20. True Colours


Aku nggak bisa tidur semalaman.

Pikiranku kalut. Aku memikirkan apa yang akan dilakukan Reza. Pasti dia mengira aku yang membocorkan tentang hubungannya dengan Kai ke para wartawan, sehingga ada yang menguntit dan mengambil foto-foto mereka.

Tapi tentu saja bukan aku pelakunya.

Hari ini aku akan syuting empat adegan sekaligus dengan Reza. Dia pasti akan melabrakku seperti waktu itu. Apa yang akan kukatakan padanya? Aku ragu Reza akan mempercayaiku seandainya aku berkata jujur. Maksudku, dia sudah dua kali mencoba menyuapku supaya tutup mulut.

Meski mataku berat dan kepalaku sedikit melayang-layang, kupaksakan diri untuk beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap. Bulma sudah lenyap, pesan yang tertempel di kulkas memberitahuku bahwa housemate-ku itu pergi mengerjakan proyek barunya. Aku penasaran apa proyek baru Bulma. Tadi malam, Bulma semangat sekali. Sampai kami pergi tidur pun, dia masih belum mau cerita apa proyek barunya itu.

Biarlah, yang penting Bulma sudah kembali bekerja. Toh cepat atau lambat, orang-orang akan tahu juga. Termasuk aku. Sebagai selebritis, kami nyaris mustahil menyembunyikan sesuatu. Bahkan rahasia paling kelam sekalipun bisa ketahuan. Lihat saja Reza.

Selesai mandi, aku merias diri dan sarapan (sebutir apel aja, untuk menebus setengah dus lumpia yang kusantap tadi malam). Aku memberitahu Alonzo bahwa aku sudah siap, dan masuk ke lift untuk turun ke lobi.

Di lobi, Alonzo sedang mengobrol serius dengan si resepsionis. Begitu melihatku, dia tersenyum ramah.

"Pagi, Mbak Manis..."

"Yuk, Al."

"Mau mampir ke Starbucks dulu, Mbak?"

Pasti Alonzo melihat kantung mataku ini. "Nggak usah. Langsung ke lokasi aja."

Aku bertukar salam sejenak dengan si resepsionis dan petugas sekuriti, lalu menuju ke pintu depan. Alonzo pergi mengambil mobil.

Tiba-tiba saja, seperti jatuh dari langit, selusin wartawan mengerubungiku. Aku kaget setengah mati. Kejadiannya begitu mendadak sampai-sampai aku tak sempat kabur. Kamera-kamera terangkat, tetapi tak ada satu pun mik yang teracung.

"Pak Sekuriti!" Aku mundur ke arah sekuriti lobi. "Tolong!"

Lalu kerumunan wartawan itu memisahkan diri. Dari jalur yang terbentuk di tengah-tengah mereka, Reza Laparpujian muncul. Dia memakai setelan jas warna biru marun, penampilannya begitu kinclong sampai-sampai dia tampak berpendar.

"Pagi, Sayang..." sapanya.

Sayang?

"Kamu cantik banget pagi ini. Udah siap berangkat?"

WHAT?

"Re-Reza—"

"Aku bawain kamu salad. Ada di kulkas mobil."

Reza menjulurkan tangannya. Kamera-kamera bersiaga, dan para wartawan itu menahan napas. Ya Tuhan, apa yang sedang dilakukan laki-laki ini?

"Ah, aku paham." Reza terkekeh anggun. "Kamu pasti kaget, ya? Teman-teman wartawan ini ngikutin aku tadi. Maaf, belum sempat bilang ke kamu."

Tidak, aku nggak percaya! Pasti Reza sedang merencanakan sesuatu!

"Yuk..." Reza mengalungkan tangannya di lenganku. "Kita jalan."

Kutarik tanganku untuk membebaskan diri, tetapi Reza menahannya. Dia menarikku ke Alphard-nya. Alonzo muncul dengan mobil GIFTED, dia keheranan melihatku yang sudah dikepung begini. Aku berusaha tetap tenang. Reza berkutat makin keras. Dia bahkan mulai bersikap kasar.

"Reza. Tunggu sebentar."

"Ayo dong, Sayang. Kita bisa terlambat, nih."

Ini jelas bukan Reza yang kukenal. Seketika aku sadar apa yang sedang dia lakukan. Dia sedang berakting jadi pacarku di depan para wartawan ini!

Laki-laki brengsek!

"Reza..." Kupelankan suaraku, ditambah sedikit nada-nada manja. Kalau dia mau berakting, akan kuladeni! "Sayang, maaf. Ada yang ketinggalan."

"Nanti aja," Reza tersenyum semakin lebar, tetapi dari jarak dekat bisa kulihat dia sedang mengkertakan gigi dengan gemas. "Kita harus syuting, lho."

"Aku punya hadiah untuk kamu," lanjutku. Dia pikir dia satu-satunya aktor di sini? "Kamu lupa? Ini kan sebulan anniversary kita."

Para wartawan itu ber-oooh antusias.

Reza mengerjap-ngerjap. "Anniversary?"

"Iya. Aku udah siapin hadiah yang spesial untuk kamu..." Sengaja aku bersandar di lengan Reza. "Tadi aku berencana kasih ke kamu pas dinner nanti malam, tapi karena kamu udah kasih surprise ke aku pagi ini, aku pikir sekalian aja." Dan dengan sedikit senyuman nakal ke para wartawan... "Kebetulan teman-teman media ada di sini. Mereka bisa jadi saksi cinta kita."

Para wartawan itu bergerak-gerak seperti cacing kepanasan. Mereka sudah tak sabar lagi "menjadi saksi cinta" Manis Maramis dan Reza Laparpujian. Aku bisa merasakan jari-jari mereka yang gatal ingin menekan tombol shutter kamera.

Reza melongo, bingung melihatku melenceng dari skenario ciptaannya. Haha, bagus! Segera kuseret dia ke dalam lobi apartemen. Sebelum menghilang, aku berkedip penuh makna pada para wartawan.

"Teman-teman media tunggu di sini, ya. Kita nggak bakal lama, kok."

Tanpa mempedulikan petugas lobi, kudorong Reza ke dalam salah satu lift yang sedang terbuka. Kami naik ke apartemenku. Aku geregetan ingin segera mendampratnya, tapi lift ini dilengkapi CCTV, jadi lebih baik ditahan dulu. Sepanjang perjalanan, Reza tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatapku dengan alis berkerut.

Kubuka pintu apartemenku, dan kutarik dia ke dalam.

"Kamu betulan punya hadiah untuk aku?" tanya Reza tolol.

"Cukup aktingnya!" bentakku. "What was that, Reza?"

"Memangnya nggak boleh menjemput rekan kerja?"

"Kamu memanggil aku 'Sayang' di depan semua wartawan itu!" Huh, laki-laki songong ini sukses menghancurkan mood-ku. "Kamu sengaja mengundang mereka, kan? Kamu melakukan ini supaya nggak ada lagi yang mengungkit-ungkit masalah foto-foto mesra kamu sama Kai, kan?"

"Ssst!" Reza berubah pucat. Dia maju ke arahku. "Jangan keras-keras! Nanti ketahuan!"

"Para wartawan itu nggak tolol, Reza! Mereka tahu apa yang mereka lihat!" Kusambar payung besar di samping kulkas dan kuacungkan padanya. "Kamu sengaja memperalat aku, kan?"

Reza menatapku lekat-lekat, lalu mendesah. Dia tertunduk dan menggeleng pelan. "Manis... apa kamu yang membocorkan soal Kai ke wartawan?"

"Bukan aku pelakunya." Reza semakin dekat, dia kelihatan seperti binatang buas yang terluka. "Ada orang lain yang melihat kejadian di lapangan parkir waktu itu, Reza. Namanya Darling."

"Darling?" Reza menelengkan kepala, seolah telinganya kemasukkan air. "Siapa yang kamu maksud, Nis?"

"Septian, pemilik Angel Talent Management," sambungku. "Darling itu julukannya. Dia ngumpet di belakang truk katering hari itu. Dia punya dendam sama kamu, Reza. Dia ingin karier kamu hancur!"

Kubeberkan pada Reza semua yang diceritakan Tante Irma padaku tentang Darling, dan bagaimana orang itu berencana membalas dendam siapa saja yang dianggap menyebotase kariernya.

"Jadi si Darling ini..." Ekspresi kebingungan Reza perlahan-lahan luntur. "Dia yang memberitahu para wartawan?"

Aku mengangguk yakin.

"Kamu punya buktinya?"

"Enggak. Tapi aku melihat Darling di parkiran hari itu."

Anehnya, Reza malah tertawa lega. Dia mengangkat bahu dan mendekatiku lagi. "Kenapa aku harus percaya sama cerita itu, Manis?"

"Karena itu faktanya!" Aku mundur dan menabrak kulkas. "Kamu bisa tanya ke Tante Irma dan Kak Ussy! Mereka ada di pesta Tahun Baru lima tahun lalu itu! Mereka tahu apa yang dilakukan si Darling ini!"

Tiba-tiba Reza menarik payungku dan membuangnya. Dia menghimpitku dan menahan kedua tanganku.

"Apa ini cuma akal-akalan untuk menutupi kesalahan kamu, Manis?"

Oh, nggak akan kubiarkan pria ini menindasku. Selama ini dia sudah memperlakukanku dengan semena-mena!

Kuinjak kakinya dan kusikut perutnya sekuat tenaga. Ugh, ternyata sakit juga. Reza terhuyung dan menumbuk meja makan. Dia bergegas bangkit berdiri, dan ingin menyerangku lagi. Kucabut pisau dapur dari sarungnya. Apa boleh buat.

"Kamu nggak akan menusuk Reza Laparpujian, Manis Maramis."

"Try me!" tantangku. Sumpah, kalau pria ini berani nekat...

Reza berbalik dan bersandar di meja makan. Dia mengamatiku lambat-lambat dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu meringis.

"Halo, Carissa..." katanya.

"Aku bukan Carissa! Aku Manis!"

"Apa Manis bakal mengacungkan pisau pada orang lain kayak begini?" Reza menegakkan diri dan mengusap perutnya di tempat yang kusikut tadi. "Manis nggak akan nekat berbuat begini. Tapi Carissa pasti nggak akan ragu-ragu..."

"AKU BUKAN CARISSA!" bentakku. "Aku capek orang-orang terus mengira aku Carissa! Jangan mengalihkan topiknya, Reza! Kita lagi membahas kelakuan kamu yang kurang ajar itu!"

"Kamu mau aku kayak gimana, Nis?" tanya Reza. Ada sedikit nada getir dalam suaranya. "Kamu mau aku mengakui hubunganku sama Kai di depan semua orang? Kamu mau aku menghancurkan karier aku sendiri, begitu?"

"Aku mau kamu berhenti mengungkit-ungkit aku dalam drama percintaan kamu!" balasku. Urat di pelipisku berkedut-kedut akibat terjangan adrenalin. "Aku nggak sudi dijadiin tameng untuk melindungi hubungan kamu sama Kai! Aku mau kamu berhenti berbohong, Reza!"

"Tapi kita memang pembohong, Manis..." kata Reza lirih. "Aku, kamu, Ussy, Valen... kita semua pembohong profesional. Itu pekerjaan kita. Kita dibayar untuk membohongi penonton."

"Kamu keterlaluan!" Aku tak mau terhasut kata-katanya. "Cuma karena kamu seorang aktor, bukan berarti kamu harus memperlakukan semuanya kayak film! This is real life! Apa kamu nggak capek harus berpura-pura kayak begini terus di depan semua orang, Reza?"

"Kamu masih belum mengerti rupanya..." Reza melepaskan jas-nya dan menaruhnya di atas meja makan. "Sejak saat kita menandatangani kontrak untuk menjadi seorang selebritis, kita memberikan diri untuk publik. Di mata mereka, aku adalah Reza Laparpujian, seorang gentleman yang selalu jadi tokoh utama pria di layar lebar. Laki-laki rupawan yang jadi idaman semua wanita. Dan laki-laki seperti itu nggak mungkin menyukai laki-laki lain. Itu peran yang kuterima dan harus aku selalu aku mainkan."

Aku terperangah. Kenapa Reza mengatakan ini?

"Dan kamu tahu apa yang akan terjadi seandainya aku menyeleweng dari peran ini? Aku akan kehilangan segalanya," lanjut Reza. "Segala kerja keras yang aku lakuin selama ini nggak akan ada artinya lagi. Kenapa susah banget buat kamu untuk memahami ini, Manis? I have no other choice. I have to play this role. Hanya satu peran ini saja."

"No," debatku. "You're wrong, Reza. We choose the role we want to play."

"Naif," Reza berdecak menuduh. "Kamu terlalu naif. Bukan kita yang menentukan peran seumur hidup ini, Manis, tapi mereka! Para penonton itu! Orang-orang yang menyanjung sekaligus membenci kita! Merekalah yang menentukan peran macam apa yang tepat untuk kita! Apa kamu belum sadar juga? Mereka yang kasih aku peran 'pangeran tampan' ini begitu tampangku nongol di layar lebar. Dan kamu akan selamanya jadi Carissa, wanita antagonis yang menghancurkan hubungan orang lain. Itu takdir kita sebagai selebritis!"

Aku bergidik ngeri membayangkan kata-katanya. "Aku nggak percaya!"

"Dalam pekerjaan ini..." Suara Reza tersendat-sendat. Dia kelihatan amat terpuruk. "Kita nggak bisa menjadi diri kita sendiri, Manis. We just simply can't. Orang-orang nggak suka sama selebritis yang 'cacat'. Di mata mereka, kita harus selalu sempurna."

"Tapi kita juga manusia! Dan nggak ada manusia yang sempurna!"

"Kamu masih berpikir dari sudut pandang kamu," Reza terkekeh miris. "Dalam profesi ini, apa yang kita pikirkan dan apa yang kita inginkan itu nggak penting, Manis! It's all about the fans! Kita adalah refleksi kesempurnaan yang sama sekali nggak bisa mereka raih! Kita adalah fantasi mereka! Di mata mereka, kita ini harus selalu seperti malaikat! Celebrities are human too... kata-kata itu cuma mitos!"

Aku terdiam. Reza bukan satu-satunya yang pernah mengatakan ini secara gamblang padaku. Kak Ussy juga pernah mewanti-wantiku sebelumnya. Dan aku kenal baik seseorang yang menjadi "korban" dari fantasi yang tak terwujud ini: Bulma. Tidak ada fans yang berfantasi punya bobot sembilan puluh kilogram.

"Aku nggak minta kamu mengaku ke publik, Reza..." Kuputuskan untuk mengalah sedikit. "Aku cuma minta kamu berhenti berpura-pura kita pacaran. Sesederhana itu!"

Reza mengerling padaku lalu mengalihkan tatapannya langit-langit. Ada sesuatu yang terjatuh dari sudut matanya. Dia baru saja menangis.

"I'm sorry," katanya.

Oh.

Apakah itu air mata palsu? Atau dia sedang berakting?

Tidak. Rasanya tidak. Firasatku mengatakan Reza sedang bersungguh-sungguh.

"Fine," balasku. "Kamu nggak harus ngomong ke media kalau nggak mau. Aku bisa bilang ke mereka kalau kita berdua udah putus."

"Bukan begitu, Manis..." Reza mengerang dan meremas lehernya dengan frustasi. "Aku harus melakukan ini: pura-pura pacaran sama kamu."

"Harus? Jadi, bukan karena Kai?"

"Kai juga salah satunya. Tapi yang jelas ini sebuah keharusan. Kalau sampai aku nggak melakukannya, bisa-bisa orang itu—"

Sekonyong-konyong Reza berhenti. Dia mendelik, seperti melihat hantu.

"Kenapa, Reza? Siapa orang yang kamu maksud?"

Reza menutup mulutnya dengan tangan dan memejamkan mata. Dia seperti menyesali kalimatnya barusan. Ketika matanya terbuka kembali, dia menatapku lurus-lurus. Sinar matanya dipenuhi kesedihan yang mendalam.

Reza mengambil jasnya. "Maaf."

"Tunggu, Reza! Kamu tadi mau bilang apa? Apa kamu disuruh seseorang?"

Sambil mengabaikanku, Reza berbalik pergi, meninggalkanku sendirian, hanya ditemani pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top