ma.ni.pu.la.si: 28

⭐Now playing: Tentang Kita - Nasyid Gontor (sangat direkomendasikan)⭐

Persis ketika Zafira dan Nazifa sampai di depan ruang kepala sekolah yang sudah ramai oleh anak Rohis kelas sebelas, muncullah Hilwa, Ustaz Zaki, juga Ustazah Qonita dari dalam ruangan. Ketiganya langsung menyedot atensi setiap anak. Di saat itulah Ustaz Zaki angkat suara. "Kami sudah menganalisis semua dokumen yang ada, dan Haitsam memang positif memalsukan peraihan prestasinya."

Raut-raut wajah di depan ruang kepala sekolah itu belum jua menemukan kedamaian. Zafira membasahi bibir bawahnya, lantas mengajukan pertanyaan yang teramat mewakili anak AKSI lainnya. "Bagaimana dengan Pak Adnan, Ustaz?"

"Pak Adnan korupsi dana infak, dana kegiatan Isra Mikraj, juga terlibat kasus penyuapan dengan orang tua Haitsam. Bapak Kepala Sekolah sedang membicarakan hal ini di ruangan, sebelum Pak Adnan benar-benar dipecat dan mungkin dilaporkan pada pihak berwajib."

Jawaban Ustaz Zaki membuat embusan napas lega mulai terdengar di sana-sini. Investigasi mereka tidak berakhir sia-sia. Kejahatan tersingkap. Kasus korupsi terungkap. Tak tanggung-tanggung, kasus penyuapan sekaligus pemalsuan prestasi pun ikut tuntas hari ini. Tidak ada alasan bagi mereka untuk bermuram durja, tetapi semua kebahagiaan itu sirna ketika mengingat adanya salah satu orang yang berkorban sehingga tidak akan mengiringi langkah kaki mereka sehabis ini.

Sedari tadi, mati-matian anak AKSI menahan tangis sejak menatap Hilwa yang terus memasang senyuman manis, seolah menyatakan bahwa dirinya tidak apa-apa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semuanya berjalan tanpa masalah, jangan bersedih ... kalimat-kalimat itu memang bermaksud untuk menghibur hati kawan-kawannya, tetapi semua itu terdengar bagai melodi perpisahan bagi mereka.

Berusaha mengalihkan diri dari kenyataan akan perpisahan tersebut, Zafira kembali angkat bicara. "Ustaz, Ustazah ... kenapa, ya? Kalau sudah dapat uang suap, kenapa Pak Adnan masih harus korupsi? Uang infak, dana tablig akbar buat Isra Mikraj pula?"

"Ini yang perlu kalian ingat, anak-anak." Ustaz Zaki sengaja sekali menciptakan jeda sebelum meneruskan kalimatnya. Pria di usia tiga puluhan itu mengamati setiap anak AKSI dengan tatapan serius. "Sekalinya orang meletakkan hatinya pada dunia, membiarkan hatinya dipenuhi oleh hal-hal yang bersifat duniawi, maka kekayaan sebanyak apa pun tak akan pernah cukup baginya."

Masuk akal. Orang yang berorientasi pada dunia tidak akan pernah menemukan kata cukup. Semua anak AKSI terkesan akan kalimat lugas Ustaz Zaki. Akan tetapi, kelabu itu masih saja menggelayuti sorot mata mereka. Tak tahan lagi, Rosi mengangkat tangan setinggi kepalanya. "Kalau Hilwa gimana, Taz? Hilwa ... masih bisa sekolah di Ruwada, 'kan?"

Kedua alis tebal Hilwa mengerut dalam, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah dari pelupuknya. Lihatlah. Setelah berbagai pengkhianatan juga kekecewaan yang ia guratkan di lembar sejarah perjalanan Rohis, mereka masih saja begitu peduli kepadanya. Hilwa menggelengkan kepala. "Enggak apa, teman-teman. Biarkan aku menebus segala kesalahanku dengan pergi, ya? Aku sangat berterima kasih. Tanpa kalian, mungkin aku masih tersesat saat ini. Tanpa kalian, belum tentu aku bisa benar-benar kembali kepada-Nya."

Pipi Rosi dan Nazifa sudah basah, dijejaki cairan bening yang terus menerobos dinding pertahanan. Di saat itulah, Ustazah Qonita menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Sebenarnya ... kami sedang mendiskusikan pengadaan program beasiswa full untuk Hilwa. Kalian doakan agar prosesnya lancar dan bisa disetujui oleh pihak yayasan sekolah, ya. Kami akan berusaha mempertahankan Hilwa di sini, di Ruwada ini."

Demi mendengar pernyataan Ustazah Qonita yang mengejutkan sekaligus cukup melegakan tersebut, lekas saja tangisan demi tangisan meledak. Semua anak perempuan di sana langsung menghambur untuk meraih Hilwa ke dalam rengkuhan. Sementara itu, yang laki-laki hanya mengangkat bahu sambil menahan haru dalam diam. Iya. Ketika kehilangan sesuatu karena Allah, maka sejatinya, tidak ada yang benar-benar hilang dari hidupnya. Untuk apalah merasa kehilangan, ketika kita memilih jalan Allah yang Maha Pemilik Segalanya?

Ustazah Qonita terkekeh pelan melihat pemandangan di hadapannya. Bahkan seutas senyuman tipis pun tercipta di kedua sudut bibir Ustaz Zaki, Ustaz paling strict di Ruwada. Kala itu, koridor di depan ruang kepala sekolah dipenuhi oleh kehangatan, dekap erat, juga air mata yang meluncur memuja-Nya.

[ma.ni.pu.la.si]

"Teman-teman ...." Zafira menarik napas untuk meredakan sensasi menggebu di setiap penjuru hatinya. Anak perempuan itu mengedarkan pandangannya untuk menelusuri setiap anggota AKSI yang tengah duduk santai di Kantin Om Juy. Ia memang sengaja mengumpulkan mereka di sini, menguasai dua meja panjang untuk pemisah ikhwan dan akhwat. Zafira merekahkan senyuman paling lebar yang pernah ia perlihatkan selama di Ruwada. "Terima kasih banyak buat semua ini, buat kesediaan kalian hingga kita bisa sampai ke titik terang ini."

Zafira tambah puas ketika mendapati senyuman-senyuman terkembang di hadapannya, juga ketika seruan-seruan itu terdengar begitu riuh.

"Kami yang berterima kasih, Zafi."

"Iya! Kamu keren banget, Zafi."

"Kalau bukan kamu yang berani mengawali semua ini, belum tentu kita berhasil mengungkap kasus Pak Adnan."

"Kamu yang bikin AKSI, Zaf! Enggak semua orang punya kemauan sekaligus kemampuan buat menegakkan kebenaran."

"Kalau bukan kamu yang gerak duluan, mungkin kita masih diam saja meski uang infak dikorupsi, terus cuma bisa planga-plongo begitu pelaksanaan tablig akbar buat memperingati Isra Mikraj, karena dananya diambil sama Pak Adnan."

"Hidup, Zafi! Hidup, AKSI! Hidup, Rohis! Allahu akbar!"

Seruan heboh yang terakhir itu jelas sekali berasal dari mulut Alzam. Anak laki-laki itu memang sempat diliputi ketakutan sekaligus perasaan tidak enak terhadap Nazifa, tetapi Fatih yang berusaha memahaminya membuat Alzam seakan tidak memiliki masalah sama sekali. Ia tahu bahwa semua ini akan berlalu. Toh, Alzam dan Nazifa memang telah memilih kata usai dalam kisah terlarang itu. Maka tidak ada yang perlu diperpanjang lagi, bukan? Daripada bermuram durja karena diperbincangkan orang-orang, lebih baik Alzam berselebrasi atas keberhasilan Rohis mengungkap kejahatan, bukan? Hei, bukankah itu terdengar keren sekali?

Tepat ketika agen AKSI masih asyik-asyiknya bercengkerama untuk merayakan kemenangan mereka, muncullah Haitsam yang baru saja keluar dari ruangan kepala sekolah dan hendak menuju kobongnya sendiri. Anak laki-laki itu tampak tersentak begitu menyadari keberadaan anak-anak AKSI di sana. Di saat Haitsam berniat tak peduli dan meneruskan langkahnya, teguran Zafira sukses mengunci pergerakan Haitsam.

"Tsam ... sini, deh." Hati-hati, Zafira memilih nada sepelan mungkin, berusaha membuat Haitsam tidak merasa terpojokkan. "Ada anggotamu, lho, di sini. Sini bentar."

"Apa? Mau membicarakan trending topic di kalangan siswa?" Haitsam menatap Zafira dengan sorot tajam seperti biasa. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. "Yang satu munafik, kepergok pacaran, menelan ludahnya sendiri. Yang satu berbuat curang demi sekolah gratis. Yang satunya lagi memanipulasi identitas di perlombaan bergengsi, memalsukan prestasi, berlagak layaknya manusia sempurna. Bahkan pembinanya pun korupsi. Rohis tahun ini banyak skandalnya, deh. Begitu, 'kan?"

"Selalu ada kesempatan, Tsam. Selama darah masih mengalir dalam raga, selalu ada jalan pulang untuk kembali kepada-Nya." Zafira mengembuskan napas berat. "Tidak. Ini bukan tentang Rohis. Ini tentang diri kamu sendiri. Aku tahu kamu butuh ruang."

Keheningan yang bising mengisi setiap penjuru Kantin Om Juy saat ini. Senyuman miring Haitsam pudar, bahkan tatapan nanarnya pun digantikan sorot manik hitam legam yang sendu. "Aku enggak pernah menginginkan semua ini! Aku cuma mau menjalani kehidupan sesuai ritme langkah kakiku sendiri. Tapi kehidupan cuma ngasih aku pilihan buat jadi sosok yang sempurna. Aku capek lari-lari dengan kaki orang lain. Capek ...."

Demi menenangkan lelaki itu, Fatih dan Alzam menghampiri, lantas menepuk-nepuk Pundak Haitsam, menguatkan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Haitsam menemukan tempat yang tersisa baginya. Kembali, ya? Apakah tangan semesta tidak akan memblokir jalannya begitu saja?

"Kalau ada sesuatu, kamu bisa cerita ke kita, Tsam. Kalaupun kamu enggak mau dicap sebagai Ketua Rohis yang payah, setidaknya berbagilah sebagai Haitsam Ibrahim, sebagai teman kita. Kalau kamu bilang lebih awal, kita juga enggak akan menghakimi seenaknya. Biar kita bisa carikan solusinya sama-sama."

Kalimat Fatih membuat Zafira tersenyum puas. Anak perempuan itu meninggalkan kawanannya di Kantin Om Juy. Mau menyelesaikan satu hal lagi, begitulah jawabannya ketika ditanyai hendak ke mana oleh Nazifa. Meski bertanya-tanya, Nazifa membiarkan saja Zafira pergi. Langkah kaki itu membawa Zafira ke koridor yang ia tinggalkan beberapa menit sebelumnya, lantas menemui seseorang yang ternyata memang masih ada di sana untuk mendiskusikan permasalahan lebih lanjut pada Ustaz Zaki dan Bu Desi.

"Ustaz, Ustazah ... selalu ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya, bukan?" Zafira menipiskan bibir, lantas menatap Ustazah Qonita lekat-lekat. Ia memang telah mengetahui informasi mengenai hukuman yang akan dikenakan pada orang-orang yang terlibat dalam kasus ini. "Bisakah kita memberikannya juga pada Haitsam? Ia tidak akan menjabat lagi di Rohis. Akan tetapi ... bolehkah kita memberinya kesempatan untuk tidak di-drop out dan memperbaiki kesalahannya di Ruwada ini?"

Selalu ada jalan pulang untuk kembali kepada-Nya. Bukankah begitu hukum alam yang berlaku?

[ma.ni.pu.la.si]

Tamat? Akhir kisah?
Pssst! Nantikan kabar baik dariku!😶👍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top