19. Pekerjaan Untuk Bulma


"Darling?"

Tante Irma mengangguk.

"Jadi Darling dulu bagian dari GIFTED, Tante?"

"Benar," kata Tante Irma. "Dia salah satu talent yang diperhitungkan karena multi-talented. Bisa nulis, bisa akting, bisa directing, bisa nge-dance, bisa bikin kostum, sama jago makeup juga. Tante sendiri yang merekrutnya. Sebelum gabung di GIFTED, Septian cuma sales kosmetik MLM..."

Bulu kudukku meremang. "Dia... menusuk Tante dari belakang."

Ekspresi Tante Irma mengeras. "Padahal Tante sama Irfan menaruh harapan besar sama dia. Septian ini orangnya easy-going, sehingga kami semua akrab sama dia. Karena disayang semua orang, dia dapat julukan 'Darling'. Tante tekun melatih Septian karena punya feeling kuat sama bakatnya. I can recognize talents when I see them. Tante nggak pernah keliru menilai bakat seseorang."

Aku bergumam setuju.

"Septian berambisi mendapatkan peran Devan, laki-laki yang naksir Mona, tokoh utama di film 18.30," lanjut Tante Irma. "Dia berlatih keras. Dia percaya ini bakal jadi big break buat dia; peran yang bakal membuka jalannya sebagai aktor profesional. Tante juga yakin seratus persen kalau Septian bisa, makanya Tante mendaftarkannya untuk audisi. Sayangnya, hasilnya nggak sesuai harapannya."

"Septian nggak lolos?"

"Betul. Dia memang berbakat, tapi dia masih baru," Tante Irma mengusap-usap tangannya, seperti ingin mengenyahkan sesuatu yang menjijikkan. "18.30 adalah film pertama dan satu-satunya yang diproduksi GIFTED. Waktu itu kami belum fokus sebagai talent agency. Untuk membiayai produksi filmnya, Irfan berhasil mendapat kepercayaan beberapa eksekutif produser. Tapi para ekspro ini nggak mau ambil risiko meng-casting aktor baru untuk tokoh penting seperti Devan. Waktu itu Reza Laparpujian lagi naik daun. Film-film yang dibintangi Reza sukses di pasaran. Para sponsor itu memilih Reza..."

Hmm. Jadi itu alasannya. "Darling sakit hati."

"Tante udah mencoba menjelaskan," kata Tante Irma. "Pilihannya adalah meng-casting Reza atau kehilangan sponsor untuk 18.30. Irfan setuju dengan keputusan para eksekutif produser itu. Begitu tahu, Septian marah besar. Tante mencoba kasih dia semangat dan mendaftarkan dia ke audisi lain. Tapi Septian udah terlajur kecewa. Dia menuduh Tante dan Irfan menyabotase kariernya. Penolakan di 18.30 itu mengubah Septian. Dia jadi kepingin membalas dendam ke Tante dan Irfan dengan menghancurkan GIFTED."

Dan sampai hari ini, aku percaya Darling masih setia dengan ambisinya. "Apa Tante nggak menyadari niat jahat Darling ini?"

"Kalau Tante sadar, Irfan masih hidup sampai hari ini, Nis," kata Tante Irma. Dia menaruh tangannya di dada dan menghela napas berat. "Kualitas akting Septian memang jempolan, dia bisa berpura-pura 'legowo' menerima penolakan audisi itu, padahal sebetulnya merencanakan sesuatu. Lalu terjadilah peristiwa malam Tahun Baru itu. Septian tahu kalau nama baik Irfan Primadana tercoreng, saudara kembar Tante itu akan di-blacklist oleh para sponsor. Reputasi GIFTED bakal hancur, dan nggak ada lagi yang mau kerja sama dengan kita."

Mendengar ini, image Darling di benakku menjadi sangat kelam. "Dari mana Tante tahu tentang semua ini? Apa Darling sendiri yang mengakuinya?"

"Enggak, sejak peristiwa malam itu, Septian nggak pernah muncul lagi di GIFTED," jawab Tante Irma. "Setelah Irfan meninggal, mata Tante baru terbuka. Tante menyadari bahwa tindak-tanduk Septian selama ini sudah direncanakan dengan cermat untuk menggenapi balas dendamnya itu. Dan kemudian tebakan Tante itu terbukti: nggak berapa lama setelah menghilang, Septian bikin agensi dia sendiri. Dia mengganti identitasnya jadi seperti yang sekarang ini, dan merekrut beberapa talents di GIFTED yang berhasil termakan bujuk rayunya..."

"Kenapa Tante nggak melaporkan Darling ke polisi?"

"Karena Tante nggak punya bukti," Tante Irma mengangkat bahu dengan nelangsa. "Meskipun semua tebakan Tante benar, nggak ada secuil pun bukti yang bisa dipakai untuk memperkarakan Septian. Tapi anak-anak GIFTED yang kenal dia pasti tahu siapa sebenarnya Septian itu."

Begitu rupanya.

Sekarang aku bisa sepenuhnya memahami kebencian mutlak Tante Irma dan anak-anak GIFTED pada Darling. Orang itu tak lain tak bukan hanyalah ular licik yang tega ngelakuin apa aja demi mewujudkan niat jahatnya.

Kalau aku bertemu orang itu lagi (dan kemungkinan besar dalam waktu dekat, mengingat Darling bisa muncul di mana saja), aku akan mengatakan sesuatu yang agak "pedas" padanya.

"Tante rasa udah cukup kita bernostalgia," Tante Irma menepuk-nepuk pipinya dan membelalakkan mata lebar-lebar. "Manis, kamu mau ngomong soal pertemuan dengan oknum yang ngaku-ngaku itu, kan?"

"Sebetulnya, Tan..." Aku menelan ludah. "Dia betulan Papa aku."


...


Diskusi dengan Tante Irma berlangsung singkat, padat dan jelas. Tante berencana mempertemukan aku dan Papa di acara Cuap-cuap Bareng Keke, acara talk-show populer yang dipandu presenter sekaligus komedian Keke Komika. Awalnya aku ragu untuk memilih acara itu, karena Cuap-cuap adalah acara talk-show dengan rating tertinggi di Indonesia. Kupikir pertemuan itu akan berlangsung secara low-key, tanpa perlu banyak gembar-gembor.

Namun Tante Irma nggak setuju. Menurutnya, untuk yang satu ini aku harus pol-polan. Cuap-cuap Bareng Keke adalah pilihan terbaik, karena penontonnya banyak sekali. "Reuni" aku dan Papa ini harus disaksikan sebanyak mungkin orang, supaya gosip-gosip miring dari Mak Lambe bisa dibungkam selamanya.

Lagi-lagi, si Tante terbukti selalu bisa dipercaya.

Selebihnya kuserahkan pada Tante Irma. Aku akan diberitahu kapan bakal muncul di Cuap-cuap. Kata Tante Irma, yang pasti sebelum malam penghargaan Starlight, karena "drama" dalam reuni itu bisa mempengaruhi nominasiku.

Padahal aku sama sekali nggak ada niat untuk menang. Maksudku, mau taruh di mana tampang (antagonis)-ku ini kalau aku mengalahkan Kak Ussy? Aku baru cerita soal ini ke Dian dan masih merahasiakannya dari anak-anak Lovebirds, termasuk Tante Irma. Aku tahu anak-anak Lovebirds mengharapkan kami semua bisa menang di semua kategori, meski tentu saja itu mustahil.

Ngomong-ngomong soal Dian, syuting video klip pertamanya sudah selesai. Dian sempat mengirimiku beberapa foto saat sedang syuting, dan dari ceritanya, aku yakin video klip itu bakal sangat menarik. Sekarang videonya lagi di-edit, dan aku nggak sabar melihat hasil akhirnya.

Sudah hampir jam sembilan malam ketika akhirnya aku pulang.

Aku turun dari lift dengan gontai, dan membuka pintu apartemen. Betapa terkejutnya aku, karena lampu-lampunya sudah dinyalakan.

Bulma yang sedang duduk di kursi makan memekik, "SURPRISE!"

"Oooh! It's soooo nice to see you agaiiin!"

Kami berpelukan dan berputar-putar.

"Gue nggak tahu lo bakal balik hari ini, Bul! Lo nggak nge-WA apa-apa!"

"Namanya juga surprise, Nis."

"Feels better now?"

Bulma mengangguk tenang. Dia menarikku ke ruang tengah. "Gue belum bilang terima kasih karena lo udah nolongin gue waktu itu, Nis. Kalau lo nggak langsung bawa gue ke rumah sakit, pasti gue udah lewat tuh."

"Gue cuma mau lo sehat supaya lo bisa kerja lagi."

Kami berpelukan lagi. Setelah melepas pelukan, kuamati Bulma dengan saksama. Dia memang kelihatan lebih sehat. Wajahnya sudah merona, nggak lagi pucat seperti dulu. Cat rambutnya yang semula luntur sudah dilapisi lagi. Dan gerak-geriknya menunjukkan semangat, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Bulma versi hopeless dua minggu lalu.

"Tante Irma khawatir sama kondisi elo tahu, Bul..."

Bulma tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahu.

"Dia..." Aku teringat pesan Tante Irma soal menasihati Bulma supaya nggak jadi artis tipe picky. "Si Tante, umm... mencemaskan karier elo."

"Dia nggak mau gue jadi talent nganggur di GIFTED," tandas Bulma.

Aku mencelus. Rupanya Bulma menyadarinya.

"Tante Irma nggak perlu pusingin gue lagi karena gue..." Bulma menarik sebundel proposal dari dalam tasnya. "Udah dapat proyek baru yang 'gue banget'."

"Wah!" Kujulurkan tangan untuk mengambil proposal itu. "Proyek apa?"

Bulma malah mengangkat tangannya tinggi-tinggi, supaya aku nggak bisa menjangkau proposal itu. "Proyek rahasia," katanya sambil berdiri. "Gue belum bisa cerita ke elo, Nis."

"Beuh. Sok misterius. Gue tanya ke si Tante, aaah!"

Bulma menyembunyikan proposal itu ke balik punggungnya. "Tante Irma nggak tahu soal proyek ini, Nis."

"Maksud lo, Bul?"

"Ini masih proyek rahasia, Nis."

"Sekarang lo jadi pelit ya sama gue."

Bulma mengedip centil. "Kalau semuanya udah fixed, gue pasti bakal kasih tahu elo. Yang pasti di sini gue nggak dipandang sebelah mata lagi."

Aku berdiri dan mencoba merebut proposal itu, tetapi Bulma berkelit dengan lincah. "Lo jadi pemeran utama? Proyek apa, sih? Film? Sinetron?"

"Ra-ha-si-a!" kata Bulma. Dia kabur sebentar ke kamarnya, membanting pintu, lalu kembali ke ruang tengah. Proposal itu sudah nggak ada. "Gue nggak bakal menutup-nutupi apa pun dari elo, Nis. Cuma... belum saatnya aja."

"Oke deh," aku menyerah. "Whatever it is, gue senang lo bisa kerja lagi."

Bulma cengengesan. Dia mengeluarkan sekotak lumpia dan menawariku. Kami menyantap lumpia itu sambil menonton televisi. Bulma menyinggung soal nominasi Starlight. Aku menceritakan padanya soal keenggananku bersaing dengan Kak Ussy di nominasi yang sama.

"Tapi gue justru optimis lo bisa menang, Nis."

"Duh, Bul. Lo jangan ngomong yang enggak-enggak, deh."

"Sebagian proses penjurian Starlight kan ditentukan lewat voting publik," kata Bulma, bibirnya belepotan saus. "Selama ini tiap kali ada yang ngebahas Lovebirds, pasti yang diomongin tuh Carissa sama Ben, bukan Tari, Nis."

"Ya tapi bukan berarti gue harus menang, kan?" Jari-jariku penuh minyak. "Lagian nominatornya ada lima. Dengar-dengar akting si Soraya oke banget di X: Enigma. Rambutnya sampai sempat rusak gara-gara keseringan gonta-ganti cat buat memerankan Celeste."

Bulma membuka satu pak tisu dan menawarkanku. "Nis, Lovebirds itu kuda hitam di Starlight tahun ini, lho. Lihat aja jumlah nominasinya. Dan lo nggak usah nggak enakkan sama Ussy kayak gitu. Ussy udah sering menang."

"Valen juga bilang begitu, sih."

"See? Makanya lo santuy aja."

Kami melanjutkan makan. Bulma mengganti-ganti saluran televisi lalu terhenti di tayangan In-Shoot.

Kurebut remote dari tangannya. "Duh. Please jangan yang ini, Bul."

"Eh, sebentar!" Bulma mengelak. "Itu si Reza, Nis!"

Huh. Aku membuang muka, nggak ingin melihat wajah Reza yang diperbesar oleh televisi empat puluh enam inci di dinding.

Suara Monique sang host yang begitu familier, bergema di ruangan. "Foto-foto Reza Laparpujian sedang bermesraan dengan seseorang, baru-baru ini beredar di Instagram..."

Aku cepat-cepat mengangkat kepala. Di layar tampak beberapa foto Reza sedang keluar dari mobilnya dengan kancing kemeja yang terbuka, sementara Kai menyelinap keluar. Keduanya berpegangan tangan sebentar, seperti saling memberi semangat. Foto-foto itu diambil dari jarak jauh, sehingga hanya wajah Reza yang terlihat jelas. Kurasa ini terjadi di saat Reza izin nggak ikut syuting.

Seketika aku tahu siapa yang mengambil foto-foto ini.

Bulma nyaris tersedak. "Wuih, bukannya ini di lokasi Lovebirds, Nis?"

"Oh, ya?" Aku berpura-pura bego. "Gue nggak tahu."

"Siapa orang asing ini? Kenapa dia berduaan dengan Reza Laparpujian di mobil? Mengapa baju Reza terbuka?" Entah kenapa nada bicara Monique berubah seperti Fenny Rose. "Yuk kita tanya langsung ke Reza."

Tayangan itu berganti. Reza yang baru keluar dari Alphard-nya langsung diburu oleh para wartawan. Mereka menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Itu asisten saya," kata Reza. Aktingnya hebat sekali, dia bisa berpura-pura tenang meski kepergok begitu. "Kami ketiduran di mobil dan nggak sadar AC-nya mati. Makanya bajunya terbuka begitu. Saya kegerahan..."

"Jadi bukan orang yang spesial, nih?"

"Ya enggak lah!" elak Reza lancar. "Memangnya saya laki-laki apaan?"

Para wartawan tertawa. "Apa Manis Maramis tahu soal orang ini?"

Reza menatap lurus-lurus ke kamera. Sekonyong-konyong aku merasa Reza sedang menatap langsung ke mataku.

"Ya," kata Reza lirih. "Manis pasti tahu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top