18. Cerita Tante Irma


Kurasa aku satu-satunya orang yang kaget membaca daftar itu dengan alasan yang berbeda. Kulirik orang-orang di ruangan. Mereka semua senyam-senyum bangga, sepertinya belum ngeh dengan keresahanku.

"Kak Ussy..." Lebih baik kutanyakan langsung. "Kok nominasinya sebagai aktris pendukung?"

"Mmm... apa?" Kak Ussy gelagapan, sepertinya sedang melamun.

"Bukannya Tari itu tokoh utama di Lovebirds?"

"Ceritanya agak panjang," sahut Valen dari sampingku. "Kira-kira sepuluh tahun lalu, komite Starlight mendapat protes besar-besaran karena membedakan dua kategori untuk aktor dan aktris pemeran utama. Padahal dalam film dan serial televisi, cuma ada satu tokoh utama. Banyak yang menyebut pembagian itu diskriminatif, kesannya para aktor atau aktris pemeran utama nggak bisa bersaing di kategori yang sama cuma karena beda gender. Makanya sejak saat itu digabung menjadi satu kategori, dengan enam nominator, bukan lima kayak yang lain."

"Best actor or actress in a leading role," sambung Kak Ussy lancar. Dia mengguncang pundak Valen. "Dan kamu salah satu nominatornya, Val!"

Orang-orang lain sibuk saling memberi selamat. Tyas dan Ambar si penata kostum termasuk salah satu yang menangis histeris karena tim mereka masuk nominasi untuk tata rias dan kostum terbaik.

"Kalian berdua juga!" Valen merangkulku dan Kak Ussy bersama-sama. "Wah, keren ya... Lovebirds bisa sapu bersih, nih! Si Anwar pasti bikin syukuran tujuh hari tujuh malam!"

"Selamat ya Manis," Kak Ussy meremas tanganku dengan antusias. "Ini nominasi pertama kamu, kan?"

"Iya, nih. Kak Ussy juga, ehm... pernah jadi nominator, kan?"

"Wah, kalau Ussy sih tiap tahun pasti masuk," Valen mengedik ke si aktris kawakan. "Ini nominasi lo yang keberapa, Us?"

"Keberapa, ya?" Kak Ussy tertawa renyah. "Aduh, aku lupa!"

Valen mencibir. "Mentang-mentang udah langganan."

"Maniiis!" Tante Ida, Geraldine, Bobby, dan para pemain pembantu lainnya menghambur ke arah kami. "Selamat ya! Kamu masuk nominasi!"

"Eh, uhm... terima kasih."

"Wah, persaingan ketat, nih!" kata Tante Ida, menatapku dan Kak Ussy bergantian. "Tari sama Carissa, dua-duanya bersaing lagi di Starlight!"

Kak Ussy tertawa. "Aduh... aku sih nggak kompetitif, Tante!"

"Tapi serius, lho!" Mata Tante Ida berbinar-binar penuh semangat. "Cuma kalian berdua yang masuk nominasi yang sama. Kira-kira siapa pemenangnya, ya?"

"Pasti Kak Ussy, lah!" sahutku mantap.

Orang-orang menyorakiku. "Jangan merendah gitu, Nis!" goda Bobby.

"Udah, udah..." Kak Ussy tersenyum ramah. "Ini bukan kompetisi, lho. Aku sama Manis sama-sama membawa nama Lovebirds. Siapa pun pemenangnya, dia akan mewakili kita semua, kan?"

Orang-orang bergumam setuju. Valen mengajak kami tos bareng-bareng. Kami meneriakkan "Lovebirds" keras-keras, bersorak, lalu saling peluk sambil melompat-lompat. Semua orang larut dalam euforia.

Aku berusaha ikutan senang, padahal perasaanku bergejolak. Aku tak mau bersaing dengan Kak Ussy. Dia mentorku! Mana mungkin aku melawannya?

Maka ketika orang-orang memanjatkan doa supaya Lovebirds bisa sapu bersih semua nominasi itu, akulah satu-satunya yang berharap tidak menang.


...


Galen membukakan pintu ruangan di depanku. "Tunggu di dalam aja, Kak. Tante Irma masih meeting di bawah. Sebentar lagi naik ke sini."

Aku mengangguk dan masuk ke ruang kerja itu. Galen mengangsurkan sebotol air mineral, lalu menutup pintunya.

Kantor Tante Irma.

Karena terlalu sering wara-wiri, banyak yang berpikir Irma Primadona nggak punya kantor. Tante Irma pernah bilang, dia nggak mendapatkan para talents terbaik dengan berdiam diri di kantor. Makanya si Tante selalu mobile. Itu yang menyebabkan Tante Irma punya kemampuan luar biasa menjadikan apa saja kantor instan, mulai dari meja KFC sampai kursi taman. Dia menyimpan segala dokumen penting di iPad dan ponselnya.

Namun kantornya yang resmi ada di sini, di markas GIFTED.

Kapan terakhir kali aku mampir ke sini, ya? 

Ah, tahun lalu, sebelum audisi untuk Lovebirds. Waktu itu aku masih buta soal akting. Sejak saat itu, aku belum pernah ke sini lagi. Kurasa nggak banyak juga orang yang pernah berlama-lama mampir ke kantor ini. Tante Irma selalu jemput bola duluan. Dia punya selusin asisten yang siap dijadikan kurir untuk menjalankan urusan-urusannya (Galen, cowok yang tadi menyambutku itu, termasuk salah satunya). Awalnya aku sampai takjub dengan betapa gercep-nya direktur GIFTED itu. Seolah-olah Tante Irma bisa berada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan.

Kuamati ruangan itu.

Dari ukurannya, aku yakin ini adalah ruangan terbesar di gedung ini. Paduan perabotan minimalis dan penataan yang artistik membuat kantor itu terasa sangat lapang. Ada satu lemari buku, itu pun cuma dua rak yang terisi, sisanya dihuni porselen-porselen kristal yang cantik. Tak ada lemari berkas. Seluruh dinding ditutupi foto-foto para talents dan penghargaan-penghargaan yang pernah diterima GIFTED. Rak di belakang meja kerja berkaki kurus-kurus dipadati piala dan trofi berbagai ukuran, semuanya mengilap sempura, bukti rajin dibersihkan. Jumlahnya kira-kira seratus buah.

Nggak diragukan lagi, GIFTED memang gudangnya orang-orang gifted. Semua penghargaan ini menjadi buktinya.

Aku mendekati rak, untuk mengagumi kumpulan piala itu. Namun ada salah satu piala di deretan paling depan yang mencuri perhatianku.

Berbeda dengan piala-piala lainnya, yang ini tak lagi utuh. Setengahnya sudah pecah, tetapi dari bagian yang tersisa, aku bisa melihat sepotong tubuh manusia yang sedang menggapai bintang.

Ini... Starlight Awards!

Aku membungkuk untuk membaca siapa penerima piala itu. Namun pelat di bawahnya sudah tergores-gores begitu parah, sehingga kurang jelas. Aku hanya bisa membaca baris atasnya: Starlight Awards, dihadiahkan lima tahun lalu. Kategori film terbaik. Judul filmnya tidak terbaca.

Wah, apa Tante Irma pernah menang Starlight? 

Apa yang terjadi pada piala ini? Kenapa bisa pecah begitu?

Aku mencari-cari piala lain di tahun yang sama, untuk menemukan judul film yang menang itu. Tapi si Starlight adalah satu-satunya piala dari tahun itu.

Ah, akan kutanya ke Tante Irma nanti!

Perhatianku teralih ke foto-foto di dinding. Tepat di belakang kursi si Tante, ada foto yang paling besar. Aku mendekat untuk melihat lebih jelas. Ada sekitar dua puluh orang di foto itu, sedang berpose di depan kantor GIFTED sambil memakai topi kertas dan memegang balon-balon bertuliskan angka lima tahun lalu. Sepertinya ini foto pesta Tahun Baru. Wajah Kak Ussy yang pertama kali kukenali, karena nggak berubah sama sekali dibanding sosoknya yang sekarang. Anastasya yang waktu itu belum kena kasus video mesum sedang berpelukan dengan Tante Ida yang lima tahun lebih muda. Ada Renata Kadir dan Tristan Hardiyanto, salah satu sutradara kawakan, dan artis-artis lain yang sering kulihat di televisi.

Tante Irma yang mana, ya?

Ah, ini dia! Tapi... kok ada dua?

Aku menemukan dua orang yang wajahnya sama persis di tengah-tengah foto. Setelah kuteliti, baru kusadari bahwa Tante Irma adalah yang sebelah kiri. Kacamata bingkai mata kucingnya yang khas tidak ada. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki yang wajahnya bak pinang dibelah dua dengan si Tante. Ternyata Tante Irma kembar! 

Kedua saudara kembar itu mengapit satu laki-laki kurus dengan senyum bangga. Laki-laki kurus itu sedang mengangkat piala Starlight yang utuh.

Apa itu... piala yang hancur ini? Siapa laki-laki kurus itu?

"Manis?"

Tante Irma muncul, begitu tiba-tiba karena aku nggak mendengar pintu terbuka. Aku terlonjak kaget dan nyaris menubruk rak piala. Piala Starlight yang berharga itu oleng sedikit, tapi cepat-cepat kutahan sebelum terguling jatuh.

"Sori, Tan. Aku cuma lagi lihat-lihat."

Tante Irma tersenyum dan mendekatiku. "Itu foto lama."

"Iya..." Kutunjuk foto si Tante. "Ini saudara kembar Tante, ya?"

"Namanya Irfan. Lima belas menit lebih tua dari Tante..." Manajerku itu mengusap foto saudara kembarnya. "Kita sama-sama mendirikan GIFTED."

"Terus Om Irfan ke mana sekarang? Kok nggak pernah kelihatan?"

Senyum Tante Irma berubah sendu. "Irfan meninggal lima tahun yang lalu, Nis. Serangan jantung."

Wah, aku nggak tahu soal ini! "Aku turut berduka, Tan."

Tante Irma mengangguk sambil lalu. Dia memandangi wajah saudara kembarnya. "Waktu Irfan meninggal..." Mata Tante Irma mulai merah. "Rasanya jiwa Tante seperti mati setengah, Nis."

Aku paham betul apa yang dirasakan Tante Irma. Dia dan almarhum Om Irfan adalah saudara kembar. Aku juga merasakan kesedihan yang mendalam saat Om Jon meninggal.

Kurangkul Tante Irma. Dia balas merangkulku. Sambil berangkulan, tanpa sadar tatapan kami berdua tertumpu pada piala Starlight cacat di rak itu.

"Tante... pernah menang Starlight?"

"Bukan Tante, tapi Irfan..." Tante Irma mengelus piala Starlight yang setengah hancur itu. "Irfan yang bikin naskah sekaligus jadi sutradara untuk film 18.30. Film-film yang masuk nominasi tahun itu semuanya kelas berat. Persaingannya ketat banget, tapi 18.30 menang sebagai film terbaik."

Aku pernah menonton 18.30 di bioskop. Film yang bercerita tentang kisah cinta terlarang antara cowok delapan belas tahun dan seorang wanita berumur tiga puluh tahun itu digadang-gadang sebagai salah satu film Indonesia terbaik sepanjang masa.

"Apa yang terjadi, Tan? Kenapa pialanya..."

"Ada yang mau menyabotase kemenangan Irfan." Tante Irma menunjuk si laki-laki kurus yang memegang piala di foto. Lehernya menegang. "Waktu itu malam Tahun Baru. GIFTED bikin pesta perpisahan akhir tahun, sekaligus sebagai perayaan atas kemenangan 18.30. Kami mengundang para wartawan. Tepat setelah kami foto bersama ini..."

Kata-kata Tante Irma menghilang. Dia mengetuk-ngetuk foto si laki-laki kurus dengan kukunya, seperti ingin melukai orang itu.

Aku semakin penasaran. "Terus?"

"Di depan para wartawan, orang ini berkoar-koar menuduh Irfan mencuri ide cerita 18.30 darinya," lanjut Tante Irma dengan suara lirih. "Irfan marah besar. Lalu si brengsek ini mau merebut piala Starlight-nya. Dia dan Irfan sempat rebutan piala itu di hadapan semua orang. Tapi pialanya terlepas dan pecah. Orang itu kabur, dan Irfan... saudara kembar Tante itu... kena serangan jantung karena syok..."

Ya Tuhan...

Ternyata foto yang sekilas tampak penuh kebahagiaan ini menyimpan kenangan pahit. Mendengar cerita ini, kebencianku pada si laki-laki kurus terbit. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan Om Irfan dan Tante Irma terhadapnya. Jahat sekali orang itu! Karena ulahnya, Tante Irma kehilangan Om Irfan dan piala Starlight di hari yang sama!

"Siapa laki-laki kurus itu, Tan?"

Tante Irma tidak langsung menjawab. Dia menumbuk foto itu dengan geram sampai piguranya bergetar. "Darling..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top