih tahu dia: a superstar is not meant to be hidden, but be seen. Artinya, sekeras apa pun dia mencoba, dia akan selalu 'terlihat'..."

Sosok nggak jelas ini membuat suasana semakin keruh. Kusalurkan kekesalanku pada orang ini dan kudorong dia kuat-kuat. "Tante Irma udah cerita apa yang terjadi lima tahun lalu."

Darling menahan tanganku. "The true version, I hope."

"Oh, ya!" balasku. "Tante Irma cerita semuanya. Apa kamu belum puas udah bikin Tante Irma kehilangan saudara kembarnya?"

Darling memicing. Matanya menghilang dibalik tumpukan bulu mata palsu, membentuk dua garis hitam tebal. Pegangannya di pergelanganku berubah jadi cengkeraman, kuku-kuku palsunya yang panjang dan melengkung seperti cakar menghunus kulitku. Aku meringis kesakitan dan berusaha melepaskan diri, lupa bahwa di balik tampilan feminin dan aneh ini, Darling tetaplah seorang laki-laki. Aku mengancam akan berteriak. Darling bergeming. Setelah beberapa detik, barulah dia melepaskanku.

"You have forgotten what I told you the first time we met," katanya.

"Ngapain aku harus menggubris orang busuk kayak kamu?"

"That time I said..." Darling menempelkan rokok ke bibirnya yang keriput seperti jeruk kering dan mencondong ke arahku. "Kamu akan menyesal."

"Aku nggak tahu apa maksud kamu!"

"Pembohong!" desis Darling, ludahnya bercipratan. "You can lie as much as you want, but I can see it in your eyes. Kamu sudah menyesal. Kamu menyesal mengambil peran ini, karena semua orang sekarang menganggap kamu adalah Carissa."

Oh, tidak.

Dia tahu.

Ya, Darling mengetahuinya. Aku gemetar karena terjangan emosi. Aku telah meremehkan orang ini. Hanya dengan memandangiku, Darling bisa tahu apa yang sedang kurasakan!

"Sebaiknya kamu yang menyesal dan bertobat Darling," kataku, sengaja memutuskan kontak mata kami dan kembali fokus. "Tuhan itu nggak tidur. Dia nggak akan membiarkan kamu semena-mena menghancurkan karier orang-orang seperti ini!"

"Oh..." Darling pura-pura terkesiap. Perubahan sikapnya begitu luwes mengingatkanku pada bunglon yang berganti warna. "Apa ini artinya kamu membela Reza? You haven't fallen for that sissy, have you?"

"Aku bukan membela siapa-siapa! I stand for the truth!"

"You can tell the truth to Mak Lambe!"

"Mak Lambe itu bekerja sama dengan kamu!"

"My, my!" Darling mengelus-elus dadanya yang datar dan terbelalak. "That's absurd, Darling! Dari mana kamu dapat pemikiran seperti itu?"

"Kamu yang kasih kisikan soal aku ke Mak Lambe, kan?"

Darling terdiam. Dia menjentik-jentikkan rokoknya beberapa kali, dan memandangiku lagi. Kupasang tampang garang paling maksimal. Kalau dia bisa membaca pikiranku, aku juga akan melakukannya. Tapi... ah! Sialan! Tumpukan bulu mata itu! Aku nggak bisa melihat matanya!

"Daripada memusingkan Mak Lambe, lebih baik kamu pikirin Papa kamu," Darling berkilah. "Papa kamu sehat? Sayang sekali Keke harus menunda reuni mengharukan kalian."

Ohohoho.

Itu dia.

Tidak terbantahkan lagi, Darling memang punya agen rahasia di sini. Dari mana dia bisa tahu obrolanku dengan Tante Irma setengah jam lalu, coba? "Siapa mata-mata kamu di GIFTED? Tyas, si penata rias itu, kan?"

Darling berjengit seperti tersetrum. "Darling, what are you talking about?"

"Aku tahu kamu menyelundupkan mata-mata di lokasi syuting! Oknum ini melaporkan semua yang terjadi ke kamu, kan? Lewat Mak Lambe, kamu memakai informasi ini untuk menjatuhkan orang-orang yang kamu benci, Reza termasuk salah satunya!"

Darling hanya menatapku. Asap rokoknya menari-nari di antara kami, membuat kepalaku pusing. "You are so blind, Darling..."

"Aku nggak buta! Aku justru udah tahu bahwa kamu memata-matai kami!" tandasku. "Sekarang aku memang nggak punya bukti, tapi nanti—"

"Buktinya ada di mana-mana," potong Darling. "Open your eyes! Kamu menuduh orang yang salah! Bukan aku yang merencanakan semua ini. I don't play dirty."

"Cukup pura-puranya, Darling! Ngaku aja!"

Darling menarik napas dengan berat. Pundaknya yang lebar naik turun, seperti berusaha meredam sesuatu.

Akhirnya dia hanya menghisap rokoknya lagi. "I feel sorry for you," katanya lambat-lambat. "For living in this... illusion..."

"Nggak ada gunanya menghasut aku! I know the truth!"

Darling menjatuhkan rokoknya dan mematikannya dengan high-heels nya. "No, you don't. Siap-siap, Manis. Kebenaran akan terungkap tak lama lagi. I hope you have prepared yourself." Dia mengibaskan pakaian hybrid-nya yang aneh itu dan berbalik memunggungiku.

"See you at Starlight, Darling..."

Lalu tanpa menunggu reaksiku, penjahat itu melenggok pergi. Hanya suara tawanya yang bergema di lapangan parkir, membuatku bergidik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top