ma.ni.pu.la.si: 25
⭐Now playing: Identitas Sejati - Nasyid Gontor (sangat direkomendasikan)⭐
Sungguh. Demi gurat semesta yang tak pernah berbelas kasihan untuk mempertimbangkan bait-bait harapan anak manusia, Hilwa tak pernah mengira bahwa situasinya akan jadi memburuk seperti ini. Hilwa adalah antagonisnya, afiliasi Pak Adnan, villain bagi seluruh anak Rohis, terutama anak kelas sebelas yang tergabung dalam Aliansi Anti-Korupsi.
Hilwa telah menjadi pengkhianat. Bayangkan betapa muaknya Zafira dan yang lainnya ketika mengetahui kenyataan tersebut. Tidak bisa ... Hilwa tidak mau ada di posisi ini! Hilwa tak mau lagi berurusan dengan Haitsam maupun Pak Adnan, tetapi keputusan di masa lalunya membuat Hilwa tak akan pernah bisa kembali dan berputar arah. Hilwa ada di persimpangan yang jalannya diblokir sana-sini. Dengan Haitsam tak mau, kembali ke Zafira pun tidak akan diterima.
Benak Hilwa terus disesaki berbagai jalan yang bisa ditempuhnya untuk keluar dari permasalahan ini. Jalan keluar yang mungkin memang sudah seharusnya ia ambil. Hilwa harus kembali ke jalurnya. Di bagian depan masjid, Ustaz Ikmal mengakhiri pengajian Kitab Khulashoh Nurul Yaqin pada sore hari ini. Satu-dua siswa langsung melebarkan mata yang sedari tadi tertunduk menahan kantuk. Seketika, helaan napas lega terdengar di sana-sini. Kembali ke kobong! Saatnya waktu bersantai sebelum salat magrib dan menyetorkan hafalan. Kesempatan emas untuk rebahan!
Di saat yang lain semangat sekali berbondong-bondong keluar masjid, Hilwa bergeming dalam diam. Ia harus menuntaskan segalanya sekarang juga. Hilwa menarik napas panjang berulang-ulang, berusaha meyakinkan diri bahwa keputusannya kali ini adalah yang terbaik. Hilwa tak sempat lagi untuk mengkhawatirkan risiko yang akan diterimanya sehabis ini. Hilwa hanya ingin mengatakan segalanya.
Benar saja. Sebagaimana dugaan Hilwa, Zafira masih berdiam diri, duduk di posisinya sembari melangitkan zikir, tak peduli walau kawasan masjid mulai kosong, seperti biasa. Ini kesempatan yang tak akan datang dua kali. Kalau tidak sekarang, mungkin Hilwa benar-benar akan kehilangan dirinya sendiri.
Setelah bingkai pintu masjid memuntahkan seluruh anak mes Ruwada, yang tersisa di dalam masjid hanyalah Hilwa dan Zafira. Nazifa bahkan pamit undur diri lebih awal dari kakak kembarnya. Dari yang Hilwa dengar sayup-sayup, sih, Nazifa mau membeli sesuatu dengan perwakilan kelompok lain di kelasnya untuk persiapan praktikum kimia. In syaa Allah kembali ke mes sebelum setoran hafalan, katanya.
Kalau tidak salah, praktikum yang Zifa maksud pastilah untuk pembuatan eco-print dengan metode pewarnaan dari bahan alami yang dicelupkan pada larutan asam atau basa. Praktiknya masih esok hari, padahal. Kelompok Zafira dan Nazifa pasti tidak ingin kerepotan ketika waktu pelasanaannya.
Dari balik salah satu tiang dekat kipas angin, Hilwa terus mengamati sosok Zafi tanpa suara. Hilwa tidak mau mendistraksi interaksi Zafi dengan Ilahi. Hilwa benar-benar menunggui Zafira hingga anak perempuan itu merapikan kerudungnya, lantas bangkit berdiri untuk kembali ke kobong. Di saat itulah Hilwa menghadang jalan Zafi dan lekas angkat suara.
"Uhm, Zaf! Boleh bicara dulu? Aku ...." Hilwa membasahi bibir bawahnya, berusaha mengusir gugup ketika Zafira membalas tatapannya dengan tajam. Hilwa mengepalkan tangan erat-erat. "Aku masih berutang penjelasan ke anak AKSI. Tapi sebelum itu ... biar aku terus terang ke kamu dulu, ya?"
Sorot penat sekaligus sarat rasa kecewa itu masih terpampang begitu jelas di manik hitam legam Zafira. Meski begitu, Zafira tak berniat untuk lari atau menghindar. Kalaupun yang dibicarakan Hilwa adalah omong kosong ke sekian kalinya, Zafira tak lagi peduli. Zafira hanya mau mendengarkan Hilwa sebagai sesama saudara di bawah naungan Islam, tidak sebagai teman yang telah Hilwa khianati.
Tak mendapati tanggapan sama sekali dari lawan bicaranya, Hilwa pun menganggap bahwa Zafira tidak keberatan membuang waktu untuk anak yang telah membuatnya kecewa. Lekas saja Hilwa melanjutkan kalimatnya, "Aku enggak akan mengelak kalau aku memang terlibat dalam kasus korupsi Pak Adnan secara tidak langsung. Aku enggak akan ngasih pembelaan diri, karena aku juga tahu kalau jalanku sudah salah arah sejak awal. Kamu juga enggak akan percaya lagi sama aku, aku tahu. Aku udah menghancurkan segalanya."
Meski respeknya sudah menguap pada sosok di hadapannya saat ini, Zafira berusaha untuk mendengar penjelasan Hilwa dengan kepala sedingin mungkin. Anggaplah bahwa dirimu di posisi netral, Zafi. Jangan bertindak seenaknya. Kamu hanya perlu mendengarkan apa yang mau dikatakan Hilwa. Cukup. Tidak lebih dari itu. Hanya menghargai. Sisa-sisa rasionalitas Zafi sukses menahan emosinya yang mudah tersulut jika mengungkit kasus ini.
"Aku enggak bermaksud playing victim, berlagak seolah akulah korbannya di sini. Enggak. Aku tahu semua ini kesalahanku sendiri. Tapi ada hal yang pengin aku bilang ke kamu, Zaf. Aku ... aku enggak tahu lagi harus ngomong ke siapa. Semua udah terlambat, enggak akan ada yang percaya aku, dan aku pun terlalu takut buat bilang dari awal." Hilwa menelan ludahnya susah payah. "Soal aku dan Haitsam ... aku enggak pernah mau pacaran, Zaf. Aku tahu pacaran itu haram. Aku juga udah janji ke orang tuaku buat enggak pernah pacaran, terutama di luar pengawasan beliau-beliau kayak di pesantren gini ... tapi dia menggunakan aku."
Kalimat terakhir lawan bicaranya membuat Zafira seketika tertarik. Menggunakan Hilwa? Tatapan manik hitam legam itu tak setajam sebelumnya. Meski raut wajahnya masih dingin seperti biasa, Zafira berusaha mendengarkan perkataan Hilwa dengan baik, tak lagi teringat akan betapa besarnya kekecewaan yang ia goreskan selama perjalanan ini.
Entah untuk ke berapa kalinya pada hari Selasa ini, Hilwa kembali menghela napas panjang, berusaha memberi pasokan ketenangan pada setiap penjuru paru-parunya. Jangan sampai rasa sesak ini malah menyumbat lontaran kenyataan yang hendak ia sampaikan pada Zafira. "Aku enggak mau kayak gini, Zaf. Jalanku salah banget. Aku tersesat. Aku pengen pulang. Dan aku enggak punya solusi lain yang lebih baik selain minta maaf ke kamu ... anak AKSI lainnya juga."
Sudut hati Zafira tersentil ketika mendengar nada penyesalan yang begitu pekat dalam suara Hilwa. Merinding. Zafira merasakan energi tak kasat mata dari setiap kata yang keluar dari bibir tipis Hilwa. Ada sesuatu yang salah di sini. Sebentar ... apakah Hilwa sedang berbicara sejujurnya?
"Aku udah menyepakati jalan salah ini dengan Haitsam dan Pak Adnan sejak dulu, bertingkah sok tidak tahu apa-apa ketika diangkat jadi Bendahara II, sibuk berpikir keras untuk memecahkan kejahatanku sendiri, membohongi kalian semua ...." Mati-matian, Hilwa menahan air mata yang hendak pecah dan tumpah jadi tangisan. Kedua tangan Hilwa memilin roknya sendiri, melampiaskan segalanya di sana. "Tapi sejak tergabung dengan AKSI, lalu mendengar kamu mempercayai semua anak Rohis kelas sebelas selain Haitsam, aku mulai takut, khawatir ... rasanya pengin kembali dan mengulang segalanya dari awal."
Tidak bisa. Hilwa tak bisa membendung lagi tangisannya. Pertahanan itu hancur lebur seketika, membuat buntalan pipi Hilwa begitu deras oleh jejak air mata. Kini, Hilwa tak peduli walau tangisannya membuat kalimat Hilwa tidak tersampaikan dengan jelas. Ia ingin mengatakan segalanya. Ia ... hanya ingin terbebas dari segala belenggu ini.
"Aku kepikiran, Zafi ... kamu adalah satu-satunya orang yang mau ngasih aku kepercayaan seutuhnya. Padahal sejak awal, kamu udah curiga ke aku karena mergok pertemuan aku sama Pak Adnan pas malam-malam ... tapi kamu malah memutuskan buat percaya, sampai minta maaf ke aku waktu itu." Hilwa sesenggukan. Tangannya terus mengusir cairan bening yang tak bisa berhenti meluncur. "Dan aku malah egois. Aku mengkhianati kepercayaanmu, hanya untuk kepentingan pribadiku. Di saat aku pengin berhenti, privasi itu udah telanjur didobrak Haitsam. Grup AKSI jadi ketahuan."
Kenyataan yang dilontarkan Hilwa membuat Zafira kembali mengingat rasa sakitnya ketika mengetahui bahwa Hilwa memanglah impostor yang berkeliaran di antara mereka. Dalam kisah mana pun, pengkhianatan memang tak pernah lekang meninggalkan luka yang dalam. Manik hitam legam Zafi mulai diselimuti selaput bening yang siap tumpah ketika ia berkedip. Rasa sesak itu seolah turut menggelayuti pundak Zafi, membuat bahunya ikut naik-turun tak beraturan.
"Itu keterlaluan banget, Zafi. Aku enggak akan heran kalau semua anak Rohis jadi memusuhiku. Sampai kapan pun, kalian mungkin enggak akan pernah menerima aku." Hilwa menatap Zafira lekat-lekat. "Tapi aku benar-benar menyesal, Zafi! Tindakan sebesar apa pun mungkin enggak akan cukup buat menebus kesalahanku. Tapi aku pengin berusaha ... aku pengin ikut berperan di medan perang ini. Sebagai permintaan maafku, aku mau ngasih tahu sesuatu, Zaf ...."
Kehidupan Zafira serasa terjeda, layaknya ada tangan jahil yang menekan tombol pause seenaknya. Jantung Zafi mendadak lupa caranya untuk berdetak. Itu semua karena mendengar kalimat yang Hilwa katakan selanjutnya.
"Kamu ingat alasan di balik penuduhan Haula, waktu aku WhatsApp kamu?" Dengan tampang yang sangat serius, Hilwa meredam tangisnya.
Zafira terdiam seraya membaitkan pikiran. Waktu Hilwa—yang ternyata sedang dibajak oleh Haitsam—menuduh Haula di chat WhatsApp ... dikatakan bahwa Haula menjadi afiliasi Pak Adnan demi keuntungan nilai. Apakah mungkin ....
Belum sempat Zafira bertanya untuk memastikan, Hilwa sudah lebih dulu mengangguk dengan mantap. "Sebenarnya, itu Haitsam yang sedang mengekspos dirinya sendiri."
[ma.ni.pu.la.si]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top