ma.ni.pu.la.si: 18
⭐Now playing: The One - Harris J⭐
Zafira tidak pernah bermain-main atas keputusannya.
Pukul setengah satu siang, sudah ada empat orang yang mengisi ruangan Rohis. Ini memang hari Sabtu. Sejak pagi, kegiatan siswa Ruwada hanyalah pramuka wajib dan ekstrakurikuler. Tak heran jika anak full-day school sudah pulang sehabis salat zuhur berjamaah di Masjid Ruwada. Begitu pula dengan golongan anak mes. Sebagian besarnya sudah merebahkan badan di kobong masing-masing.
Akan tetapi, tidak untuk seluruh agen Aliansi Anti-Korupsi. Tanpa perlu instruksi secara langsung, mereka sudah paham untuk bertahan dulu di kawasan sekolah, tanpa terlihat begitu mencolok. Alzam dan Rosi jajan dulu ke gerbang depan dan Kantin Om Juy, Haula kembali ke mes lebih dulu, Maudy masih di kelasnya, sementara Hilwa, Zafira, dan Nazifa ... ketiganya sudah stand by di ruangan.
Ketiga anak perempuan itu memang tergabung dalam ekstrakurikuler yang sama, ekskul tahfiz. Kebetulan, Ustaz Zaki sedang ada kepentingan di pesantren, sehingga Sabtu ini, mereka hanya mengikuti kegiatan pramuka wajib, lantas menyetorkan hafalan pada WhatsApp Ustaz Zaki, juga saling mengecek hafalan satu sama lain.
Karena itulah, waktu mereka jauh lebih leluasa dibandingkan teman lainnya. Zafira yang meminta kunci ke Fatih, lantas mengajak Hilwa dan Nazifa untuk ke ruangan lebih dahulu. Biar mereka salat zuhur berjamaah di sana, mumpung Haitsam belum ke masjid. Bisa repot kalau mereka berkumpul di ruangan Rohis yang tanpa persetujuan maupun sepengetahuan ketuanya, tetapi malah ketahuan begitu saja.
Yah ... penggunaan ruangan ini memang inisiatif Zafira, yang muncul ketika mendengar ide Alzam soal pemajangan dokumentasi setiap kegiatan Rohis di Ruang Organisasi. Akan tetapi, Ketua Rohis tetaplah Haitsam. Kunci utama dipegang Haitsam, meski duplikatnya ada di Fatih.
Bayangkan saja. Jika Haitsam memergoki mereka dan bertanya, 'sedang apa kalian di sini?', lawak sekali kalau Zafi hanya membalas, 'bukan urusanmu'. Padahal, yang berkumpul di sana adalah seluruh anggota Rohis kelas sebelas, kecuali Haitsam. Dan dirinya adalah Ketua Rohis yang seharusnya bertanggung jawab mengelola juga mengorganisir setiap kegiatan. Perkumpulan rahasia tanpa perizinannya? Bukankah itu genderang perang yang jelas sekali?
Salat zuhur di masjid telah selesai. Nyaris seluruh warga sekolah sudah kembali pada kesibukan masing-masing. Hanya satu-dua anak yang masih sibuk dengan zikir di dalam masjid, termasuk Haitsam dan Fatih. Jarum jam yang suara detiknya menyisir waktu kehidupan di dinding Masjid Ruwada hampir menunjukkan pukul satu siang.
Sekilas, Haitsam melirik Fatih yang sama-sama berada di saf terdepan dengan mata terpejam rapat dan lidah yang lirih membisikkan nama-Nya. Haitsam terdiam. Bukan apa-apa. Memang tidak ada aturan khusus mengenai jam pulang. Ruwada hanya mewajibkan setiap siswa salat zuhur terlebih dahulu sebelum pulang. Tidak ada yang salah dengan berlama-lama iktikaf dan PDKT dengan Allah di masjid.
Hanya saja ... biasanya, anak full-day school selalu ingin pulang lebih cepat, mengingat adanya perjalanan yang mesti ditempuh menuju rumah. Tidak seperti anak mes yang cukup menuruni anak tangga, melintasi lapangan, menuju kawasan pesantren, lantas tinggal berbelok ke kobong masing-masing. Kenapa Fatih belum juga pulang?
Haitsam lekas berdiri menghampiri Fatih yang tampak tak terusik sedikit pun. Pundak Fatih digenggam erat, membuat anak laki-laki itu akhirnya membuka mata untuk melihat Haitsam.
Zafira yang sudah bosan dan merasa pengap di dalam ruangan, niatnya mengintip keluar untuk mengecek situasi. Ruangan ini memang tertutup sekali, tidak cukup ventilasi. Akan tetapi, mendapati Haitsam yang masih di dalam masjid, lekas saja Zafira kembali masuk dan menutup rapat pintu ruangan tanpa suara. Napas Zafira sedikit tersengal. Manik cokelat terangnya menatap Hilwa dan Nazifa yang bertanya-tanya.
Telunjuk Zafira diletakkan di dekat bibir, mengisyaratkan kedua temannya untuk tidak menciptakan suara apa pun. Zafira berbisik sepelan mungkin, "Ada Haitsam. Ngobrol sama Fatih."
Serentak, Hilwa dan Nazifa menutup mulut. Bagaimana ini? Pembicaraan macam apa yang tengah berlangsung di antara mereka? Akankah itu menjurus pada Aliansi Bisu, grup WhatsApp yang isinya anak Rohis kelas sebelas? Bagaimana mungkin eksistensi gerakan perlawanan mereka dapat diketahui Haitsam secepat ini? Apakah memang ada impostor di antara anak kelas sebelas lainnya? Ada yang melaporkan pada Haitsam? Siapa?
Di saat ruangan sempit Rohis itu dipenuhi ketegangan, Fatih di dalam masjid juga merasakan hal serupa, meski lelaki itu jauh lebih pandai mengendalikan diri. Fatih mengerjap, lantas mendongakkan kepala untuk menatap Haitsam yang berdiri menunduk ke arahnya. "Kenapa?"
Kedua sudut bibir Haitsam tertarik ke atas, menciptakan senyuman yang tak pernah kehilangan kadar manisnya walau hanya satu kali. "Aku duluan, ya, Fatih."
"Oh ... ya. Silakan."
Perlahan-lahan, senyum Haitsam memudar, digantikan oleh seringaian sebal. Kenapa respons Fatih hanya begitu? Cih. Sulit sekali membaca pemikiran manusia di hadapannya ini. Tidak seperti Zafira yang bisa terdeteksi 'sesuatu'-nya karena mudah dipancing emosinya, ataupun Hilwa dan Nazifa yang cenderung naif.
Fatih tidak. Pembawaan anak laki-laki itu terlalu tenang, layaknya lautan dalam, tak terjangkau. Haitsam berdecak pelan. Ia tahu, walau disembunyikan sebaik apa pun, memang ada sesuatu yang berbeda dari Fatih. Apakah anak itu mengetahui sesuatu?
"Ada apa?"
Pertanyaan Fatih yang masih mendongak itu membuat Haitsam tersadar bahwa ia belum beranjak sedikit pun dari posisinya. Lekas-lekas Haitsam mengulas senyuman lebar. "Tidak ada. Kalau begitu ... assalamualaikum."
Di balik punggung kokoh Haitsam yang melangkah menjauhi, Fatih mengembuskan napas lega. "Waalaikumussalam."
Setelah figur Haitsam sempurna menghilang dari pandangan, buru-buru Fatih menyalakan ponsel dari saku seragamnya. Fatih membuka room chat grup Aliansi Bisu, lantas mengetikkan sesuatu di sana.
fatihdanindra: Kalian di mana? Masjid aman. Cek posisi target, Alzam, Rosi.
Setiap anggota grup tersebut online, menunggu instruksi lebih lanjut. Tak perlu waktu lama, Alzam sudah mengetikkan pesan balasan.
AlzaMaasya Allah Ganteng Banget: Gerbang depan aman. Target enggak ke sini.
Ocicicici Calwa: Target kelihatan dari Kantin Om Juy. Turun dari masjid, langsung gerak lurus ke sini, ke kawasan bebas ikhwan-akhwat, terus ke kobongnya. Aman. Aku akan bergerak ke titik temu. Haula bakal nyusul lima menit kemudian.
AlzaMaasya Allah Ganteng Banget: Roger! Aku otw ke sana.
ZAFIhumaiRA: @dy @حولا خيرالنّساء posisi aman?
حولا خيرالنّساء:
Aman, aku ke sana lima menit lagi.
dy: otw
Lima menit kemudian, setelah kedatangan Haula, Aliansi Anti-Korupsi telah full-team di dalam masjid. Ruangan Rohis itu begitu sempit ketika dijejalkan delapan manusia. Alzam dan Fatih bertumpuka bagai ikan asin yang tengah dijemur, sementara anak perempuan bisa mendominasi ruangan dengan leluasa. Sengaja Zafi arahkan dua anak laki-laki itu untuk hanya menggunakan space dua keramik, sekaligus mengadakan pembatas antara laki-laki dan perempuan.
"Kita mulai. Ada yang tidak hadir atau memutuskan mundur dari AKSI, Aliansi Anti-Korupsi?"
Pertanyaan Zafira dibalas gelengan kepala. Anak perempuan itu berdeham singkat.
"Sebelum itu ... aku mau minta maaf ke Hilwa." Zafira menatap Hilwa yang duduk di sampingnya, seketika Hilwa mengernyitkan kening, tidak paham maksud dari maaf Zafira. "Maaf karena ... aku sempat menuduh dan mencurigaimu hal yang tidak-tidak. Ternyata malah Haitsam yang menunjukkan identitas aslinya ... maaf karena aku kurang profesional, mungkin aku cemburu karena merasa kalau Hilwa lebih diandalkan Pak Adnan dibandingkan aku."
Setelah mendengar penjelasan itu, lekas saja Hilwa tertawa kecil, lantas merangkul bahu Zafira dengan erat. "Ah, enggak apa-apa ... maaf juga, ya, Zafi. Padahal jabatanmu di atasku. Kamu atasanku. Tindakan Pak Adnan di luar kendaliku, aku juga enggak paham."
Zafira tersenyum, suatu fenomena yang langka sekali. Lepas sudah salah satu beban itu. Iya. Sejujurnya, Zafira memutuskan percaya pada setiap kelas sebelas di Rohis pun karena didasari segumpal rasa bersalah pada Hilwa. Jika Hilwa yang ia curigai saja ternyata benar-benar ada di pihak Zafi, bagaimana dengan anak lainnya? Dengan berdirinya Aliansi Anti-Korupsi ini, Zafira hanya ingin memberi kesempatan untuk mempercayai semuanya.
Baiklah. Cukup sudah maaf-maafan ini. Zafira mengangguk singkat. Senyumnya hilang, Zafira sudah memasuki mode serius. Anak perempuan itu berdeham. "Gimana, yang sudah aku tugaskan, Alzam? Beres?"
"Oh, ya! Jelas, dong." Dengan semangat, Alzam mengotak-atik laptop yang diletakkan di atas lutut Fatih dan lututnya yang memang saling menempel karena sempit, berdesakan. "Salinan chat antara Pak Adnan dengan Haitsam sudah aku kirim ke grup AKSI."
[ma.ni.pu.la.si]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top