ma.ni.pu.la.si: 22
⭐Now playing: Save Me from Myself - Harris J (sangat direkomendasikan)⭐
Hilwa mengetahui segalanya.
Sejujurnya, Hilwa tak kaget lagi ketika Zafira mengumumkan soal Haitsam yang merupakan afiliasi dari tindak korupsi Pak Adnan di grup Aliansi Bisu. Hilwa tahu itu dari dulu, jauh sebelum Zafira menyingkap kedok Haitsam yang sebenarnya. Bedanya, Hilwa tak bisa melakukan apa pun selain diam dan membisu, tidak seperti Zafi yang langsung bertindak hingga mengumpulkan pasukan dari seluruh anak Rohis kelas sebelas.
Sejak tadi sore, sehabis pengajian asar di masjid, ponsel Hilwa memang sempat dipinjam Haitsam. Setelah menyembunyikan grup AKSI dengan sedemikian rupa, Hilwa pasrah saja menyerahkan ponselnya. Bukan apa-apa. Hilwa sudah terbiasa dipinjam begitu oleh Haitsam. Entah untuk mengirimkan foto keduanya, atau sekadar membagikan jawaban dari tugas sekolah.
Kalau Hilwa tiba-tiba saja menolak dan memberontak, tentu itu akan membuat Haitsam jauh lebih curiga. Itu bisa meningkatkan kewaspadaan Haitsam, dan bukan tidak mungkin jika lelaki itu berhasil menemukan eksistensi aliansi yang tengah bersekutu untuk melawannya. Hilwa merutuk dalam hati. Andai saja ... andai dirinya bisa mengelabui Haitsam dan menciptakan alibi yang jauh lebih lihai untuk menghindar ....
Semua perandaian itu menghilang, dibawa pergi angin malam yang menelisik rimbun dedaunan, juga membuat rambut halus Haitsam menari-menari bagai partitur musik yang indah. Hilwa mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Tidak. Ia tidak boleh goyah. Ia harus tegas dan melangkah mantap di atas kisah hidupnya. Tidak boleh ada lagi tanah yang terbelenggu ....
"Apa yang sudah kamu lakukan lewat ponselku?"
Tolehan kepala yang disiram cahaya rembulan itu malah menampilkan senyuman manis. Haitsam berbalik badan untuk menghadap Hilwa sepenuhnya. Perlahan-lahan, langkah kakinya mendekat ke arah Hilwa. "Apa? Kenapa, Sayang? Ada masalah apa?"
"Tolong jawab pertanyaanku dengan benar!" jerit Hilwa dengan sisa-sisa tenaga dan keberaniannya, histeris. Dengan teriakan tersebut, Hilwa berharap ada seseorang yang bisa mengetahui keberadaannya kalau-kalau situasinya jadi memburuk. Terintimidasi oleh langkah Haitsam yang terus mendekat, Hilwa pun mundur dengan kaki gemetar.
"Ssshh!" desis Haitsam seraya meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya yang masih melengkungkan senyuman tak berdosa. Anak laki-laki itu terus mendekat. Memandangi wajah kalut Hilwa memberikan hiburan tersendiri baginya, membuat Haitsam tak mampu lagi menahan tawa setan dari mulutnya. "Ya ampun, Hil ... kamu ada masalah apa, sih? Aku, kan, pacar kamu ... bilang, dong! Terbuka aja. Subjek Bayangan di mata Pak Adnan enggak akan kehilangan kualitasnya."
Hilwa menggeleng kuat. Rasa sesak itu lagi-lagi menyeruak. Akan tetapi, tidak ada yang bisa dilakukannya di hadapan Haitsam. Menangis? Memohon? Semua itu hanya membuat Haitsam semena-mena menginjaknya, dari dulu. Tidak ... Hilwa harus bisa membela dirinya sendiri, kali ini! Hilwa ... Hilwa tak boleh terus-terusan begini. "Tsam, aku enggak mau meneruskan semua ini. Aku lebih milih berhenti dari Pak Adnan. Aku ... aku enggak mau lagi! Jadi tolong, lepasin aku."
Kini, gantian Haitsam yang menggelengkan kepala dengan ringisan penuh prihatin. "Aaah ... kenapa kamu sedih gini, sih, Hil? Hidup kamu lebih terjamin selama ada di sisiku. Apa lagi yang kamu harapkan? Tempatmu cuma di sini. Di sini. Sama aku." Penegasan Haitsam malah membuat Hilwa tambah gentar, dan memang itulah tujuannya. "Jangan nangis, Hil. Jangan. Kan ada aku ...."
Sekujur tubuh Hilwa tak bisa lagi menahan tremor. Tetes cairan bening mulai meluncur dari pelupuk mata kirinya. Hilwa langsung menepis tangan Haitsam yang bergerak mengusap jejak air mata di pipinya. "Cukup, Haitsam. Udahan. Udah!"
"Heh, kamu ini emangnya siapa? Kamu enggak bisa apa-apa tanpa aku. Berontak dan meloloskan diri dari aku cuma kesia-siaan, tahu?" Haitsam mencengkeram bahu Hilwa dengan kuat, hingga anak perempuan itu tak bisa menghindar walau sudah mengerahkan seluruh tenaganya agar tangan Haitsam terlepas. "Kamu juga biasanya patuh, 'kan? Kenapa? Apa Bendahara sama aliansi basi itu udah mempengaruhi akal sehatmu?"
Ya Allah ... sungguh, Hilwa tak pernah mengira bahwa keputusannya kala itu malah membuatnya terjebak dalam situasi ini. Kenapa dulu ia sangat berambisi dan merasa bahwa segalanya akan berjalan baik-baik saja, sampai berbohong pada kedua orang tuanya di rumah? Hilwa tak pernah mengira bahwa posisinya akan sepelik ini. Hilwa ....
"Jawab aku, Hilwa! Apa yang udah mereka lakuin ke kamu?"
Manipulatif. Lelaki di hadapannya ini memang sangat manipulatif. Tangan dingin Hilwa menggenggam lengan Haitsam, berusaha menyingkirkannya dari pundak. Akan tetapi, jelas saja Hilwa kalah tenaga, belum lagi keadaannya yang memang sangatlah rapuh dibandingkan lengan kekar Haitsam. "Tolong berhenti, Haitsam. Jangan macam-macam."
"Sejak kapan 'jangan'-nya kamu bisa jadi larangan buat aku? Aku ...." Haitsam mendekatkan bibirnya ke arah Hilwa, lantas berbisik tepat di daun telinga anak perempuan itu yang terbalut jilbab. "Aku bebas melakukan apa pun. Apa pun! Bahkan mungkin lebih buruk dari bayanganmu."
Embusan napas Haitsam di telinganya membuat Hilwa hendak mati saja rasanya. Apa-apaan tindakannya itu? Ini keterlaluan! Hidung mancung Haitsam menyapa pipinya, membuat Hilwa ketakutan setengah mati. Embusan hangat itu kembali menerpa di antara semilir angin malam. Kalau Hilwa tak juga mampu untuk meloloskan diri, bukan tidak mungkin jika Haitsam nekat melakukan sesuatu yang ....
"Haitsam Ibrahim!"
Pergerakan itu terhenti seketika. Hilwa langsung menundukkan pandangan ketika matanya bertabrakan dengan manik hitam legam Haitsam yang menyorot begitu tajam ke arahnya, dalam jarak yang sangat dekat. Demi menyadari seruan yang datang itu terus mendekat ke arahnya, refleks saja Haitsam menarik pergelangan tangan Hilwa ke dekat pohon kersen, menjaganya agar tetap berada di genggaman.
Di hadapannya, tampaklah Zafira dan Nazifa yang kesulitan mengatur napas karena terburu-buru mencari sosok Hilwa sedari tadi, dan malah menemukan sesuatu yang tak pernah mereka kira, bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun.
Pelik. Situasi Hilwa benar-benar pelik. Entah bagaimana Hilwa harus menanggapi semua ini. Bersujud syukur karena Zafira dan Nazifa menemukannya lebih dulu sebelum Haitsam berbuat macam-macam, atau kembali panik karena kembar Humaira telah mengetahui rahasianya bersama Haitsam. Manik hazel Hilwa terus memandangi Zafira dan Nazifa lekat-lekat, bergantian, berharap keduanya bisa menyelamatkan Hilwa dari segala kesalahan ini.
Akan tetapi, harapan Hilwa terpaksa lebur ketika mendengar Zafira angkat suara. "Pantas saja Pak Adnan selalu lolos, ada informasi yang bocor rupanya. Bahkan setelah aku kasih kepercayaan penuhku."
Haitsam tergelak puas. Anak laki-laki itu senang sekali mendapati sorot mata tajam Zafira yang dihunuskan ke arahnya. "Sebenarnya, aku pengin ngasih tahu kalau cewek ini emang impostor sejak awal. Tapi aku pikir, jauh lebih asyik kalau dia nuduh orang lain, 'kan? Bikin perpecahan dulu dari dalam, dan aku masih bisa memeras informasi darinya." Haitsam tampak bangga sekali mengakui segala niat buruknya. Detik berikutnya, senyuman iblis memudar dari sudut bibirnya. "Cih. Aku enggak expect bakal ketahuan secepat ini, sih."
"Jangan meremehkan kami. Dengan pengkhianat sekalipun, kami masih bisa mengakhiri segalanya," sambar Zafira yang sudah tak tahan lagi. Bara emosi tampak menggelegak sekali dari manik hitam legamnya. Berbeda dengan Nazifa yang jauh lebih memilih untuk memperhatikan Hilwa dibandingkan berhadapan dengan Haitsam.
"Oh, ya ... pengkhianat. Pengkhianat ini pacarku." Seolah sengaja sekali memancing amarah Zafira agar jauh lebih berkobar, Haitsam kembali memasang senyuman lebar, merasa menang. "Ayo, Sayang. Akui kalau aku memang pacarmu."
Tidak ... hentikan semua ini. Hilwa menggeleng kuat-kuat, berusaha meyakinkan Zafira dan Nazifa bahwa segala bualan Haitsam juga yang mereka lihat tidaklah sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Demi mendapati pemberontakan itu, Haitsam langsung mengencangkan cengkeramannya di pergelangan tangan Hilwa. Anak perempuan itu tak mampu lagi menahan tangis. "Sakit ...."
Nazifa tak tahan. Dirinya ingin sekali membela Hilwa. Akan tetapi, kakak kembarnya yang berhati keras itu tidak akan bersimpati sampai sejauh itu. Dan Hilwa sendiri pun dapat memahaminya dengan baik.
Iya. Sampai kapan pun, tidak akan pernah ada yang benar-benar berada di sisi Hilwa. Ia tidak pernah diterima di mana pun. Entah itu terang maupun gelap, eksistensi Hilwa tidak akan pernah ada di sana. Hilwa bagai orang asing yang tak pernah memiliki rumah untuk pulang.
Kekecewaan Zafira? Tak heran lagi. Mau sekeras apa pun Hilwa berusaha mengelak, kenyataannya Hilwa memang telah menenggelamkan dirinya dalam kolam benaman kelam yang begitu pekat. Tidak ada jalan kembali. Hilwa tak mau menenggelamkan diri hingga hitam sepenuhnya, tetapi kembali ke sisi terang juga tidak akan pernah membuatnya benar-benar utuh lagi. Hilwa telanjur memilih jalan yang salah, kebaikan mungkin telah memblokir jalannya untuk Hilwa.
Akan tetapi ... Hilwa juga tak mau meneruskan langkahnya yang salah. Mau sampai kapan? Hilwa tak mau ....
Bahu Hilwa naik-turun menahan rasa sesak. Meski begitu, kekecewaan yang teramat jelas terpatri di manik hitam legam Zafira membuat Hilwa terkulai lemas. Kepalanya tertunduk dalam.
Iya. Sejak memutuskan untuk tersesat di jalan itu, tak ada lagi jalan Hilwa untuk kembali ....
[ma.ni.pu.la.si]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top