14. Terciduk


Astaganaga!

"Manis!" Reza gelagapan memakai celananya. "Tunggu!"

Aku refleks menutup wajahku dengan tangan dan kabur. Aku nggak tahu ke mana aku berlari, pokoknya aku harus menyingkir dari tempat ini.

"MANIS!" Reza berteriak. Ada bunyi gedebuk—sepertinya Reza terpeleset jatuh, tapi bodo amat. Saat ini aku berharap bisa menghilang.

Aku sampai berlari melewati mobilku. Alonzo keluar dan memanggilku. Aku memutar balik, tetapi Reza mendahuluiku. Dia menarik tanganku dan menyandarkanku di pintu mobil lain.

"Dengar..." Reza terengah-engah, segala pesona divanya luruh. "Ini... nggak seperti... yang kamu lihat. Aku bisa jelasin..."

Aku nggak bodoh. Aku melihat apa yang terjadi. Aku tahu apa yang kulihat. "It's okay, Reza. Maaf, aku nggak sengaja buka pintunya tadi."

"Aku harus menjelaskan ini ke kamu!"

"Aku mau pulang, Reza."

"Jangan pulang dulu!" Reza menangkupkan kedua tangannya di pundakku dan mengguncangkannya. "Dengar, Manis. Nggak ada seorang pun yang tahu soal hubungan aku sama Kai."

Jelas sekali. "Aku nggak mau masuk campur ke kehidupan pribadi—"

"Tapi kamu udah ikut campur!" bentak Reza. Ritsletingnya belum tertutup dan kemejanya belum terkancing semua. Aku berjengit geli. "Kamu tahu apa yang terjadi seandainya ada orang lain yang dengar soal ini?"

Karier Reza Laparpujian akan berakhir, itu sudah pasti. Tidak ada tempat untuk orang-orang seperti Reza di dunia hiburan. Ternyata karma punya cara yang luar biasa untuk unjuk gigi. Baru minggu lalu Reza mencoreng nama baikku di depan para wartawan, dan sekarang aku memegang kartu As-nya.

Aku hanya mengangguk.

"Tolong, Manis..." Pelupuk mata Reza bergetar, dia kelihatan ingin menangis. "Jangan bilang ke siapa-siapa. Ini bukan cuma menyangkut aku aja, tapi Kai juga. Susah banget punya karier yang bagus sebagai penulis di negara ini. Kalau karierku hancur, aku masih bisa bangkit lagi. Tapi Kai..."

"Kamu nggak usah khawatir, Reza. Aku nggak bakal—"

"Aku bersedia ngelakuin apa aja asal kamu tutup mulut."

Ohoho! Sebuah ide jahat menyelinap masuk. Reza Laparpujian baru saja menyerah. Ini saatnya kamu membalas semua sikapnya ke kamu itu, Manis!

Tapi... nggak. Aku nggak akan memperalat Reza. Aku harus membuktikan bahwa aku lebih baik darinya.

"Aku nggak melihat apa-apa di mobil itu, Reza," kataku dengan nada final. "Sekarang, bisa tolong lepasin aku? Aku mau pulang."

Reza menegakkan diri. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengerjap-ngerjap. Kepanikannya berangsur-angsur sirna. Dia melepaskan cengkeramannya dari pundakku dan mengulurkan tangannya, mengajakku salaman.

Apa boleh buat.

Kusambut uluran tangan itu. 

Reza nyengir salah tingkah. "Aku harap kamu bisa dipercaya, Manis Maramis."

"Aku bukan Mak Lambe, Reza Laparpujian."

Reza manggut-manggut. Dia melepaskan jabat tangan itu dan kembali ke mobilnya. Aku juga. Alonzo sudah membukakan pintu seperti sopir yang baik.

Di dekat gerbang keluar, sebuah sedan merah cabai sedang menunggu. Keberadannya tertutupi truk-truk besar yang membawa perlengkapan set. Aku baru melihatnya saat mau keluar gerbang. Satu sosok sedang bersandar malas di sampingnya, wajahnya diselubungi asap.

Begitu tatapan kami berserobok, Darling menyeringai. Dia memberi hormat seperti pilot yang akan lepas landas, lalu mengembuskan asap rokok tebal dari bibirnya yang bergincu.


...


Aku pulang ke apartemen dengan perasaan terancam.

Sudah pasti Darling menyaksikan peristiwa di lapangan parkir tadi. Saking buru-buru ingin kabur dari Reza, aku sampai melupakan sang "penunggu" parkiran yang gemar gentayangan itu.

Apa Darling akan membocorkan rahasia Reza ke media?

Reza Laparpujian adalah aset tak ternilai untuk GIFTED. Darling bisa memanfaatkan rahasia Reza untuk membujuk aktor kawakan itu pindah ke agensinya. Kalau diancam begitu, Reza pasti menurut. Dan kalau begitu, berarti si Darling bakal dapat durian runtuh!

Sebentar... ini semua soal karier Reza. Nggak ada hubungannya denganku. Aku hanya perlu memberitahu Reza bahwa Darling juga ikut menguping, supaya Reza nggak berpikir akulah yang membocorkan rahasianya pada manusia eksentrik itu.

Ya, nggak baik kepo dengan urusan orang, kan?

Sekarang, apa aku harus memberitahu ini pada Tante Irma? Tante Irma pasti akan syok. Manajerku itu bisa saja bertindak nekat demi melindungi Lovebirds dan aktornya. Selama ini Tante Irma udah gedhek kepingin memenjarakan Darling, dan ini bisa jadi alasan yang tepat. Persaingan antaragensi yang selama ini sudah ketat, akan meletus jadi perang.

Tapi rahasia ini terlalu besar untuk kusimpan sendiri. Nggak, aku nggak bisa cerita ke Tante Irma. Aku hanya akan kasih tahu Bulma. 

Aku keluar dari lift dan masuk ke apartemen. "Bul? Bulma?"

Apartemen sepi. Kulirik jam tanganku. Setengah tujuh malam. Harusnya Bulma sudah selesai nge-gym. Kalau pergi keluar, Bulma juga selalu kasih kabar, entah lewat WA atau pesan tertulis di pintu kulkas.

"Bulma?"

Perasaanku langsung nggak enak. Aku menerobos ke kamar Bulma. Ruangan itu kosong. Gordennya belum tertutup, dan lampunya belum dinyalakan. Aku memutari tempat tidur untuk menutup gorden, tetapi tersandung sesuatu.

"Ada apa si—"

Sesuatu yang besar dan gelap terbaring di lantai. Aku meraba-raba lampu tidur dan menyalakannya.

"BULMA!"

Sahabatku sedang itu terlentang pingsan. Wajahnya pucat, tangannya dingin dan ada cairan kental tergenang di dekat mulutnya. Kuguncang-guncang tubuhnya dan kupanggil-panggil namanya, tetapi Bulma tetap diam saja. Dia seperti mati.


...


"Gue pikir dia lagi akting! Ternyata enggak!"

Dua orang perawat itu sibuk berceloteh.

"Sama! Gue juga berpikir begitu!" sahut si perawat kedua. "Tapi ternyata memang mukanya jutek, ya. Pantas cocok banget jadi pelakor."

"Ngomongnya juga rada ketus nggak sih?"

"Bener banget! Ternyata tampang nggak jauh-jauh dari sikap, ya."

Aku nggak habis pikir para perawat ini nekat menggosipiku yang hanya duduk dua meter dari mereka. Mereka pikir aku nggak bisa dengar, apa?

Kulempar satu tatapan tajam ala Carissa pada mereka. Kedua perawat itu mencicit seperti tikus yang terjepit lemari, dan langsung menutup mulut sambil menekuni berkas-berkas.

Ponselku berbunyi. Ada pesan baru dari Tante Irma.

OTW. Bakal telat. Baru kelar meeting. Di rs mana?

Kuketikkan pesan balasan. Pondok Indah. Tadi diantar Alonzo.

Kedua centang WhatsApp pesanku berubah jadi biru. Bagus, Tante Irma sedang menyusul ke sini. Semuanya akan baik-baik saja.

"Hei!"

Ada yang mencolek pundakku. Aku menoleh dan melihat Dian. Rambutnya sedikit basah, pasti dia menerobos hujan di luar.

"Aku lihat status WA kamu dan langsung ke sini. Aku pikir—"

"Thank you!" Aku menghambur memeluknya. Oh, Tuhan memang nggak pernah tidur. Dia tahu aku sedang butuh dukungan seseorang!

Dian balas memelukku. Jaketnya lembab karena hujan. "Siapa yang sakit?"

"Bulma, teman satu apartemenku. Dia keracunan pil diet."

Kuceritakan pada Dian semuanya dari awal. Sama seperti Tante Irma, Dian bisa dipercaya. Apalagi dia jelas-jelas perhatian padaku sampai rela menyusulku di tengah hujan lebat begini cuma gara-gara membaca status WhatsApp-ku. Dian juga tahu siapa Bulma, dia pernah menonton beberapa film teman satu apartemenku itu.

"Terus apa dia udah sadar?" tanya Dian di akhir ceritaku.

"Udah. Sempat ngobrol sebentar sama aku. Tapi karena masih lemah, Bulma tidur lagi." Sengaja kusandarkan seluruh bobot tubuhku pada Dian. Kakiku lemas sekali. Untungnya pria itu nggak keberatan. Dia malah merangkulku. Gentleman banget. "Bulma dapat tawaran peran serius di satu serial drama. Tapi sutradaranya minta Bulma lebih kurus minimal lima belas kilo sebelum syuting dua minggu dari sekarang. Makanya dia nekat minum obat kurus. Padahal sebulan ini berat badan Bulma udah turun tiga kilo berkat diet sama nge-gym."

Dian geleng-geleng pelan dan mendesah lesu. "Aku jadi kasihan. Padahal setiap kali lihat Bulma di televisi, dia selalu kelihatan ceria."

Dian belum tahu banyaknya tekanan yang harus dihadapi perempuan kalau ingin eksis di dunia hiburan ini. Dengan setengah berbisik, kuceritakan pergulatan Bulma dengan berat badan, ukuran kostumku yang lebih cocok untuk anak cewek lima belas tahun ketimbang wanita dewasa, dan bagaimana karier kami bisa hancur gara-gara urusan berat badan ini.

"Tolong rahasiain ini ya, Di. Kalau sampai wartawan tahu, karier Bulma bisa lebih parah lagi."

"Pasti, Nis."

Kami berdua terdiam. Aku bernapas lewat mulut, mencoba untuk rileks. Dian nggak tahu betapa bersyukurnya aku dia datang. Duduk di sampingnya seperti ini, hatiku jadi lebih tenang.

"Nis, apa menurut kamu..." kata Dian lambat-lambat. Bibirnya bergetar. Aku hafal reaksinya. Dian sedang galau kalau bicara dengan bibir bergetar begini. "Sebaiknya aku batalin aja cita-cita kepingin jadi penyanyi?"

"Kamu jadi minder setelah aku cerita soal Bulma?"

Dian mengangguk. "Kamu tahu kan, kulitku... seperti ini."

Gelap, itu maksud Dian. "Kamu cowok, Di. Kamu bakal baik-baik aja. Nggak ada yang bakal nge-judge cowok."

Dian terdiam. Dia meremas-remas tangan, jakunnya naik turun.

"Tadi pagi aku udah ditawarin kontrak sama label rekaman."

"Wah, bagus dong. Udah kamu teken?"

"Udah. Tapi belum aku balikin."

Karena dia masih belum yakin. Aku ingat waktu kami sekolah dulu, teman-teman sekelas paling anti menanyai Dian bakal makan apa pas jam istirahat. Cowok itu bisa bingung sendiri. Bukan berarti Dian sulit mengambil keputusan, tetapi karena dia selalu mendengarkan perasaannya.

Apa pun perasaan yang dia rasakan saat ini, satu hal yang pasti, dia sedang bimbang.

"Nah, jangan mundur sebelum mencoba." Kutepuk lututnya. "Setidaknya kamu harus coba dulu, kan?"

Dian memandangiku beberapa saat. Kemudian dia tersenyum lemah. "Kayak kamu waktu ditawarin Tante Irma tahun lalu, ya?"

Aku ikut tersenyum dan hanya mengangkat bahu.

Ponselku berdering. Tante Irma menelepon. Segera kujawab panggilan itu.

"Nis, bisa suruh Alonzo ke lobi? Tante nggak bisa masuk... Ini..." Suara Tante Irma hilang digantikan bunyi grasak-grusuk yang heboh. Lalu sekonyong-konyong panggilan itu terputus.

"Kita susul aja gimana?" usul Dian yang ikut mendengar obrolanku.

"Ide bagus." Aku bangkit berdiri. "Aku telepon Alonzo juga."

Kukabari Alonzo lalu masuk ke lift dan turun ke lobi rumah sakit. Beberapa meter menuju pintu, barulah aku sadar kenapa Tante Irma terhalangi.

Puluhan wartawan sudah berjubel disana, memblokir pintu utama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top