10. Diva


"MANIS! SEBELAH SINI, MANIS!"

"MBAK MANIS, BISA JAWAB BEBERAPA PERTANYAAN, MBAK?"

"MANIS! MINTA KOMENTAR, DONG?'

Bunyi ceklikan kamera-kamera yang sibuk bekerja membuatku pusing. Mik-mik teracung, orang-orang berdesak-desakkan di sekelilingku. Aku bahkan nggak bisa melihat kakiku sendiri! Hanya tarikan kuat tangan Tante Irma yang bisa kujadikan petunjuk arah menuju pintu masuk.

"Manis Maramis!"

Salah seorang jurnalis wanita nekat menyalib tepat di depanku sehingga pegangan Tante Irma terlepas. Kalau ini film, pasti ada musik menegangkan yang mengiringi kemunculannya. 

Bukannya minta maaf, wanita itu malah tersenyum puas. Dia menyorongkan mikrofonnya ke mulutku, seperti pistol.

"Sumber yang terpercaya mengatakan kamu sengaja memutuskan kontak dengan ayah kandung kamu..." Wanita itu menyodorkan sebuah ponsel. Di layarnya terdapat foto seorang pria beruban yang memakai kacamata hitam. "Pria bernama Johan Maramis ini mengaku dia berusaha bertemu kamu dan ibu kamu selama satu tahun belakangan ini, tetapi selalu gagal. Apa benar bahwa setelah menjadi artis, kamu sengaja mengucilkan ayah kandung kamu sendiri? Komentarnya?"

"Begini ya, teman-teman..." Tante Irma menyeruak dan menuding jurnalis itu. "Siapa saja bisa ngaku-ngaku sebagai keluarga artis—"

"Sumber kami ini valid kok, Tante," potong si jurnalis kurang ajar.

Tante Irma mendengus berang. Bingkai kacamata mata kucingnya membuatnya kelihatan dua kali lebih galak. "Sumber yang valid? Maksud kamu Mak Lambe?"

Jurnalis itu buka mulut untuk bicara, tetapi Tante Irma segera menyambung.

"Sebelum kalian menginterogasi Manis seperti ini, pastikan informasi itu dapat dipertanggungjawabkan!" bentak Tante Irma. Kemudian dia menarik tanganku lagi. "Sekian. Terima kasih, teman-teman. Selamat pagi!"

Alonzo dan dua orang bodyguard menjemput kami di depan pintu dan menyelamatkan kami. Sebelum pintu ditutup, aku bisa mendengar si jurnalis wanita berbicara dengan nada menuduh:

"Irma Primadona, manajer Manis, menampik isu kontroversial ini..."

"Jangan dengerin mereka," Tante Irma mengguncangkan bahuku, memberi semangat. "Bisa-bisanya mereka percaya sama orang kurang kerjaan macam si Mak Lambe itu... benar-benar nggak masuk akal..."

Baru kemarin malam Mama memberitahuku soal gosip itu. Aku dan Mama memang nggak yakin–maksudku, selama lima belas tahun Papa bersembunyi entah di mana dan tiba-tiba dia muncul di depan media seperti ini? Rasanya mustahil. Mama dan Dian menyarankanku untuk mengabaikan gosip itu. Tapi peringatan Tyas waktu itu bikin aku khawatir. Aku sampai sulit tidur tadi malam.

Dan pagi ini, di hari pertamaku syuting, kecemasanku terbukti. Mama dan Dian pasti tidak menyangka bahwa posting-an Mak Lambe punya efek seheboh ini.

"Tapi Tante..." Aku sudah memikirkan ini semalaman. "Gimana kalau orang itu betul-betul Papa aku?"

Langkah cepat Tante Irma berhenti mendadak, seolah menabrak tembok kasat mata. Dia menoleh padaku dan menurunkan kacamatanya. "Are you serious, Manis? Kan kamu sendiri yang bilang bahwa Papa kamu-lah yang menelantarkan keluarga kalian. Terus sekarang kamu ingin menanggapi gosip ini, begitu?"

Tante Irma benar. Mama sudah memberi Papa waktu lima belas tahun untuk memperbaiki kesalahannya, tetapi laki-laki itu tidak melakukannya.

"Apa menurut Tante aku harus kasih statement?"

Tante Irma menggeser selusin gelang emas di tangannya dan berkacak pinggang. "Kita belum tahu apa orang ini betulan Papa kamu atau sekedar oknum yang aji mumpung ingin mencuri kesempatan. Apalagi gosip ini berasal dari Mak Lambe. Akun-akun gosip kayak begitu bejibun, Nis. Rata-rata isinya hoax semua."

Tapi kasus video mesum Anastasya beberapa tahun lalu yang diembuskan Mak Lambe terbukti benar, sehingga Anya diceraikan dan masuk penjara. Tyas juga bilang rata-rata informasi yang dibocorkan Mak Lambe itu akurat. Bagaimana kalau Mak Lambe betul soal oknum yang "ngaku-ngaku" sebagai ayahku ini?

"Nggak usah kamu pikirin," tegur Tante Irma. "Kamu fokus aja ke syuting. Biar Tante yang tangani urusan ini, oke?"

Aku mengangguk sambil bergumam mengiyakan. Dalam situasi seperti ini, Tante Irma selalu dapat dipercaya.


...


Gosip Mak Lambe tergusur dari kepalaku begitu masuk ke dalam set. Enam bulan berlalu sejak terakhir kali aku dikelilingi peralatan syuting dan para kru seperti ini. Sudah ratusan jam yang kulewati berada di tengah-tengah kesibukan ini, tapi tetap saja... rasanya seperti pertama kali.

Wajah-wajah kru yang familier bermunculan. Karena tampangku, awalnya mereka risih mengajakku mengobrol. Kak Ussy berjasa besar dalam hal ini. Dialah yang mengajakku berkeliling dan berkenalan dengan para kru (sebagai aktris senior, Kak Ussy sering bekerja bersama mereka). Setiap kali ada yang kagok karena melihat muka judesku, Kak Ussy cuma tertawa dan bilang, "Nggak usah takut. Dia lagi menjiwai Carissa."

Setelah itu, orang-orang jadi nggak kagok lagi kalau berpapasan denganku. Mereka paham bahwa tampangku ini disebabkan karena aku sungguh-sungguh "menjiwai" tokoh antagonis yang kuperankan.

Aku menghabiskan satu jam dirias dan berganti kostum. Ukuran dress-ku hari ini nggak berubah, masih tetap XS. Ada satu kejanggalan: hari ini aku diminta pakai lingerie hitam. Entah apa maksudnya. Tapi aku nggak terlalu memusingkan itu, dan segera pergi ke set. Tante Irma sudah nggak kelihatan.

Scence ini berlatar di sebuah restoran. Kulihat para extras yang berperan sebagai pengunjung restoran sudah siap. Kak Ussy dan Valen duduk di pojokan. Mereka baru akan muncul di scene selanjutnya, sehingga masih beristirahat. Agar para aktor bisa menghayati plotnya, syuting Lovebirds dilakukan secara continuous. Artinya, semua scene diambil secara berurutan mengikuti naskah, mulai dari Scene 1 dan seterusnya. Tapi ada juga film dan serial TV yang disyuting berdasarkan set atau lokasi, sehingga scene yang diambil tidak selalu berurutan. Tipe yang kedua ini memang menghemat budget dan waktu, tetapi bisa membuat para aktor kesulitan menjiwai peran karena mereka harus memerankan adegan-adegan yang tidak bersambung.

Dan Lovebirds season dua akan dibuka dengan pertemuanku dengan Adam di sebuah restoran. Carissa menggoda Adam, tanpa tahu bahwa Adam adalah dokter kandungan. Di episode dua, Carissa akan memeriksakan diri ke klinik kandungan dan baru menyadari bahwa pria yang ditemuinya di restoran itu tenyata dokternya.

Anwar si sutradara melihatku. "Reza-nya mana?"

Orang-orang celingukan. Aku memang belum melihat Reza Laparpujian sejak tadi. Padahal ini adalah scene kami berdua.

"Airnya suam-suam kuku, ya. Suam-suam kuku, bukan panas! Harus udah ready di ruangan saya begitu selesai. Jangan lupa handuknya. Dua handuk kecil, satu handuk besar. Jangan yang di-laundry pakai pewangi, saya nggak suka!"

Reza Laparpujian masuk dengan langkah-langkah anggun. Dia sudah memakai kostum dan sudah dirias. Empat orang tergopoh-gopoh di belakangnya: seorang gadis muda seumuranku yang mengetik cepat di ponselnya, seorang pria berperut buncit yang mengangkat kipas angin mini ke arah Reza, seorang cewek mungil yang memakai tas pinggang besar, dan seorang ibu-ibu yang memegangi sebotol air mineral lengkap dengan sedotan.

Reza berhenti di depan Anwar. Si gadis yang memegang ponsel menyelinap pergi.

"Reza," kata Anwar, sengaja dimanis-maniskan.

"Anwar," balas Reza sambil tersenyum lebar.

"Air suam-suam kuku sama handuk buat apa?"

"Facial," jawab Reza kalem. "Saya nggak telat, kan?"

Kulirik jam digital di tangan salah satu jurukamera. Reza memang on-time.

"Enggak kok," sahut Anwar lega. "Jadi, ehm... hari ini kita bakal—"

"Scene 1: Di Restoran," sambung Reza lancar. "Saya tahu, kok."

"Benar," Anwar menelan ludah. "Nah, ini pertama kalinya kamu bertemu dengan Carissa..." Anwar mengedik padaku, mengisyaratkanku untuk mendekat. "Di sini kamu masih setengah terpukau sama Carissa, tanpa nge-judge dia macam-macam. Tapi kamu udah nunjukkin bahwa kamu penasaran—"

Reza mengangkat telapak tangannya tepat di depan Anwar. Lalu aktor itu berdecak dan mengipas-ngipasi pipi kanannya.

Kenapa dia?

Si pembawa kipas angin buru-buru pindah posisi ke sebelah kanan Reza. Sang aktor mendelik belum puas. Karena tinggi Reza yang menjulang, pembawa kipas angin itu terpaksa harus berjinjit supaya kipas itu bisa sejajar dengan pipi sang aktor.

"Sori. BB-Cream masih lengket," kata Reza riang. "Lanjut, Anwar..."

"Oke," Anwar menyipit. "Nanti kan ada dialog ketika Adam nanya—"

"Sori." Jari Reza terangkat lagi. "Bibir kering." Dia berdecap-decap lalu mengedik pada si ibu-ibu pembawa botol air. Wanita itu mendekati Reza dan menyodorkan sedotan ke mulutnya. Sang aktor minum beberapa teguk, lalu mengedip pada Anwar, menyilakan sutradara kami untuk meneruskan instruksi.

Anwar menarik napas dalam-dalam. "Manis, di sini Carissa posisinya mau balas dendam, ya. Dia kesal karena Ben ngebelain Tari..."

Aku mengangguk. "Aku paham, Anwar."

"Bagus. Berikutnya, Reza. Sebetulnya secara tersirat, Adam ingin tahu tentang siapa—"

Kali ini Reza mengangkat kedua tangannnya dan mengerjap-ngerjap. Anwar melirikku, alis kanannya terangkat. Reza memonyongkan bibirnya dan mengecup-ngecup. Giliran si cewek bertas pinggang yang turun tangan. Dengan sigap, dia mengeluarkan sebuah lipgloss, dan menyapukannya dengan hati-hati ke bibir Reza, seperti pelukis yang sedang membuat mahakarya.

"Bibir masih kering," kata Reza ringan. "Nggak enak soalnya. Ngomong jadi kurang luwes."

Bukan hanya aku dan Anwar yang kini memelototi Reza, tetapi semua orang di ruangan itu. Barulah kami paham siapa tiga orang yang mengekori Reza seperti anak-anak bebek ini. Mereka adalah dayang-dayangnya.

Ya ampun!

Di layar bioskop, Reza Laparpujian selalu berhasil membuat penonton terpukau dengan aktingnya yang berkualitas. Tetapi siapa sangka di balik layar ternyata dia seorang "diva" manja yang banyak maunya seperti ini?

Kami semua menunggu sepuluh menit sampai bibir Reza nggak kering lagi. Setelah setengah botol lipgloss, barulah Reza tenang.

"Oke," Anwar tersenyum, tapi di balik bibirnya kulihat gigi-giginya berkeretakan menahan amarah. "Kai bikin revisi sedikit di akhir scene ini. Kita improvisasi aja, ya? Jadi Carissa akan menggoda Adam ke kamar hotel..."

"Sebentar." Aku terkesiap. "Ke kamar hotel?"

"Ya," Anwar mengangguk yakin. "Akan ada adegan ranjang."

Adegan ranjang? Aku sudah terbiasa dengan perubahan naskah last minute seperti ini–para aktor memang dituntut fleksibel. Tapi revisi yang baru disebutkan Anwar sama sekali bukan "revisi sedikit".

"Kenapa, Nis?" Anwar memasang tampang pura-pura bego.

"Bukannya ini pertama kalinya Carissa dan Adam ketemu?" Ini sih revisi besar! "Masa baru ketemu langsung naik ke kamar hotel?"

"Memangnya kamu nggak mau beradegan ranjang denganku?" tanya Reza, nada suaranya menggoda.

Ih, aku yang sudah ilfeel padanya sejak pemotretan waktu ini, kini jadi makin jijik. "Bukan begitu. Cuma... ini nggak logis. Carissa nggak akan ngelakuin hal-hal seperti itu sama orang yang baru dikenalnya."

"Carissa itu pelakor," balas Reza tajam. "Dia tokoh antagonis di cerita ini. Wajar kalau dia mengkhianati Ben. Lagipula, Adam lebih menggoda..."

Astaga!

"Maaf, Anwar... Aku cuma nggak ngerti kenapa harus ada adegan seperti itu," tuntutku. "Aku merasa adegan itu nggak berkontribusi untuk plotnya."

Anwar mengangguk-angguk. Dia bergeser sedikit ke arahku. "Saya paham, Manis. Ini memang sengaja ditambahkan untuk dramatic purpose–supaya ceritanya jadi lebih dramatis."

Dramatic purpose. Alasan paling klise dalam dunia perfilman yang justru bisa menghancurkan plot. "Bisa dijelasin nggak kayak apa adegan tambahannya?"

"Uuuh," Reza pura-pura meringis. "Galak."

Kuabaikan dia sambil memelototi Anwar. Sang sutradara itu berkedip-kedip sebentar, lalu mulai menjelaskan. "Ya kayak adegan ranjang pada umumnya. Carissa sama Reza pergi ke kamar hotel, saling mencumbu, kemudian melepas pakaian masing-masing. Kamu udah dikasih kostum, err... lingerie hitam, kan?"

Lingerie itu!

Mendadak semuanya jadi terang benderang. Perutku langsung mual.

 "Maaf..." Nggak bisa kubayangkan aku melakoni adegan seperti itu. Apalagi dengan Reza si Laparpujian ini! "Aku harus tanya soal ini ke Tante Irma dulu. Di kontrakku ada klausa yang melarang adegan seperti itu."

Anwar menahanku. "Tunggu, Nis. Ini sudah dibahas sama para produser. Saya yakin kontrak kamu bisa diatur ulang..."

Tanpa memedulikan Anwar, aku berbalik.

Kak Ussy menghampiriku. "It's okay, Nis. Itu memang nggak ada kontrak," bisiknya. "Ayo kita cari Tante Irma dulu. Biarin mereka menunggu."

Saat keluar dari pintu, aku bisamendengar cemoohan Reza yang menghina dan bisa didengar semua orang. "Dasardiva!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top