ma.ni.pu.la.si: 19
⭐Now playing: Teman Sejati - Vocafarabi Acapella⭐
Adnan: Si Subjek Bayangan aman.
Haitsam: Oke, Pak. Anak-anak juga aman. Habis pertunjukan kemarin, enggak akan ada yang berani lagi buat speak up.
Adnan: Bagus ... meskipun tindakan kamu itu terlalu gegabah, sih. Pantau terus, jangan sampai mereka, terutama bendahara itu, berbuat sesuatu di luar pengamatanmu.
Bendahara? Baru beberapa detik membaca salinan chat tersebut, Zafi langsung mengernyitkan kening tak mengerti. Kenapa tiba-tiba menyebut jabatannya? Jika memperhatikan konteks chat tersebut ... apakah Zafira dianggap sebagai ancaman? Perlu dilakukan pengawasan ketat agar tidak berbuat macam-macam?
Lantas ... pertunjukan. Pertunjukan kemarin yang bisa menyumpal mulut anak-anak Rohis untuk tidak bersuara ... apakah itu merujuk pada kejadian Ustazah Qonita yang sukses membuat Zafi-Zifa terpukul dan memilih untuk pura-pura tak mengetahui apa-apa?
Selebihnya, tidak ada yang menyebut sesuatu seperti uang infak, maupun perbincangan korupsi lainnya. Menyadari Zafira yang tampak belum puas begitu selesai membaca salinan chat-nya, lekas-lekas Alzam menambahkan, "Aku juga mau melacak chat-nya Haitsam buat menjaring impostor, tapi banyak yang udah pada dihapus, perlu waktu buat memulihkannya kembali."
Di saat Alzam masih asyik menjelaskan ini-itu, Zafira mengambil alih laptopnya. Seruan keberatan terdengar. Akan tetapi, Zafira tidak menanggapinya sama sekali. Ia lebih tertarik pada hal lain ....
Si Subjek Bayangan. Zafira mengarahkan kursornya untuk melingkari tiga kata tersebut. Ada beberapa kali disebutkan dalam chat mencurigakan Pak Adnan dengan Haitsam. Sebenarnya, apa atau siapa itu Subjek Bayangan? Zafira berpikir dalam diam. Tak juga menemukan jawaban pastinya, Zafi pun angkat suara. "Menurut kalian, Si Subjek Bayangan ini punya peran macam apa dalam kasus korupsi dana infak?"
Senyap sejenak. Rosi bergumam tidak jelas. "Bayangan, ya ... dari kata-katanya, sih, bayangan itu kayak ... naungan? Misterius?"
"Pion tak terlihat," kata Fatih tiba-tiba. Anak laki-laki itu berdeham singkat. Matanya kembali menyisir isi salinan chat yang dikirim Alzam untuk memastikan adanya makna lain dan menyelaraskan konteks yang ada di pikirannya. "Subjek Bayangan ... kalau kata Rosi naungan, bisa dibilang kayak benteng pertahanan pelaku, enggak, sih? Semacam back-up tambahan biar dia merasa lebih aman dalam melakukan tindak korupsi."
Zafira mengangguk-angguk. "Cukup masuk akal. Aku berpikiran hal yang sama. Ada pendapat lain?"
Tak ada lagi yang menyahut. Mereka tidak memiliki ide yang lebih baik mengenai maksud di balik Si Subjek Bayangan yang kerap diperbincangkan Haitsam dengan Pak Adnan. Zafira menyerahkan kembali laptop Alzam. Anak perempuan itu memejamkan mata untuk sejenak, berusaha menetralisir rasa pusing yang mendera.
"Zaf, enggak apa-apa?" Nazifa yang pertama kali menyadari kondisi saudara kembarnya tersebut. Zafira menoleh seraya mengangkat alis yang mengerut dalam. Jelas sekali kalau Zafira memang sedang menahan rasa sakit. Nazifa mencengkeram bahu kakak kembarnya dengan erat. "Zafi pucat banget. Istirahat aja, yuk."
Zafira menggelengkan kepala, tak merasa perlu menanggapi Nazifa dengan lebih dari itu. Zafi malah membahas topik lain. "Berarti tugas Alzam menyadap chat WhatsApp Haitsam, sisanya tetap awasi pergerakan kedua tersangka dari jauh, dan laporkan kalau ada sesuatu yang dirasa janggal."
Anak-anak lain di ruangan sempit itu mengangguk paham. Sebuah tangan terangkat setinggi kepala. Maudy, anak perempuan yang sedari tadi hanya berdiam diri itu menginterupsi, "Kenapa kita enggak langsung lapor ke pihak sekolah? Beliau-beliau pasti bisa lebih leluasa dan memang berwenang mengentaskan kasus korupsi begini, 'kan? Apalagi di lingkup sekolah."
"Oh iya, benar. Lapor guru aja, gimana, Zaf? Biar lebih ditindaklanjuti?" timpal Hilwa.
"Itu tujuan kita dari awal, sebenarnya." Baru teringat sesuatu, Zafira mengurut pelipisnya sendiri yang terasa berdenyut nyeri. Ia lupa belum memberitahukan hal ini pada yang lainnya. "Tapi Ustazah Qonita jangan dulu diganggu. Dengar-dengar, beliau mengambil cuti karena orang tuanya sedang sakit. Kita kumpul bukti dulu. Ingat, tidak semua guru bisa kita anggap ada di pihak kita. Satu-satunya tenaga pendidik yang aku anggap bersih dari kemungkinan berafiliasi dengan Pak Adnan adalah Ustazah Qonita. Beliau yang jadi korban dari 'pertunjukan' yang mereka bilang."
Seruan-seruan heran mengudara. Demi menenangkan agen AKSI lainnya, Nazifa-lah yang akhirnya menceritakan seluruh kronologis kejadian Ustazah Qonita yang tak sadarkan diri, juga korelasinya dengan Haitsam yang telah terungkap sebagai afiliasi Pak Adnan. Di saat yang sama, di tengah pusing yang merajalela, Zafira masih saja berpikir keras.
Afiliasi, ya ... jika catatan rahasia yang Zafira temukan di dalam buku bendahara Rohis Ruwada pada tahun 2015 memang berkaitan dengan tindakan korupsi Pak Adnan, itu berarti eksistensi afiliasi ini sudah ada sedari dulu. Rasanya tidak mungkin jika Haitsam sudah menjadi sekongkolan Pak Adnan pada tahun tersebut. Karena itu, bukankah artinya afiliasi ini selalu beregenerasi? Turun-temurun, dan selalu ada seseorang yang melanjutkan posisi tersebut?
Polanya, polanya ... huft. Zafira menghela napas panjang. Pasti ada suatu pola yang menggariskan pergantian afiliasi di setiap tahunnya itu. Kalau afiliasi yang dimaksud penulis pada 2015 itu memanglah seorang siswa, maka jelas saja ia telah lulus dari Ruwada. Haitsam hanyalah penerus, itu yang Zafira yakini saat ini.
Ayolah! Kepala Zafira seakan hendak meledak untuk sejenak. Entah bagaimana alasan konkretnya, Zafi merasa bahwa semua ini tak sekadar tentang korupsi dana infak. Ada sesuatu yang lain. Suatu kejahatan di balik bayangan yang belum juga terkuak, tak kunjung terungkap oleh kehidupan. Zafira dan teman-teman Rohis-nya yang akan menyingkap tabir misterius itu di kemudian hari. Zafira telah bertekad.
Pertemuan rahasia Aliansi Anti-Korupsi berakhir sebelum azan asar berkumandang. Anak full-day school langsung pulang, sementara anak mes masih memiliki cukup waktu untuk mandi, membersihkan diri, dan sedikit bersantai sebelum kegiatan pengajian rutin dan setoran hafalan di gazebo.
Tidak ada hal menarik yang terjadi. Semuanya tak lebih dari rutinitas yang terus berulang-ulang. Hanya saja, cemas dan resah sedang asyik-asyiknya bermain di setiap penjuru hati anak perempuan yang tengah duduk di pojokan ruang kobongnya, belakangan ini. Tangannya menggenggam ponsel dengan sedikit bergetar. Jangan lupakan keringat dingin yang terus mengucur. Sebaiknya ia mengambil satu langkah lebih dulu sebelum benar-benar ditangkap basah.
Delete message?
Delete for everyone
[ma.ni.pu.la.si]
Sepanjang sejarah berdirinya Kobong Madinah yang diisi oleh empat anak perempuan itu, tidak ada satu hari pun yang berjalan sedamai Senin ini sebelumnya. Tidak ada teriakan-teriakan yang menyuruh penghuninya agar lekas ke kamar mandi dan bersiap ke sekolah. Tidak ada pula sabetan alat salat yang dilayangkan untuk membuat Rosi dan Yasna bergegas bangkit dari rebahan.
Itu semua karena ibu tiri Kobong Madinah jatuh sakit sejak selesai salat tahajud di pagi buta tadi. Setelah mendapat laporan dari Nazifa, Ukhti langsung memeriksa Zafira dan menyarankan anak perempuan itu untuk beristirahat seharian di dalam kobong. Jangan dulu sekolah.
"Kalau ada sesuatu, bilang aku." Begitulah kalimat Zafira sebelum adik kembarnya benar-benar meninggalkan kobong.
Nazifa tersenyum menenangkan. Zafira ... saudara kembarnya itu selalu saja memikirkan persoalan korupsi, seolah dirinya memang begitu bertanggung jawab untuk menuntaskan segalanya. Nazifa berdecak malas. "Istirahat, sih, istirahat aja! Lagi sakit juga. Segala dipikirin."
Meski mode garang Zafira sedang tak aktif, Rosi dan Yasna justru lebih jinak saat ini. Keduanya sudah kehilangan hasrat untuk bersantai dan memancing emosi Zafira seperti biasa. Tidak ada yang akan memarahi mereka hari ini, tetapi itu membuat segalanya jadi tak lagi menyenangkan. Dengan suasana yang cukup suram, Rosi, Yasna, dan Nazifa, sama-sama berangkat ke sekolah. Tas mereka disimpan di kelas, kemudian langsung turun kembali ke lapangan untuk mengikuti apel pagi.
Sebelum memasuki barisan kelasnya, Nazifa diajak bicara oleh Miss Ayi lebih dulu. Beliau menyatakan bahwa sekolah telah mencairkan dana untuk pelaksanaan peringatan Isra Mikraj di Ruwada. Nazifa antusias sekali mendengarnya. Sehabis ini tinggal mematangkan persiapan.
Akan tetapi, kalimat terakhir Miss Ayi membuat Nazifa sukses mematung di tempatnya.
"Seluruh dananya dipegang Pak Adnan, ya, selaku Pembina Rohis. Bendahara-nya bisa koordinasi langsung pada beliau."
Ya. Kabar buruknya, singa pemberani yang biasanya tiada takut mengaum kencang di hadapan musuhnya, kini tengah terpuruk tak berdaya di atas kasur.
[ma.ni.pu.la.si]
Pssst! Penting, penting!
Aku akhirnya berkesempatan ngambil foto ruangan rahasia di masjid yang dijadiin ruangan Rohis, lho! Ini dia!
Yes! Itu dia penampakannya, wkwkw. Aku akan tambahkan foto ini ke bab tiga, yaaa, ini mah buat yang udah bacanya sampai sini ajaaa, hihi. Enjoy!>.<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top