15. Cheap


"Lama nggak muncul di layar kaca, apa Bulma terjerat narkoba?"

Aku bergidik mendengar kalimat itu terucap dari Monique, host acara In-Shoot. Hari ini dia nggak sendiri dan ditemani seorang host cowok, Haikal.

"Kita semua kaget mendengar kabar Bulma dilarikan ke rumah sakit hari Selasa lalu," lanjut Haikal. "Sumber yang terpercaya mengatakan, Bulma diduga hampir overdosis narkoba."

"Artis yang bernama asli Juwita Triambodo ini memang belakangan udah jarang muncul, ya?" balas Monique, senyum lebarnya yang kelihatan palsu itu sungguh memuakkan. "Irma Primadona yang menjabat manajer Bulma, membantah tudingan itu. Kita lihat liputannya..."

Suasana ramai di depan pintu masuk rumah sakit muncul. Tante Irma dikelilingi wartawan, seperti sebongkah gula di tengah-tengah lautan semut. Wajah manajer kami itu sudah semerah bingkai kacamata mata kucingnya.

"Bukan, Bulma sama sekali nggak pernah pakai narkoba!" Tante Irma mencak-mencak ke selusin mikrofon. "Nggak ada yang overdosis! Kalau Bulma pakai narkoba, pasti udah diringkus polisi, kan?"

"Kalau begitu Bulma kenapa, Tante?" desak para wartawan.

"Maag-nya kambuh dan Bulma sempat muntah-muntah, cuma itu," sahut Tante Irma. "Bulma udah ditangani dokter dan kondisinya udah membaik."

"Tante, apa betul Bulma stres karena udah dikeluarkan dari GIFTED?"

"Kata siapa?" Tante Irma melotot murka. "Tolong ya, teman-teman media! Kalian jangan seenaknya bikin berita yang enggak"

ZAP!

Layar televisi berubah hitam. Irma Primadona yang asli muncul, tangan kanannya memegang remote, tangan kirinya bertengger di pinggang.

"Sampah!" makinya. "Kan Tante udah berapa kali bilang, Nis... Jangan nonton infotainment. Kalau mau hidup tenang sebagai artis, hindari acara itu!"

Tante Irma mengembuskan napas panjang dan duduk di sampingku. Kami sedang di apartemen. Tempat ini terasa lebih sunyi tanpa Bulma.

Kupikir Tante Irma bakal mengatakan sesuatu, tetapi wanita itu hanya menepuk-nepukkan remote ke pahanya sambil menerawang.

"Mereka jahat banget, Tan..." Aku buka suara. "Para wartawan itu. Mereka bikin gosip yang enggak-enggak soal Bulma."

Tante Irma melemparkan remote itu ke sofa di seberang dan membenamkan diri ke dalam sofanya. "Mau gimana lagi, Nis... Kita sama mereka itu simbiosis mutualisme. Mereka butuh kita untuk bahan berita, dan kita butuh mereka untuk publikasi."

"Ya tapi nggak sampai nyebarin hoax kayak gitu kan, Tan?"

"Mereka sengaja, supaya Tante klarifikasi," sahut Tante Irma geram. "Karena kalau nggak begitu, kita nggak akan ngomong ke mereka, kan? Mereka mau kita ngomong di depan kamera-kamera brengsek itu, Nis. Dengan begitu, mereka bisa dapat berita."

Ternyata para wartawan infotainment itu licik juga. "Aku masih nggak ngerti dari mana mereka tahu Bulma masuk rumah sakit..."

"Ada pegawai RS yang nge-tweet pas kamu nganterin Bulma ke UGD. Katanya fans berat Lovebirds. Pakai hashtag #CarissaLovebirds. Kan hashtags kayak gitu selalu banyak yang lihat. Hebohlah satu dunia."

Ternyata bukan Darling.

Aku teringat pada dua perawat yang menggosipiku saat sedang menunggui Bulma. Pasti mereka orangnya! Uh, pantas sepanjang di rumah sakit aku merasa sedang diawasi!

"Terus sekarang gimana nasib Bulma, Tan?"

"Tante rasa yang paling baik saat ini adalah membiarkan Bulma istirahat. Tante udah atur supaya Bulma bisa pulang ke Semarang sampai dia sehat."

Pulang? "Bulma nggak didepak dari GIFTED kan, Tan?"

Tante Irma nggak langsung menjawab. Seketika aku waspada. Orang nomor satu di GIFTED itu hanya memandangi kuku-kukunya yang di-manicure dengan glitter biru-ungu.

"Gimana ya Nis..." kata Tante Irma setelah sepuluh detik keheningan yang menyesakkan. "Tante juga serba salah. Bulma udah berubah jadi artis tipe P."

"Tipe P?"

"P for picky," terang Tante Irma. "Bukannya Tante yang cuekin dia. Udah puluhan naskah dan proposal yang Tante kirim buat Bulma selama satu setengah tahun ini, tapi semuanya ditolak. Tante nggak ngerti lagi apa maunya..."

"Bukan begitu, Tan," kucoba menjelaskan sudut pandang Bulma. "Cuma Bulma nggak mau lagi memerankan tokoh stereotip orang gemuk."

"Tapi Bulma memang gemuk, Nis," tukas Tante Irma. "Orang-orang justru kenal dia karena dia gemuk. Kenapa sih Bulma nggak bisa menerima fisiknya dan ngambil hikmah dari itu kayak kamu?"

"A-aku, Tan?"

"Iya. Kamu." Tante Irma menunjukku dengan hidungnya. "Kamu nggak uring-uringan tuh sama tampang kamu yang bikin orang ketar-ketir. Kamu malah fine-fine aja memerankan Carissa."

Ah. Soal itu...

"Kenapa sih Bulma nggak mencontoh kamu?" protes Tante Irma. "Padahal Tante sengaja tempatin kalian di apartemen ini supaya Bulma bisa belajar dari kamu. Tapi dia malah terus-terusan protes dan minta proyek yang lain. Tante bukan jin yang bisa mewujudkan semua permintaan, kan?"

Baru sekarang aku mendengar sang casting manager bicara blak-blakan. Biasanya Tante Irma selalu tenang dan tahu harus berbuat apa. Dari nada bicaranya, aku rasa Tante Irma juga sudah hilang akal mengurus Bulma.

"Bulma cuma mau dianggap sebagai aktris serius, Tan."

"Aktris serius adalah aktris yang betul-betul serius menjalani profesinya..." Nada suara Tante Irma naik satu oktaf. "Bukannya pilih-pilih pekerjaan. Kalau kayak gini, kan semua orang jadi pusing."

Harus kuakui, Tante Irma juga punya alasan untuk komplain. Setiap hari ada orang baru yang kepingin jadi artis. Ada yang cuma modal sensasi aja, tapi ada juga yang betul-betul berbakat. Tapi proyek baru nggak berdatangan setiap hari. Artis yang sudah eksis seperti Bulma memang "idealnya" nggak terlalu picky, kalau nggak, dia bisa dengan mudah digeser dengan artis pendatang baru.

"Kalau Bulma udah pulih, tolong kamu nasihatin dia ya, Nis. Jangan terlalu baper-lah. Sambil nunggu badan kurus, kan bisa ambil proyek-proyek iklan dulu."

"Oke, Tan."

"Soalnya kalau begini terus, Tante nggak punya pilihan lain. GIFTED nggak bisa kasih akomodasi buat talent yang nggak bekerja."

Oh, no. "Tante.... Please jangan bilang Bulma bakal diusir dari apartemen!" 

Tante Irma tidak menjawab. Dia hanya membuang muka dan kembali menekuni kuku-kukunya. 

Tidak ada janji atau apa pun. Kalau Bulma nggak mengubah sikapnya, aku yakin Tante Irma akan mengambil keputusan "itu".

"Nah, sekarang..." Tante Irma mengembus panjang. "Tante akan cari cara supaya masalah Bulma ini nggak bocor lagi."

Aku teringat diskusiku dengan Bulma beberapa hari lalu, soal agen ganda yang kemungkinan bekerja untuk GIFTED dan Darling. 

"Tante..."

"Mmm?"

Melihat kondisi Tante Irma yang sudah melepas kacamatanya dan mendongak ke atas dengan mata terpejam, aku jadi nggak tega. Untuk saat ini, sebaiknya kutahan dulu lidahku.

"Aku... akan menasihati Bulma supaya berubah."

Tante Irma mengangkat jempolnya. "Sama satu lagi..." katanya, masih dengan mata terpejam. "Tante udah diskusi sama orang-orang PR (public relation). Sebaiknya kamu ketemu langsung sama dia."

"Maksud Tante, aku pergi ke Semarang?"

"Bukan Bulma. Tapi oknum yang ngaku-ngaku papa kamu itu."

Oh. Aku nyaris lupa kalau aku juga terjerat gosip miring. Oknum itu. Aku ingin protes tetapi Tante Irma mengangkat telapak tangannya. "Lebih baik masalah itu segera diselesaikan, Nis. Tim PR khawatir perhatian orang-orang teralih dari Lovebirds ke gosip itu. Kita nggak mau promosi Lovebirds terganggu. Netflix kepingin semua artis yang terlibat di Lovebirds bebas gosip sampai season dua selesai tayang."

"Tapi Tante..."

"Tante bisa atur pertemuan dengan oknum ini. Kamu nggak usah takut. Kalau benar dia papa kamu, tinggal bilang kamu menerimanya lagi supaya urusan selesai. Nggak harus betulan, pura-pura juga oke. Sisanya Tante yang urus. Kalau ternyata bukan, kita akan laporin si Mak Lambe ke polisi. Pencemaran nama baik. Intinya apa pun kemungkinannya, harus segera tuntas."

Bertemu langsung dengan orang itu? Astaga, aku betul-betul nggak siap. "Aku rasa aku harus diskusi sama Mama dulu, Tan."

"No problem," tukas Tante Irma jengah. "Pokoknya secepatnya ya, Nis. Kalau bisa dalam satu dua minggu ini. Tante lagi pusing. Si Darling itu makin girang kalau GIFTED kacau. Dan kita nggak boleh dikalahkan sama orang itu."


...


Anwar menyipitkan mata dari balik lembar naskah ke arahku.

"Gimana, Nis?"

Reza berkedip-kedip cepat. Dia tampak gugup.

Kubaca lagi naskah untuk episode lima ini. "Carissa akan menusuk Adam pakai pisau karena Adam berencana membocorkan ke Ben bahwa Carissa sebetulnya pura-pura hamil?"

"Tapi Adam nggak mati, kok..." sahut Anwar. "Episode lima di-cut di situ. Bakal dibikin cliffhanger, seolah-olah Adam mati. Ngikutin naskah edisi pertama, Adam bakal muncul lagi di episode tujuh, pas Tari check-up ke klink karena merasa perutnya nggak enak."

"Jadi Carissa nggak cuma melukai Tari, tapi juga Adam?"

"Betul."

Kali ini Kai sudah betul-betul kelewatan. Di tiap episode-nya, dia membuat tokohku jadi semakin jahat. Dan bukan jahat yang "wajar", tapi jenis jahat yang dramatis ala nenek sihir di film-film Disney.

Aku harus memastikan ini dulu. "Netflix udah setuju?"

Anwar mengangguk dan tersenyum penuh harap.

Sebetulnya para aktor dan aktris nggak punya hak untuk masuk campur dalam perkembangan tokoh-tokoh mereka, tetapi sejak aku komplain soal adegan ranjang waktu itu, Anwar bersikap lebih diplomatis. Sebagai sutradara dia menyadari keresahanku, dan mencoba membuatku senyaman mungkin dalam berakting.

"Menurutku ini terlalu ekstrem," komentarku. "Karena sebelumnya Carissa mau tidur dengan Adam. Pasti dia merasakan bahwa Adam tulus tertarik sama dia."

"That's okay," celetuk Reza tiba-tiba. "Aku juga merasa adegan ini terlalu dipanjang-panjangin. Kalau dipotong rasanya nggak mempengaruhi cerita."

Wah? Ada apa ini? Reza Laparpujian membelaku?

"Ta-tapi..." Anwar tergagap. "Kai udah—"

"Kai nggak akan keberatan," potong Reza manis.

"Aku nggak bilang aku menolak melakukan adegan ini," pungkasku. Kak Ussy dan Valen sedang menonton kami dari sudut. "Ini memang ekstrem, tapi kalau semua orang setuju, aku yakin Kai udah menata plotnya supaya—"

"It's okay," Reza menyerobotku. "You don't have to do this scene."

"Aku nggak pernah bilang aku nggak mau."

"Nggak apa-apa. Kita lanjut aja ke adegan berikutnya."

"Aku bisa melakukan ini, Reza."

"Halooo?" Anwar melambaikan kedua tangannya. "Kalian berdua kenapa?"

"Reza..." Aku kaget dengan perubahan sikap sang aktor diva yang mendadak ini. "Kamu kan pernah bilang bahwa Kai udah kerja keras untuk—"

"One minute," Reza nyengir ke Anwar lalu menyeretku ke sudut yang sepi.

Uh-oh. Here we go.

Reza ingin membawaku keluar, tapi kutahan dia. Aku melihat sedan merah Darling di dekat gerbang masuk tadi.

"Oke." Napas Reza menderu. "Kamu mau apa? Uang? Rumah? Mobil?"

Kusentakkan tanganku sampai lepas. "Apa maksud kamu, Reza?"

"Kenapa kamu menyinggung soal Kai?"

"Karena dia penulis naskahnya, kan?"

"Kamu mau kasih clue ke Anwar kan kalau sebetulnya aku sama Kai—"

Wah, rupanya Reza jadi paranoid sejak kepergok. "Enggak. Ini sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan hubungan kamu sama Kai. Aku nggak peduli kalau kalian—"

"Sssst!" Reza membekap mulutku. "Jangan keras-keras. Oke, aku paham. Bilang sekarang juga, kamu mau apa. Bakal aku kasih. Asal kamu bersumpah kamu nggak bakal mengungkit-ngungkit soal 'itu' lagi."

"Kamu pikir aku minta disogok, Reza?"

Reza terkekeh merendahkan. "Udahlah, Manis. Kamu nggak usah pura-pura lagi. Aku bisa baca niat kamu. Kamu nggak sadar, kamu itu persis seperti Carissa? Kalian selalu memakai cara-cara licik untuk mendapatkan keinginan kalian."

"Aku bukan Carissa!" Berani-beraninya dia! "Jangan samain aku dengan pelakor murahan kayak gitu!"

"Kalau begitu..." Reza menyeringai dan mengungkitkan telunjuknya di tali tank top kostumku yang entah kenapa hari ini agak minim. "Kamu ini cewek yang seperti apa?"

Kutepis tangannya dengan tegas. "Kamu mau bilang apa, Reza?"

"Aku nggak ada niat menyogok kamu atau apa pun, Manis. Aku cuma nawarin bantuan finansial. Tulus, lho." Reza mendekatkan wajahnya dan memamerkan gigi-giginya yang putih berkilau. Dia seperti ingin menciumku. "Kamu aja yang berpikiran aneh-aneh. Sama seperti Carissa, akur rasa kamu punya masalah trust sama laki-laki. Apa ini gara-gara kamu ditinggal ayah kamu pas masih kecil? Jangan-jangan kamu punya daddy issue..."

PLAAAK!

Telapak tanganku yang baru menampar pipi tirus itu terasa panas. Ruangan itu menjadi sunyi. Orang-orang membeku, termasuk Reza Laparpujian. Tanpa menunggu reaksinya, aku berbalik dan pergi ke luar. Darahku mendidih.

Aku sama sekali tidak menyesali perbuatanku barusan.

Laki-laki brengsek!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top