ma.ni.pu.la.si: 20
⭐Now playing: Hadapilah - Shoutul Harokah (sangat direkomendasikan)⭐
Hari berlalu begitu cepat. Akan tetapi, kemampuan daya tahan tubuh Zafira bekerja lebih cepat lagi. Tubuhnya berhasil melawan berbagai virus dan bakteri yang hendak menyusup di antara celah imun yang sempat melemah. Syukurlah istirahat penuh dari pagi sampai siang sukses membuat kondisi Zafira kembali membaik. Tak heran, sehabis asar ini, Zafira sudah disiplin dengan kerudung panjang dan kitab di dekapan.
Rosi dan Yasna yang baru sampai ke kobong karena membeli makanan di gerbang depan lebih dahulu setelah bel pulang, kini menatap Zafi dengan penuh tanda tanya. Rosi berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Heran, deh. Kamu pakai penangkal apa, Zaf? Kok ampuh banget ... belum sehari, lho! Orang maa syaa Allah mah emang enggak pernah sakit, ya."
Pernyataan Rosi hanya ditanggapi Zafira dengan dehaman singkat. Suara tegas nan mantap itu kembali terdengar di langit-langit Kobong Madinah. "Cepat, mandi! Jangan jajan-jajan dulu tadi tuh, harusnya. Waktu pagi aja enggak aku ingatin, tapi bisa gerak cepat buat siap-siap ke sekolah, deh. Kenapa sekarang jadi malas-malasan lagi?"
Nazifa yang menyadari kenyataan itu hanya terkikik geli sembari mempersiapkan alat mandi. Iya! Rosi dan Yasna memang jauh lebih jinak ketika Zafira tidak mengiringi langkah mereka. Sudah seperti anak nakal yang seketika menjelma jadi anak baik karena tidak ada sang ibu di sisinya. Meski begitu, Rosi mendengkus tak terima. "Whoo! Zafi enggak seru!"
Ruangan berisi dua kasur tingkat dan empat lemari itu kembali diriuhi oleh seruan-seruan Rosi dan Yasna yang tak terima diomeli Zafira. Akan tetapi, siapa pun akan tahu, bahwa inilah yang mereka inginkan. Sehari tanpa omelan Zafi memanglah hampa! Walau diteriaki terus-menerus, kedua anak perempuan itu tampak senang sekali. Zafira-nya Kobong Madinah sudah kembali!
Masjid Ruwada dipenuhi anak mes yang mengaji kitab. Kepala-kepala tertunduk untuk melogat. Satu-dua berbisik ria, membicarakan cutinya Ustazah Qonita sehingga setoran minggu ini diambil alih Ustazah Tia. Sementara itu, seorang anak perempuan dengan mukena sewarna cokelat susu itu malah melamun panjang.
Kumat lagi. Berkali-kali Nazifa menyenggol pinggang saudara kembarnya itu untuk kembali fokus pada penjelasan Ustaz Zaki. Ustaz paling strict di Ruwada, lho! Bisa habis kalau Zafira sampai ketahuan nge-bug seperti biasa.
Zafira menggeleng-gelengkan kepala. Telinganya menyimak dengan saksama, tetapi benaknya melayang jauh. Zafira mengedarkan pandangan ke sekeliling masjid. Manik cokelat terang itu menelusuri rak dan etalase yang teronggok di pojokan, juga lembar-lembar kaligrafi karya tangan anak Ruwada beserta poster-poster keagamaan yang menggantung di dinding masjid.
Fasilitas masjid ... ya Allah. Karena teralihkan oleh catatan rahasia di Buku Bendahara Rohis Ruwada Masa Jihad 2015-2016, Zafi sampai melupakan tujuannya untuk mengutamakan perlengkapan rumah Allah ini.
"Aku tanya. Uang infak tiap Jumat dikemanain, sih?"
Pertanyaan sarkas Daffa berminggu-minggu lalu, sejak angkatan Zafi belum merajai takhta puncak pemerintahan, mendadak saja berkelebat dalam pikiran Zafira. Meski mendapat begitu banyak kalimat ketidakpercayaan dari sana-sini, program Infak Jumat itu tetap dijalankan hingga saat ini. Muara dari uang infak, ya ....
Sayangnya, dengan jabatannya sekalipun, Zafira belum cukup mengetahui segalanya. Zafira hanya meyakini bahwa memang ada sesuatu yang salah dalam penyaluran dana infak. Anak perempuan itu menunduk dalam, mengikuti arab gundul di kitabnya yang sedang dibacakan Ustaz Zaki. Sebersit rasa bersalah merebak begitu saja di penjuru hatinya. Rasanya ... Zafira lalai sekali dengan tanggung jawab yang ia emban.
Tangan yang menggenggam pulpen itu terkepal kuat. Waktu akan berlalu tanpa terasa. Mau tidak mau, sekeras apa pun Zafi menampik, masa jabatannya akan menemui kata habis. Zafira tidak akan selamanya menanggung amanah ini. Ia harus memanfaatkan waktunya sebaik mungkin.
Baiklah. Jika berkonsultasi dengan Pak Adnan hanya membuat segalanya tambah runyam dan Zafi jadi malas duluan, biar Zafira yang ambil tindakan sekarang juga. Di antara kitab yang dibawa, Zafira meraih sebuah buku kecil yang selalu menemaninya sejak kelas sepuluh. Tangannya menari-nari untuk menggoreskan tinta di atas permukaan kertas.
Persis ketika Ustaz Zaki sedang memimpin doa untuk mengakhiri pengajian sore ini, Nazifa pun menyadari aksi saudara kembarnya, lantas mencondongkan badan, penasaran.
Sebelum Zifa sempat bertanya, Zafira sudah lebih dulu angkat suara. "Besok, kita belanja perlengkapan masjid. Keset baru, karpet baru, pengharum lantai, semprotan kaca, sikat baru, persediaan sabun buat membersihkan tempat wudu, juga pel yang lebih baik. Kalau bisa, aku mau beli cat buat masjid dan ruangan. Ada tambahan? Harus udah beli pas tandzhif akbar. Setidaknya biar penyaluran uang infak ini ada yang dapat dirasakan oleh siswa. Mungkin aku akan menyelipkan sebagian uang infak sebelum menyetorkannya pada Pak Adnan."
Gila. Nazifa terpana dengan list belanja yang Zafira tulis di buku kecilnya. Zafira ... anak itu benar-benar berniat untuk menyudahi segalanya, ya?
[ma.ni.pu.la.si]
Pengajian sore dilanjut dengan setoran hafalan di gazebo, hanya terpotong oleh agenda bersantai juga salat magrib. Setelah salat isya, seluruh anak mes Ruwada sudah kembali ke kawasan pesantren. Sebagian masih mengobrol ringan di Kantin Om Juy. Sebagian lainnya memilih untuk merebahkan badan di atas kasur, bersiap tidur dan mendengkur, atau sekadar memainkan ponsel sebelum diserahkan pada Ukhti.
Sementara itu, Zafi, Zifa, dan Hilwa, pulang paling belakang. Ketiganya berjalan dengan santai. Di tengah keramaian sekitar, Zafira teringat sesuatu. Program kerja besar-besaran yang mulai dekat ... perayaan hari besar Islam! Isra Mikraj. Kegiatan yang biasanya diramaikan dengan mengundang pembicara ternama untuk mengisi tablig akbar. Biasanya diadakan MABIT juga, malam bina iman dan taqwa.
"Selama aku enggak sekolah tadi, ada perkembangan terbaru buat tablig akbar ... Isra Mikraj?"
Pertanyaan dadakan dari Zafira sukses membuat Hilwa dan Zifa sedikit tersentak. Tidak ada satu pun yang berani bersuara. Keduanya sama-sama resah dan gelisah.
Tak kunjung mendapatkan jawaban yang diinginkannya, Zafira pun terus mengejar, "Dananya gimana? Udah diajukan ke sekolah?"
Dengan ragu, Hilwa menjawab patah-patah, "Sebenarnya ... udah cair, Zaf."
Kepala Zafi tertoleh sempurna pada rekan bendaharanya yang menghentikan langkah di samping kanan Zafi. Anak perempuan itu sedikit membulatkan mata, cukup kaget mendengarnya. "Wow ... padahal kegiatannya masih dua bulan lagi. Tumben sekali. Kok bisa? Gercep banget. Sekarang uangnya ada di kamu, Hil?"
Antusiasme Zafira membuat Hilwa dan Zifa jadi tambah mati kutu. Keduanya berkali-kali menjilati atau menggigiti bibir sendiri, gugup total. Hilwa berdeham singkat. "Enggak di aku, Zaf ...."
Mulai menyadari ada suatu kejanggalan pada respons kedua orang di samping kanan dan kirinya, Zafira pun berfirasat adanya sesuatu yang terjadi. Ada sesuatu yang salah. Padahal Zafira hanya berdiam diri di kobong selama sembilan jam. Kejutan apa lagi yang semesta hadirkan untuknya? Tak tahan dengan senyap yang malah tercipta, Zafira pun menatap Hilwa dan Zifa bergantian. "Terus uangnya di siapa?"
"Pak Adnan ...."
"Hah?" Zafira melotot. Kedua alisnya mengerut tak mengerti. "Kok bisa? Tiba-tiba ... ?"
Nazifa menggelengkan kepala. "Sebelumnya, Pak Adnan emang minta aku mempercepat pengerjaan proposal buat Isra Mikraj, biar enggak terlalu mendadak katanya, biar persiapan lebih matang. Aku juga kaget. Tahu-tahu Miss Ayi bilang kalau dana itu udah dicairkan dan ada di tangan Pak Adnan ...." Zifa menggenggam pergelangan tangan kakak kembarnya, berusaha menahan Zafira untuk tidak protes lebih dulu. "Maaf, Zafi ... aku enggak tahu harus apa."
"Tapi kenapa?" Zafira membalas tatapan memelas Nazifa dengan intimidasi yang cukup kuat. Napas Zafi memburu, sarat akan emosi yang meledak di dalam sana. "Kenapa kamu enggak bilang ke aku dari awal, Zifa?"
Merasa bersalah pada Nazifa yang seakan dipojokkan Zafi seorang diri, merasa turut bertanggung jawab, Hilwa pun menggenggam bahu Zafira, berusaha menenangkannya. "Zafi, tenang dulu ...."
"Kita perlu dana itu dari sekarang buat mengundang pengisi tablig akbar, dekorasi panggung, dan peralatan lainnya! Kenapa kamu diam aja? Kenapa?"
"Aku enggak mau tambah membebani kamu, Zafi!" Dengan kedua sudut bibir yang sempurna menekuk ke bawah, Nazifa menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tahu kamu kelelahan belakangan ini. Kamu bahkan sering banget bersin setelah membersihkan ruangan rahasia yang kita jadikan ruangan Rohis. Kamu juga drop tadi pagi, 'kan? Aku enggak mau kondisi Zafi memburuk karena terlalu memikirkan Rohis, AKSI, korupsi dan Pak Adnan!"
Penjelasan Nazifa dilahap senyap. Cengkeraman di tangan Zafira melemah. Dengan mudah, Zafi meloloskan diri dari genggaman adik kembarnya, berhenti melotot, menarik napas panjang, menenangkan diri, lantas menatap lurus-lurus lapangan Ruwada di malam hari.
Perlahan, emosi anak perempuan itu kembali terkendali. "Biar aku tanyakan langsung ke Pak Adnan, besok."
[ma.ni.pu.la.si]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top