17. Terpilih
Sumber dari gosip ngawur soal aku dan Reza itu akhirnya ditemukan: Reza sendiri.
Hari itu setelah kutampar, kami sempat lari sebentar ke luar untuk mendinginkan kepala. Tapi kami langsung masuk lagi, karena para wartawan yang berjubel. Reza mengejarku dan menarikku, dan adegan itu tertangkap kamera. Selesai syuting, aku sengaja pulang lewat pintu belakang karena menghindari para wartawan itu. Rupanya mereka mencegat Reza, dan bertanya apa yang terjadi antara dia dan aku.
Lalu tanpa merasa bersalah, Reza bilang kami sedang bertengkar, dan itu adalah hal yang wajar di antara pasangan.
Aku sampai nggak habis pikir dia memakai istilah itu: pasangan.
Rasanya aku ingin berteriak di depan semua orang bahwa pasangan Reza Laparpujian adalah seorang cowok bernama Kai Elian, bukan aku!
Aku menyeruput air jeruk nipis hangat dari tumbler, dan menghempaskan diri ke jok belakang mobil. Jalanan sedang macet. Alonzo mengintipku lewat spion tengah dan mengganti siaran berita di radio menjadi alunan musik jazz.
"Makasih, Alonzo!"
"Sama-sama, Mbak Manis," kata si sopir ramah. Meski penampilannya mengintimidasi seperti tukang pukul, tetapi Alonzo semanis bayi. "Jangan terlalu dipikirin, Mbak. Nanti stres, lho."
Aku terkekeh serba salah dan melambai padanya. Gimana nggak kepikiran? Setiap kali satu masalah selesai, pasti muncul masalah baru. Sebelum jadi seperti sekarang, nggak pernah terlintas di pikiranku bahwa seorang public figura itu serba dilematis. Begini salah, begitu salah. Lama-lama aku merasa hidupku kok jadi penuh drama, persis seperti novel-novel yang ditulis Kai Elian.
Sepanjang sisa perjalanan, aku memejamkan mata, mencoba bermeditasi. Ada banyak hal yang perlu diluruskan, dan aku harus melakukannya. Everything is gonna be okay, Manis. Begitu sampai, tinggal labrak Reza (lagi). Setelah itu meeting dengan Tante Irma untuk mengatur pertemuanku dengan "Papa."
Mendekati jam delapan, akhirnya kami sampai di lokasi. Set kali ini adalah rumah tinggal Ben dan Tari. Sebagian besar adegan adalah untuk Kak Ussy dan Valen, aku hanya dapat satu porsi kecil di akhir. Bagus, karena itu artinya hari ini aku nggak harus adu akting dengan si lebay.
Mobil kami melambat sebelum akhirnya berhenti total.
"Kok berhenti, Al? Kita belum sampai, lho."
Alonzo menunjuk di depan. "Itu Mbak..."
Ada sekitar dua puluh orang yang berkumpul di depan rumah tempat syuting. Mereka sedang berseru-seru sambil membawa-bawa poster kertas.
Siapa itu? "Mereka... wartawan?"
"Bukan, Mbak." Alonzo melepas kacamata hitamnya. "Mereka... fans."
Aku memicing untuk melihat lebih jelas. Alonzo benar. Aku tidak melihat kamera, lampu atau mikrofon. Wah, tumben-tumbenan kami diserbu fans begini.
"Ya udah, kalau gitu kita putar balik dan masuk lewat belakang aja," usulku.
Alonzo mengangguk patuh. Dia memundurkan mobil, tetapi langsung disambut klakson memprotes dari belakang. Sebuah truk katering bertengger di belakang kami, mengantarkan konsumsi hari ini. Kami nggak bisa mundur dan berputar balik, karena jalan ini terlalu sempit.
Aku dan Alonzo beradu pandang lalu mengangkat bahu. Perlahan-lahan kami melanjutkan perjalanan, dan terpaksa lewat di tengah-tengah para fans itu.
"Mbak Manis, sebaiknya kacamata hitamnya dipakai."
"Nggak perlu, Al. Toh udah sampai di de—"
"PELAKOR!"
Teriakan itu membuatku terlonjak. Salah satu wanita dari kumpulan fans itu menempelkan wajahnya di kaca jendelaku dan berteriak.
"PELAKOR!" teriak wanita itu sambil menumbuk-numbuk jendelaku. "KELUAR LO SEKARANG!"
Seketika seluruh jendela mobil ditempeli wajah-wajah berang dari sisi luar. Mereka memakiku dan menggedor-gedor pintu, berusaha merangsek masuk.
Aku dan Alonzo salah total. Mereka bukan fans. Mereka haters.
Mobil dihadang sehingga tak bisa maju lagi. Alonzo mengeluarkan ponsel dan berbicara serius dengan seseorang. Samar-samar kudengar kata-kata "butuh bantuan" dan "evakuasi."
Kusambar kacamata hitam dan segera kupakai.
"Mbak Manis..." Alonzo mengedik keluar. Empat orang petugas keamanan sebesar banteng sudah tiba, tangan-tangan mereka yang mekar karena otot terbentang menutupi jendela-jendelaku. "Maaf atas ketidaknyamanannya, ya."
Risiko pekerjaan. "Terima kasih, Al."
Kaca diketuk lima kali, pertanda aku akan diboyong keluar dalam lima detik. Kuraih tasku dan kusampirkan syal untuk menutupi kepala.
Di hitungan kelima, pintu di sampingku terbuka dan salah satu petugas menarikku keluar. Rasanya seperti keluar dari gua yang gelap, dan langsung tercebur di tengah-tengah pasar. Suara-suara para fans yang tadi teredam bodi mobil kini menjadi jelas: mereka mencaciku dan menyumpahiku.
"JANGAN DEKAT-DEKAT SAMA REZA!"
"REZA SEHARUSNYA JADIAN DENGAN ORANG LAIN!"
Semuanya Reza, Reza dan Reza! Ya Tuhan, rupanya mereka adalah para fans Reza! Aku nggak tahu kalau Reza Laparpujian punya squad fans militan seperti ini! Dan dari reaksi mereka yang menggila, aku yakin mereka sudah termakan gosip cinta lokasi itu!
Aku pasrah saja dipeluk dan dituntun oleh para petugas keamanan (rasanya seperti terjepit di sofa yang keras). Jarak gerbang yang cuma sepuluh meter lagi terasa amat jauh karena kami dikepung dengan ketat. Satu langkah saja terasa begitu berat.
"LO SAMA REZA ITU NGGAK COCOK!"
"KITA NGGAK SUDI LO PACARAN SAMA REZA!"
"PELAKOR NGGAK BISA JADI PACAR ADAM!"
Salah satu ibu-ibu dalam kelompok itu nekat menjenggut blusku dan menariknya sampai robek. "Kamu cuma mau mendompleng ketenaran Reza, kan?" Dia sampai menangis saking marahnya. "Kamu artis baru, belum terkenal, sengaja pacaran sama Reza supaya ikut kecipratan tenar!"
Salah satu petugas menyikut ibu-ibu itu hingga tarikannya terlepas. Ibu-ibu itu terhuyung akibat sikutan yang kuat. Tindakan yang kurang tepat. Kerumunan itu kian menjadi-jadi. Mereka berseru-seru berang:
"BOIKOT MANIS MARAMIS DARI LOVEBIRDS!"
Telingaku seperti akan meledak. Hujan caci maki itu bertambah ganas, seakan marah dengan reaksi diamku. Aku tidak tahan lagi. Mustahil Reza Laparpujian menjilat ludahnya sendiri. Dia nggak punya nyali untuk itu. Aku harus melakukan sesuatu.
"Sebentar, Mas..." kutepuk dada petugas yang menuntunku. "Saya mau bicara dengan orang-orang ini."
"Maaf Mbak Manis. Situasinya nggak kondusif."
"Cuma sebentar aja," aku ngotot. "Penting soalnya. Tolong, ya."
Aku menjejak kuat-kuat supaya para petugas itu berhenti. Mereka berempat saling tatap–mungkin bertukar kode atau apalah, lalu mengangguk singkat. Mereka mengangkat tangan dan melakukan gerakan menekan ke bawah, memberi isyarat supaya kerumunan itu tenang.
"Begini, ya..." Aku terpaksa berteriak supaya bisa didengar semua orang. "Ada kesalahpahaman. Saya sama sekali nggak pacaran dengan Reza Laparpujian. Pacar Reza yang sebenarnya adalah..."
Dua puluh pasang mata menatapku, semuanya memancarkan api amarah.
Tunggu dulu.
Pacar Reza yang sebenarnya adalah seorang cowok.
Aku tak bisa meneruskan kalimat itu. Ini batalion fans Reza. Membongkar rahasia itu di depan mereka sama saja dengan menghancurkan karier Reza.
Orang-orang itu mulai berseru-seru menuntut.
"Pokoknya ini semua cuma kesalahpahaman," lanjutku segera. "Lalu soal Carissa dan Adam, sebaiknya kalian menunggu Lovebirds 2 tayang. Mereka cuma tokoh fiktif. Saya bukan Cari—"
KRAK!
Sesuatu yang lengket dan bau mendarat di kepalaku, disusul seruan-seruan tak terima. Para petugas itu langsung bergerak, mereka mengepungku dan membawaku masuk ke dalam gerbang. Ada benda-benda lain yang berterbangan di udara: kaleng minuman, kerikil sampai sepatu. Secara refleks aku menunduk menghindar, begitu juga para petugas.
Setelah perjalanan singkat yang terasa tak berakhir itu, akhirnya kami melewati gerbang. Pintu yang berat itu ditutup, menyegelku dari segala kekacauan di luar.
Bau menyengat menusuk hidungku. Cairan bening lengket menetes-netes dari rambut, pakaian dan tasku. Dengan perasaan mual, aku tertatih-tatih ke dalam rumah, ingin sekali menceburkan diri dalam bak mandi.
Aku baru saja dilempari telur busuk.
...
Tyas mengambil hairdryer dan menatap bayanganku di cermin.
"Lo nggak apa-apa, Nis?"
"Nggak apa-apa, Yas," dustaku.
Tyas mengangguk prihatin dan mulai mengeringkan rambutku. Karena pakaian kotorku sudah dikirim ke laundry, terpaksa aku meminjam salah satu kostum Carissa sebagai pengganti. Sayangnya kostum-kostum Carissa semuanya serba ketat, pendek dan terbuka.
Kupandangi bayanganku di cermin selagi Tyas mengurai helai-helai basah rambutku dan menyemburnya dengan hairdryer. Sosok yang balas menatapku dari dalam cermin kali ini bukanlah Manis, tetapi Carissa. Manis nggak akan pernah memakai blus tipis dengan potongan dada rendah begini dan rok yang dibelah samping hingga ke paha.
Tapi inilah yang dilihat orang-orang. Bagi para penggemar Lovebirds, tidak ada Manis Maramis. Yang ada hanyalah Carissa, si pelakor.
Dan kebencian mereka padaku baru saja berlipat ganda.
Tyas melirikku sekilas dan tersenyum. "Hari ini Reza nggak datang, lho."
"Oh, ya? Tumben."
"Iya. Dia izin. Katanya lagi sakit."
Aku mendengus sangsi.
"Gue juga nggak percaya," tutur Tyas, sepenuhnya paham arti dengusanku. "Paling dia takut dikejar-kejar wartawan lagi kayak waktu itu."
"Tapi masa harus sampai izin segala? Nggak profesional banget."
"Yah, dikasih izin sama Anwar dan produser yang lain sih..."
"Iya, karena dia Reza Laparpujian..." balasku gemas. Huh, terpaksa aku menunda melabrak Reza hari ini. "Coba gue yang minta izin."
Tyas ber-aah muram.
"Gue rasa sekarang gue cuma punya haters, Yas. Nggak ada fans-nya."
"Jangan pesimis begitu," nasihat Tyas. Dia mengambil alat catok yang sudah dipanaskan dan segenggam rambutku. "Artis-artis yang jadi tokoh antagonis biasanya memang banyak yang sebal. Sebelum elo, si Cut Meyriska juga pernah kok diserang haters."
"Oh, ya?"
"Iya. Yang main di sinetron Anak Jalan-Jalan."
"Terus apa dia sekarang masih diserang haters?"
"Setelah sinetron itu selesai, dia berhijab, Nis."
Ah. Begitu rupanya.
Kami terdiam. Tyas masih memancingku dengan obrolan-obrolan kecil, tetapi gairahku sudah pupus. Seandainya bisa, aku ingin pulang ke rumah Mama saat ini. Tapi aku nggak bisa. Syuting season dua baru setengah jalan, dan setelah selesai, aku masih harus promo bersama para aktor dan aktris lainnya. Tahun lalu kami nggak sempat promosi apa-apa karena Netflix mencaplok Lovebirds di tengah jalan. Tapi sekarang, tim produksi sudah menjadwalkan kegiatan promo yang padat.
Itu artinya setelah kamera berhenti merekam, aku masih harus bersama-sama Reza Laparpujian. Ugh!
Tyas sudah menggulung rambutku dalam gulungan-gulungan besar. Dia mengambil hairspray untuk membuatnya mengembang, tetapi gerakannya terhenti.
"Ya ampun!" Tyas mengetuk dahinya dengan tutup hairspray. "Scene lo kan paling terakhir hari ini! Gue nggak sadar nge-catok rambut lo ala Carissa!"
Aku mempelajari bayanganku. Carissa dengan rambutnya bergelombang mewah membalas tatapanku. Aku juga tidak menyadarinya.
"Soalnya lo pakai kostum, sih! Gue sampai lupa! Maaf, maaf..." Tyas menyisiri rambutku dengan jarinya. "Apa lo mau rambut lo gue lurusin lagi kayak biasa?"
"Nggak apa-apa, Yas."
"Tapi lo baru di-take delapan jam lagi, lho."
Tak ada gunanya. Secara fisik, aku memang Carissa, si tokoh antagonis. "It's okay, Yas. Makeup-nya nanti aja. Biar lo nggak repot."
Tyas meringis malu. Dia mencoba meluruskan rambutku kembali seperti semula, tetapi gagal. Akhirnya dia menawariku kimono handuk untuk menutupi kostum seksi yang harus kupakai selama delapan jam ini.
Pintu kamar ganti terbuka. Kak Ussy, Valen dan beberapa aktris pendukung lainnya masuk sambil tertawa-tawa. Sepertinya mereka belum tahu tentang huru-hara yang ditimbulkan fans Reza di gerbang depan.
"Niki baru kasih tahu," Kak Ussy duduk di sebelahku. Dia mengedik pada Niki, asistennya. "Katanya gerbang depan diblokir sama para fans Reza. Ojek online yang nganterin pesanan Starbucks sampai nggak bisa lewat."
"Oh, ya?" Valen melongo. "Kan Reza nggak syuting hari ini."
Kami semua siap membahas Reza, tapi tiba-tiba Ridho sang produser masuk dengan langkah-langkah panjang. Dia mengangkat ponselnya tinggi-tinggi.
"Cek grup WA sekarang!" teriaknya bersemangat.
"Kenapa, Dho?" tanya Tante Ida, aktris senior yang memerankan ibu Ben.
"Nominasi Starlight Awards udah keluar!"
Para asisten sibuk mengobok-obok tas yang mereka bawa, mencari-cari ponsel para majikan mereka. Karena aku satu-satunya yang nggak punya asisten (sebetulnya Alonzo termasuk hitungan asisten), jadi aku langsung meraih ponselku dari dalam tas. Pesan baru dari Ridho di-pin di puncak grup WA Lovebirds, berisi sebuah link. Aku mengetuk link itu, dan dibawa ke website utama Starlight Awards.
Penghargaan ini dibagi menjadi dua grup utama, untuk Film dan Serial Televisi. Aku pergi ke bagian Serial TV. Ada sekitar dua puluh kategori penghargaan, mulai dari naskah terbaik, aktor dan aktris terbaik, hingga kostum terbaik. Lovebirds muncul nyaris di setiap kategori itu.
Orang-orang di ruangan mulai berseru-seru girang.
Mataku bergulir membaca daftar itu, hingga terhenti di suatu kategori.
----- NOMINASI AKTRIS PENDUKUNG TERBAIK -----
(BEST SUPPORTING ACTRESS IN TELEVISION SERIES)
Ria Picis sebagai Ningsih, dalam "Teman Kos Dari Neraka"
Gia Sefira sebagai Anne-Marie, dalam "The New Girl: Illusion"
Soraya Notonegoro sebagai Celeste, dalam "X: Enigma"
Ursula van Oostman sebagai Tari, dalam "Lovebirds"
Manis Maramis sebagai Carissa, dalam "Lovebirds"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top